Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics

Jumat, 27 Februari 2009

Hadirnya pendidikan non formal merupakan upaya membuka ruang baru

Fleksibilitas waktu

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.

Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.


Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.

Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.

Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.

Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan". (CY1)

Pendidikan luar sekolah sebuah alternatif

Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :

Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;

Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;

Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;

Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);

Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan

Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.


Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :

Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;

Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;

Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;

Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta

Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :
Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
Pembinaan kelembagaan PLS;
Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
Meningkatkan fasilitas di bidang PLS

Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.

Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah..Semoga.

WCU dan FAJAR OPTIMISME DENGAN PERGURUAN TINGGI INDONESIA

Banyak sekali lembaga perengkingan global yang melakukan penelitian, penilaian dan perenkingan untuk menentukan suatu perguruan tinggi masuk dalam World Class Universities (WCU)/perguruan tinggi bertaraf internasional, seperti Professional Ranking of World Class Universities; The Times Higher Education-QS World University Rankings; Sanghai Jia Tong Universities; NewsWeek dengan Top 100 Global Universitiesnya; Webometric ; G Factor; Wuhan University; Regional and National Rankings; European Union; dan lain sebagainya.



Akan tetapi yang paling dirujuk adalah THE dan QS; Shanghai Jia Tong University; dan Webometric. Lembaga-lembaga perengkingan global ini memiliki criteria, indicator dan bobot serta metodologi tersendiri dalam menghasilkan penilaian



Dari hasil rilis THE-QS yang terbaru, tiga universitas Indonesia (UI, ITB dan UGM) yang sebelumnya sudah masuk dalam tiga ratus besar memperbaiki posisi. Universitas Indonesia yang sebelumnya berada di urutan 395 dunia sekarang melompat sekitar 108 lompatan menempati urutan 287 dunia. Demikian juga ITB dan UGM, masing dari posisi 369 dan 360 pada tahun 2007, sekarang menempati urutan 315 dan 316 dunia.



Sementara itu tiga universitas yang masuk 500 besar dunia pada 2007, pada 2008 menjadi 500+. Universitas Airlangga menjadi 502 dunia. IPB tertahan di urutan sekitar 511 diatas Universitas Brawijaya yang diam-diam masuk urutan 512. Airlangga di urutan 530. Secara keseluruhan pencapaian ini, menimbulkan suatu fajar optimisme bahwa Indonesia bisa membangun dan mengembangkan suatu perguruan tinggi yang mutu dan kualitasnya bertaraf internasional.



Salah satu berita paling mutakhir berdasarkan hasil pemeringkatan Webometrics (sebuah lembaga pemeringkatan di Madrid, Spanyol yang didirikan atas inisiatif Cybermetrics lab, sebuah kelompok penelitian milik Consejo Superior de Investigaciones Cientificas (CSIC) sebuah lembaga penelitian terbesar di Spanyol) adalah tiga perguruan tinggi Indonesia masuk ke dalam 1000 universitas terbaik dunia. UGM pada urutan 623, ITB pada urutan 676, dan UI pada urutan 906. UGM dan ITB masuk dalam top asia, masing-masing di urutan 64 dan 71 Asia. Dan 33 universitas Indonesia masuk ke dalam 5000 universitas terbaik.



Menurut Dirjen Dikti, Frof. Dr. Fasli Jalal, Ph.D dalam sidang pleno Rembuk Nasional Pendidikan, 23-25 Februari 2009 di Sawangan, Depok, pencapaian ini adalah berkat kerja keras segenap civitas akademika perguruan tinggi Indonesia, ditengah keterbatasan sumberdaya perguruan tinggi, terutama sumber dana. Dan nampak sekali lompatan perguruan tinggi dalam pencapaian dan pengakuan mutu dalam level international.



Kalau kita lihat misalnya endowment Fund perguruan tinggi saja misalnya yang dimiliki oleh beberapa WCU. National Association of College and University Business Officers (NACUBO) Endowment Study merilis pada tahun 2008, misalnya Harvard university memiliki dana abadi sebanyak 36,556,284,000 US$, Stanford University dengan nominal, 17, 200,000,000 US$, Massachusetts Institute of Technology dengan jumlah 10,068,800,000 US$.



Menurut Dirjen, kalau dilihat dari sisi sistem pendidikan tinggi (terdiri dari komponen System, Access, Flagship, Economic), seperti disampaikan oleh nara sumber QS pada Minggu (22/02) di Dikti, sebetulnya perguruan tinggi Indonesia dari 200 negara di dunia, sudah berada di peringkat 32.



Dan kalau dibagi per faculty level, sudah ada perguruan tinggi Indonesia, misalnya bidang Engineering dan IT, Institut Teknologi Bandung masuk dalam urutan 90 besar dunia, life Sciences and Biomedicine, Universitas Gadjah Mada sudah berada dalam urutan 106 dunia. Untuk Social Science, Universitas Indonesia berada di urutan 131 dunia. Natural Science, masuk urutan 143 dunia, Institut Teknologi Bandung. Arts and Humanities, masuk dalam urutan 173 dunia, Universitas Indonesia.



Departemen Pendidikan Nasional mendorong perguruan tinggi mencapai dan mempertahankan posisi WCU ini. Menurut Dirjen ini hanya sekedar proxi saja untuk melihat gambaran mutu pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia. Mandat pertama perguruan tinggi di Indonesia, menurut Dirjen adalah tetap memberikan nilai tambah/jalan keluar bagi permasalahan pemerintah daerah dan masyarakat di sekitar di mana perguruan tinggi itu berada. Bapak Menteri menyebutnya inilah akhlak sesungguhnya dari perguruan tinggi.

Mandat Utama Perguruan Tinggi di Indonesia

Mandat utama perguruan tinggi di Indonesia, sebelum yang lainnya, adalah memberi nilai tambah dan mengabdi untuk masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Tri darma perguruan tinggi, harus diarahkan untuk menjawab masalah masyarakat dan pemerintah daerah dan meningkatkan kesejahteraan mereka.


Menurut Dirjen Dikti, Prof. Dr. Fasli Jalal, dalam sidang pleno Rembuk Nasional, 23-25 Februari, Sawangan, Depok, ini harus diletakkan sebagai prioritas utama perguruan tinggi, sebelum berbicara tentang World Class Universities dan cita-cita lainnya. Ini adalah leverage perguruan tinggi di mata masyarakat.


Ini juga mengingatkan arahan bapak Menteri Pendidikan Nasional dalam salah satu pertemuan Rapat Kerja Nasional Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dan Kopertis pada 22-24 Juli 2008 yang menyebutnya sebagai akhlak perguruan tinggi. Ada pertanggunjawaban moral perguruan tinggi kepada masyarakat.


Ketika terjadi problem di tengah masyarakat setempat, secara hokum memang pemerintah daerah yang bertanggungjawab, tapi secara moral perguruan tinggilah sebetulnya yang lebih merasa bertanggungjawab, terutama perguruan tinggi negeri. Sebagai ilustrasi, ketika banjir Jakarta terjadi, seharusnya UI merasa lebih bertanggungjawab. Ketika Bandung menjadi lautan sampah, ITB harus merasa bersalah. Ketika di Jogjakarta tinggi buta aksaranya UGM dan UNY harus bertanggungjawab dan paling di depan memikirkan jalan keluarnya.


Menurut Dirjen Dikti, sebetulnya beberapa perguruan tinggi sudah memiliki modal dan model keunggulan lokal dalam pengembangan tri darma perguruan tinggi ini. Mereka berhasil mengembangkan kerjasama dengan pemda dan masyarakat dan diakui oleh dunia internasional terbukti dari penghargaan dunia yang didapatkan dan keterlibatan universitas luar negeri di dalamnya. Best practices ini bisa dibagi dan dipelajari. Misalnya beberapa perguruan tinggi telah mengembangkan contoh-contoh KKN Tematik, penelitian-penelitian kontekstual, selain recognisi internasional, dirasakan langsung oleh masyarakat manfaatnya.


Universitas Gadjah Mada memiliki KKN tematik pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM- UGM), Universitas Kristen Petra membuat Community Outreach Program (COP), UNAIR mengembangkan lembaga Penyakit tropik, UNAND dengan kegiatan ekstra kurikuler Mahasiswa berbasis asrama, UBINUS dengan benckmark service excellence, ISO 9001-2000, Malcolm Baldridge dan lain sebagainya.


Poinnya adalah perguruan tinggi harus saling belajar dan saling membantu. Dirjen selalu mengingatkan dalam berbagai pertemuan, termasuk dalam Rembuk nasional ini, perguruan tinggi jangan merasa sendirian, walaupun ada otonomi yang besar, harus saling merajut kerjasama satu dengan yang lainnya. Harus dihilangkan sekat-sekat Universitas, bahkan sekat-sekat fakultas di dalam satu universitas yang menghalangi untuk berkomunikasi dan saling belajar.

Mengenal Perguruan Tinggi Inggris dari dekat

Siapa yang tidak mengenal British Council, sebuah organisasi internasional dari Inggris yang bergerak di bidang budaya dan edukasi dan memiliki kantor perwakilan di 109 negara di dunia. British Council memberikan pelayanan (termasuk juga beasiswa), koneksi dan informasi terlengkap dan terkini tentang pendidikan tinggi Inggris kepada seluruh negara di mana mereka bekerja.



Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bekerjasama dengan British Council mengadakan Widya Tele Wicara (Video Tele Conference) antara Perguruan tinggi Inggris dengan Perguruan tinggi Indonesia. Dilakukan dalam empat sesi dengan topik/bidang dan perguruan tinggi sumber yang berbeda. British council memilih dua perguruan tinggi Inggris berdasarkan kekuatan bidangnya di setiap sesi sebagai nara sumber.



Empat sesi itu adalah Engineering Program, Business and Management program, Education Program, dan Tourism and Hospitality Program. Dua sesi telah berlangsung, yaitu sesi engineering program pada 17/02 dengan University of Southampton dan University of Sheffield sebagai nara sumber dan sesi Business and management Study pada 18/02 dengan narasumber University of Manchester and London Metropolitan University.



Dua sesi selanjutnya adalah Education Program pada 24/2 dengan nara sumber University of Leeds dan University of New Castle. Sesi terakhir, Tourism and Hospitality program pada 25/02 dengan nara sumber Bounemouth University dan Liverpool John Moores University.



Mengingat perbedaan waktu antara dua negara, maka jadwal Widya Tele Wicara ini dilakukan pada setiap jam 15.00-16.00 bertepatan dengan pukul 08.00-09.00 waktu Inggris.



Widya Tele Wicara memberikan kesempatan kepada segenap civitas academica peruguruan tinggi Indonesia mengenal lebih dekat dan berkomunikasi dengan profesor, penanggungjawab program di perguruan tinggi sumber. Mencari secara bersama untuk masa yang akan datang, agenda dan kemungkinan-kemungkinan kerjasama pendidikan tinggi.Bagi Dikti ini adalah kesempatan untuk peningkatan Mutu dan Daya Saing Pendidikan, terutama mutu dosen.





Saat ini dikti, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, telah melakukan berbagai hal untuk memenuhi amanah Undang Republik Indonesia No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengharuskan kualifikasi akademik minimum dosen adalah lulusan program magister dan lulusan program doktor untuk program pascarjana. Serta amanah lain dari UU RI No. 14 tahun 2005 bahwa dosen juga berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya terus menerus dan mereka berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, mendapatkan akses ke sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.




Modalitas yang sedang dan telah dilakukan oleh Dikti adalah mengembangkan program beasiswa untuk studi S2/S3 dalam dan luar negeri dengan skema BPPS, sandwich program, Program Academic Recharging (PAR), dan program aliansi. Dengan perguruan tinggi Inggris melalui British Council bisa dibangun berbagai kerjasama terkait dengan beasiswa luar negeri, Sandwich program, PAR dan lain sebagainya. Semoga bisa dimanfaatkan.

Penyelenggaraan Pendidikan : BHP, Undang-undang yang "Kebablasan"

Satu kata terlewat dalam sebuah undang-undang akan fatal akibatnya. Dampak inilah yang dialami Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau UU BHP.

UU BHP hingga kini menimbulkan kontroversial dan banyak pihak yang menolaknya. UU tersebut dituding mengarahkan sistem pendidikan pada komersialisme dan membuat biaya pendidikan semakin mahal.

Di sisi lain, pemerintah membantah jiwa korporasi lantaran BHP bersifat nirlaba. Mereka menyangkal pula niatan lepas tangan dari pembiayaan pendidikan karena akan membiayai wajib pendidikan dasar dan membatasi pungutan maksimal dari masyarakat hanya sepertiga dari biaya operasional.

Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) berbunyi, ”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”.

Pasal itulah yang menjadi pegangan lahirnya UU BHP. Namun, landasan tersebut sendiri ternyata produk ”keseleo”.

”Waktu kami membahas RUU BHP—kini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan—diakui oleh yang ikut terlibat di dalam pembuatan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional kata-kata tersebut agak ’kebablasan’ karena disebut hanya satuan pendidikan saja. Bukannya untuk satuan pendidikan tinggi dan tidak pula dikunci hanya untuk negeri,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam diskusi terbatas bertajuk ”Implikasi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan” yang berlangsung di Harian Kompas, Kamis (5/2). Pembicara lainnya adalah Ketua Tim Perumus sekaligus anggota Komisi X DPR, Anwar Arifin, pengamat pendidikan Darmaningtyas, dan pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam.

Masalah timbul saat UU Sisdiknas harus dijabarkan. Sudah terbayangkan betapa repotnya jika satuan pendidikan yang jumlahnya sekitar 250.000 sekolah dan madrasah harus mengikuti aturan itu. Padahal, mulanya hanya untuk pendidikan tinggi negeri saja agar mempunyai otonomi dan koridor. ”Kalau sudah dikatakan hanya satuan pendidikan tinggi, itu sudah aman. Kita tidak akan pernah membayangkan memasukkan pendidikan dasar dan menengah untuk ber-BHP. Karakteristiknya juga berbeda sama sekali dengan perguruan tinggi,” ujarnya.

Beli kertas saja repot

Ide dasar lahirnya UU BHP tidak terlepas dari kesemrawutan dan prosedur penganggaran di perguruan tinggi negeri.

Sebelum tahun 1999, perguruan tinggi negeri terkukung dengan model kerja birokrasi. Cara penganggaran terpusat. ”Sederhananya, untuk membeli kertas pun yang menentukan harus Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) dan dana tidak bisa dalam bentuk blockgrant. Kalau mendadak kebutuhan berubah karena dinamika perguruan tinggi, revisinya berlarut-larut sampai ke pusat,” ujar Fasli.

Permasalahan lainnya terkait dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang membuat para rektor sakit kepala. Penerimaan yang merupakan PNBP, seperti dari mahasiswa, disetorkan ke kas negara, kemudian perguruan tingi mengajukan permintaan kembali sehingga membutuhkan waktu lama dan proses panjang. Pembayaran honor untuk dosen yang mengajar atau menguji skripsi mahasiswa bisa terlambat tiga bulan.

Fasli menambahkan, persoalan administrasi PNBP kerap menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lantaran rektor bersedia berisiko masuk bui daripada melawan kebutuhan dosen dan mahasiswa.

Pemerintah berupaya mencari dasar hukum sehingga penyelenggaraan perguruan tinggi tidak terjerat jalur birokrasi yang rumit dan berbelit-belit.

Salah satu alternatif yang terpikirkan ialah mengalihkan perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum. Ahli hukum dan kebijakan publik pun berdebat.

Sebagai jalan keluar dibuat peraturan pemerintah khusus badan hukum milik negara (BHMN). Fasli mengakui bahwa BHMN sebetulnya berbenturan dengan perundang-undangan keuangan karena tidak ada dasarnya.

Semangatnya lebih pada memberikan otonomi kepada perguruan tinggi yang selama ini ”tertindas”. Belakangan, kebebasan BHMN tersebut dinilai kebablasan dan dianggap perlu membuat koridor. Kelahiran UU Sisdiknas sendiri telah memberikan restu terhadap pengaturan satuan pendidikan yang lebih jelas.

Nasib persekolahan

Lantas bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah dengan sahnya UU BHP tersebut? Implikasi UU BHP justru sangat luas di jenjang pendidikan ini. Pemerintah sendiri, menurut Fasli, menyadari dan mencari cara agar satuan pendidikan dasar dan menengah tidak terlalu mudah ber-BHP.

Dibuatlah standar sangat tinggi agar sekolah dapat ber-BHP yakni memenuhi delapan standar nasional pendidikan (SNP) dan berakreditasi A. Saat ini, belum ada sekolah yang memenuhi standar itu. ”Sebenarnya, intinya cuma kita memasukkan dalam UU itu karena perintah dari UU Sisdiknas,” ujarnya.

Salah satu peserta aktif diskusi, Lodi Paat dari Koalisi pendidikan, mengatakan, persoalan tidak sesederhana itu. UU BHP seakan dipaksakan ada. Ia menilai undang-undang tersebut tidak lepas dari ”agenda” neoliberalisme.

Pengamat pendidikan Darmaningtyas menuding, undang-undang tersebut hanya memberi tempat kepada orang kaya atau siswa pintar. ”Siswa miskin dan tidak terlalu pintar tidak mendapat tempat dan tidak diperhatikan,” ujarnya.

Direktur Pelaksana Yayasan Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) Tunggul Siagian berpendapat bahwa tidak ada semangat pendidikan dalam UU BHP. Undang-undang tersebut dipandang terlalu mencampuri ”urusan dalam negeri” sekolah. Kehadiran UU BHP juga ditanggapi pesimistis oleh operator pendidikan di lapangan.

”Banyak UU pendidikan yang dilahirkan nyatanya tidak berpengaruh apa-apa pada jalannya sekolah,” ujarnya.

Pudentia, penasihat Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat, mengatakan bahwa UU BHP mematikan sekolah swasta.

Kalau disebut-sebut sebelumnya UU Sisdiknas mempunyai ”lubang” lantaran tidak membedakan satuan pendidikan calon BHP, tampaknya UU BHP malah menggali lebih dalam ”lubang” yang ada. Lubang yang dapat mengubur pendidikan murah di Tanah Air. (Indira Permanasari/ Ester Lince Napitupulu)

Perguruan Tinggi Di Indonesia

Di Indonesia, perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan akademik, profesi, dan vokasi dengan program pendidikan diploma (D1, D2, D3, D4), sarjana (S1), magister (S2), doktor (S3), dan spesialis.

Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni. Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Pengelolaan dan regulasi perguruan tinggi di Indonesia dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Rektor Perguruan Tinggi Negeri merupakan pejabat eselon di bawah Menteri Pendidikan Nasional.

Selain itu juga terdapat perguruan tinggi yang dikelola oleh departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang umumnya merupakan perguruan tinggi kedinasan. Misalnya, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dikelola oleh Departemen Keuangan.

Minggu, 15 Februari 2009

STRATEGI PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING DAN QUANTUM LEARNING

Seperti kita ketahui, di dalam dua tiga dasa warsa terakhir ini perkembangan teknologi itu berjalan dengan amat cepat. Teknologi yang di hari keamarin masih dianggap modern (sunrise teohnology ) bukan tak mungkin hari ini sudah mulai basi (sunset technology).

Teknologi baru terutama multimedia mempunyai peranan semakin penting dalarn pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa kita kepada situasi belajar dimana learning with effort akan dapat digantikan dengan learning with fun. Apalagi dalam pembelajaran orang dewasa, learning with effort menjadi hal yang cukup menyulitkan untuk dilaksanakan karena berbagai faktor pembatas, seperti kemauan berusaha, mudah bosan dll. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan menjadi pilihan para guru/fasilitator. Jika situasi belajar seperti ini tidak tercipta, paling tidak multimedia dapat membuat belajar lebih efektif menurut pendapat beberapa pengajar.

Pada saat ini kita semua memahami bahwa proses belajar dipandang sebagai proses yang aktif dan partisipatif, konstruktif, kumulatif, dan berorientasi pada tujuan pembelajaran, baik Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) maupun Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) untuk mencapai kompetensi tertentu.

SMK yang sudah mapan pada umumnya menggunakan teknologi multimedia di dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Pada beberapa tahun lalu yang masih menggunakan Overhead Projector (OHP) dan menggunakan media Overhead Transparancy (OHT), pada saat ini menjadi tidak mode dan mulai ditinggalkan. Beberapa kelebihan multimedia seperti tidak perlu pencetakan hard copy dan dapat dibuat/diedit pada saat mengajar menjadi hal yang memudahkan guru dalam penyampaian materinya. Berbagai variasi tampilan/visual bahkan audio mulai dicoba seperti animasi bergerak, potongan video, rekaman audio, paduan warna dll dibuat untuk mendapatkan sarana bantu mengajar yang sebaik-baiknya. Bahkan pada beberapa kesempatan telah diadakan ToT Multimedia dan juga In House Training

Pembelajaran yang Efektif

Sejauh ini multimedia mampu mengubah pembelajaran secara drastis dan fundamental. Namun pertanyaannya adalah, kapan multimedia efektif digunakan dalam proses pembelajaran peserta diktat ? dan mengapa efektif ?

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, kita harus merniliki pemahaman yang menyeluruh tentang multimedia. Ketika membahas multimedia, biasanya yang kita maksudkan adalah gabungan alat-alat teknik seperti komputer, memori elektronik, jaringan informasi, dan alat-alat display yang dapat menyajikan informasi melalui berbagai format seperti teks, gambar nyata atau grafik dan melalui multi saluran sensorik. Hal ini analog dengan pernikiran jika kita menganggap komputer sebagai mesin tik misalnya. Padahal komputer jelas-jelas merniliki berbagai fungsi dan manfaat yang lebih banyak dibanding mesin tik manual.

Beberapa kesalahan konsep mengenai multimedia dapat diringkas sebagai berikut :

1.Sebagian besar pengguna teknologi multi media masih menganggap multi media hanya sebagai alat penampil suatu materi yang akan disampaikan

2.Multimedia dipandang sebagai wahana yang selalu memberikan dampak positif pada pembelajaran.

3.Karena multimedia memanfaatkan banyak ragam media (audio, visual, animasi gerak, dll) maka serta merta akan menghasilkan proses kognitif yang banyak pula. Dengan bahasa sederhana dikatakan bahwa dengan memberikan banyak hal (teks, gambar, animasi, dll.) maka peserta didik akan mendapatkan lebih banyak.

Kembali pada topik terkemuka, sebelum kita mencari jawaban atas pertanyaan di atas hendaknya kita memaharni level-level pada multimedia. Secara keseluruhan, multimedia terdiri dari tiga level (Mayer, 2001) yaitu :

1. Level teknis, yaitu multimedia berkaitan dengan alat-alat teknis ; alat-alat ini dapat diartikan sebagai wahana yang meliputi tanda-tanda (signs).

2. Level semiotik, yaitu representasi hasil multimedia seperti teks, gambar, grafik, tabel, dll.

3. Level sensorik, yaitu yang berkaitan dengan saluran sensorik yang berfungsi untuk menerima tanda (signs).

Dengan memanfaatkan ketiga level di atas diharapkan kita dapat mengoptimalkan multimedia dan mendapatkan efektifitas pemanfaatan multimedia pada proses pembelajaran.

Berikut ini dipaparkan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan pemanfaatan multimedia. Pengaruh multimedia dalam pembelajaran menurut YG Harto Pramono antara lain :

1. Multi Bentuk Representasi

Yang dimaksud dengan multi bentuk representasi adalah perpaduan antara teks, gambar nyata, atau grafik. Berdasarkan hasil penelitian tentang pemanfaatan multi bentuk representasi, informasi/materi pengajaran melalui teks dapat diingat dengan baik jika disertai dengan gambar. Hal ini dijelaskan dengan dual coding theory (Paivio, 1986). Menurut teori ini, sistem kognitif manusia terdiri dua sub sistem : sistem verbal dan sistem gambar (visual). Kata dan kalimat biasanya hanya diproses dalam sistem verbal (kecuali untuk materi yang bersifat kongkrit), sedangkan gambar diproses melalui sistem gambar maupun sistem verbal. Jadi dengan adanya gambar dalam teks dapat meningkatkan memori oleh karena adanya dual coding dalam memori (bandingkan dengan single coding).

Seseorang yang membaca/memahami teks yang disertai gambar, aktifitas yang dilakukannya yaitu : memilih informasi yang relevan dari teks, membentuk representasi proporsi berdasarkan teks tersebut, dan kemudian mengorganisasi informasi verbal yang diperoleh ke dalam mental model verbal.

Demikian juga ia memilih informasi yang relevan dari gambar, lalu membentuk image, dan mengorganisasi informasi visual yang dipilih ke dalam mental mode visual. Tahap terakhir adalah menghubungkan 'model' yang dibentuk dari teks dengan model yang dibentuk dari gambar .Model ini kemudian dapat menjelaskan mengapa gambar dalam teks dapat menunjang memori dan pemahaman peserta didik.

Fitur penting lain dalam multimedia adalah animasi. Berbagai fungsi animasi antara lain : untuk mengarahkan perhatian peserta diklat pada aspek penting dari materi yang sedang dipelajari (tetapi awas, animasi dapat juga mengalihkan perhatian peserta dari topik utama), Menurut Schnotz dan Bannert (2003), pemahaman melalui teks dan gambar dapat mendukung pembentukan mental model melalui berbagai route (yang juga ditunjang oleh latar belakang pengetahuan sebelurnnya atau prior knowledge).

Menurut model ini, gambar dapat menggantikan teks dan demikian pula sebaliknya. Model ini dapat juga menjelaskan perbedaan tiap-tiap individu dalam belajar menggunakan multimedia Beberapa hasil penelitian menunjukkan peserta diklat yang memiliki latar belakang pengetahuan sebelurnnya (prior knowledge) tinggi tidak memperoleh banyak keuntungan dengan adanya gambar pada teks, sedangkan peserta diklat dengan prior knowledge rendang sangat terbantu dengan adanya gambar pada teks.

Berarti bagi guru/fasilitator cukup jelas kapan menggunakan gambar pada teks dan kapan tidak menggunakannya. Tetapi perlu diingat juga bahwa pada dasarnya gambar sebagai penunjang penjelasan substansi materi yang tertera pada teks, jadi jangan sekali-sekali porsi gambar melebihi teks yang ada. Juga gambar harus relevan dan berkaitan dengan narasi pada teks.

2. Animasi

Menurut Reiber (1994) bagian penting lain pada multimedia adalah animasi. Animasi dapat digunakan untuk menarik perhatian peserta diklat jika digunakan secara tepat, tetapi sebaliknya anirnasi juga dapat mengalihkan perhatian dari substansi materi yang disampaikan ke hiasan animatif yang justru tidak penting. Animasi dapat membantu proses pelajaran jika peserta diklat banya akan dapat melakukan proses kognitif jika dibantu dengan animasi, sedangkan tanpa animasi proses kognitif tidak dapat dilakukan. Berdasarkan penelitian, peserta diklat yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengetahuan rendah cenderung memerlukan bantuan, salah satunya animasi, untuk menangkap konsep materi yang disampaikan.

3. Multi Saluran Sensorik

Dengan penggunaan multimedia, peserta diklat sangat dimungkinkan mendapatkan berbagai variasi pemaparan materi. Atau sebaliknya guru/fasilitator dapat menggunakan berbagai saluran sensorik yang tersedia pada media tersebut. Dengan penggunaan multi saluran sensorik, dimungkinkan penggunaan bentuk-bentuk auditif dan visual. Menurut basil penelitian, pemerolehan pengetahuan melalui teks yang menggunakan gambar disertai animasi, basil belajar peserta akan lebih baik jika teks disajikan dalam bentuk auditif dari pada visual.

4. Pembelajaran Non Linear

Pembelajaran non linear dirnaksudkan sebagai proses pembelajaran yang tidak hanya mengandalkan materi-materi dari guru/widyaiswara, tetapi peserta diklat hendaknya menambah pengetahuan dan ketrampilan dari berbagai somber ekstemal seperti narasumber di lapangan, studi literatur dari beberapa perpustakaan, situs internet, dan sumber-sumber lain yang relevan dan menunjang peningkatan diri. Berdasarkan suatu penelitian dikatakan bahwa tingkat pemahaman dengan sistem pembelajaran non linear merniliki hasil yang lebih baik dibanding peserta diktat mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan hanya dari fasilitator. Jadi tugas guru/fasilitator untuk dapat merangsang dan menciptakan suatu kondisi semangat menambah ilmu para peserta diklat dari berbagai sumber lain.

5. Interaktivitas

Interaktivitas disini diterjermahkan sebagai tingkat interaksi dengan media pembelajaran yang digunakan, yakni multimedia. Karena kelebihan yang dimiliki multimedia, memungkinkan bagi siapapun (guru/fasilitator dan peserta diklat) untuk eksplore dengan memanfaatkan detail-detail di dalam multimedia dalam menunjang kegiatan pembelajaran. Permasalahannya tinggal bagaimana aktivitas behavioristik terhadap multimedia memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak (guru & peserta).

IPA dan IPS Terpadu

Pembelajaran IPA Terpadu

Menurut Prawiradilaga (2004), pembelajaran terpadu merupakan pendekatan dalam kegiatan pembelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak. Pengalaman bermakna merupakan pengalaman langsung yang menghubungkan pengalaman yang telah mereka miliki dengan pengalaman yang akan dipelajari, dan memiliki nilai guna dalam kehidupan mereka pada saat ini maupun mendatang.

Karakteristik pembelajaran terpadu meliputi:

1. Pembelajaran yang berawal dari adanya pusat minat (centre of interest) yang digunakan untuk memahami gejala-gejala konsep lain, baik yang berasal dari bidang ilmu yang sama maupun yang berbeda.
2. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan anak secara simultan
3. Menghubungkan berbagai bidang studi atau berbagai konsep dalam satu bidang studi yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak
4. Menggabungkan sejumlah konsep kepada beberapa bidang studi yang berbeda, dengan harapan anak dapat belajar lebih baik dan bermakna.

Uraian di atas dapat digunakan untuk mendefinisikan pembelajaran IPA Terpadu di SMP, yaitu pembelajaran yang menghubungkan pelajaran fisika, kimia, dan biologi, menjadi suatu bentuk pembelajaran yang tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan menjadi suatu kesatuan yang diajarkan secara simultan (karakteristik nomor 3). Kesimpulan ini sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh ketua BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) Bambang Suhendro dalam Harian Suara Pembaharuan, Senin 9/1/06:
“...untuk mata pelajaran IPS terpadu di tingkat SMP, seringkali kompetensi akademik guru kurang memadai. Guru yang mempunyai latar belakang sejarah lebih banyak mengajarkan sejarah. Padahal kompetensi IPS terpadu tidak hanya sejarah, tetapi ada sosiologi, antropologi dan geografi. Begitu juga dengan mata pelajaran IPA terpadu yang mencakup pelajaran fisika, kimia dan biologi”.

Pernyataan ketua BSNP tersebut menyiratkan bahwa seorang guru mata pelajaran IPA di SMP dituntut untuk dapat mengajarkan semua subjek dalam pelajaran IPA, yaitu fisika, kimia, dan biologi, terlepas dari latar belakang pendidikannya. Begitu juga untuk guru IPS, mereka diharapkan untuk dapat mengajarkan semua subjek dalam pelajaran IPS, yaitu sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi.

Suatu pembelajaran terpadu menawarkan beberapa kelebihan (Lipson, 1993), yaitu:

1. lebih fokus pada tema, karena satu tema dibahas dari berbagai sudut pandang
2. memungkinkan transfer of learning, misalnya penerapan konsep fisika dalam biologi
3. memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara satu disiplin ilmu dengan lainnya

Di samping kelebihan tersebut, terdapat beberapa masalah, kendala, atau konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran terpadu (Druger, 1999), yaitu :

1. guru dan sekolah sudah terbiasa dengan pola lama
2. hampir semua guru tidak memiliki pengalaman penelitian di luar latar belakang pendidikannya
3. guru “kehilangan” otoritas pada latar belakang bidang studinya
4. memerlukan komitmen dari para guru untuk bekerja sama
5. ketika menggunakan metode team teaching, muncul banyak persoalan seperti perbedaan karakter pribagi guru, kontribusi yang tidak jelas, perbedaan gaya mengajar, dan kesulitan mengatur jadwal

Tips Menaikkan Kemampuan Siswa SMP dan SMU

5 tips ini dapat membantu Anda dengan cepat untuk menaikkan kemampuan siswa dan sekolah Anda.

1. Naikan range nilai yang diharapkan. Jika Anda memiliki range penilaian seperti ini:
range nilai: A (93-100), A- (90-92), B+ (87-89), B (83-86), B- (80-82), C+ (77-79), C (73-76), C- (70-72), D+ (67-69), D (63-66), D- (60-62), F (0-59) larilah, namun jangan berjalan ke tempat sampah terdekat lalu membuang hasil ujian itu. Naikkan rangenya. Jika range nilai yang diharapkan rendah maka hasil yang didapat akan selalu mengarah ke nilai yang rendah. Harapkan lebih dari siswa Anda dan ikat harapan itu menjadi sesuatu yang dapat diukur. Petunjuk: jika Anda menggunakannya untuk siswa Anda, apakah Anda juga menggunakannya untuk guru-guru? Lihat tips 2.

2. Konsistenlah terhadap respon yang diberikan terhadap semua prilaku baik berupa penghargaan maupun hukuman. Juga konsistenlah terhadap nilai yang telah Anda tetapkan dan prilaku Anda. Jagalah konsistensi Anda bahkan disaat kita sedih. Model konsistensi untuk menjaga kelangsungan kemampuan staff Anda ataupun siswa Anda.

3. Jelaskan secara rinci harapan Anda. Jangan menganggap seorang staff ataupun siswa mengetahui sesuatu. Komunikasikan dan jelaskan harapan tersebut. Ingatlah, pengkondisian dari pengalaman pekerjaan lampau, pengalaman sekolah, dan pengalaman rumah merupakan hal yang selalu ada dan mayoritas dari pengkondisian ini adalah negatif.

4. Berikan nilai lebih untuk keberhasilan akademik dan kepemimpinan siswa dibanding keberhasilan dalam bidang olahraga. Keberhasilan akademiklah yang akan membawa 99% siswa Anda kedalam dunia nyata, bukan kemampuan atletik mereka. Kembali kepada 3 tips awal.

5. Buanglah sampah dengan mengevaluasi strategi belajar Anda. Sebagai contoh, jika Anda menggunakan cooperative learning, tekankan hanya pada keterampilan yang diperlukan untuk menjadi berhasil.

Apakah nilainya bagi Anda, jika semua orang di sekolah Anda semua berbaris dengan arah yang sama dengan penuh energy dan antusias?

Tips dan trik memilih jurusan komputer

Perlu kita garis bawahi dulu bahwa “secara konsep” kurikulum bidang komputer di Indonesia sudah cukup baik. Kurikulum Indonesia mengacu dan mengadaptasi Computing Curricula, yaitu panduan kurikulum bidang komputer (computing) yang diterbitkan secara bersama oleh ACM (the Association for Computing Machinery), AIS (the Association for Information System) dan IEEE-CS (the IEEE Computer Society). Beberapa dokumen usulan kurikulum yang diajukan APTIKOM (Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer) saya lihat juga mengacu ke Computing Curricula 2001 dan 2005. Kalau kemudian ada pertanyaan kok pelaksanaan di lapangan tidak sebagus konsepnya. Ya banyak faktor yang masih menjadi masalah di Indonesia, kualitas SDM pengajar, infrastruktur, minimnya textbook yang baik, dsb. Mari kita perbaiki bersama-sama dan tidak perlu saling menyalahkan

Sekali lagi, Indonesia hanya mengadaptasi dan bukan mengadopsi Computing Curricula, artinya bahwa tidak semua nama jurusan dan nama mata kuliah di Indonesia sama “plek” dengan apa yang ada di Computing Curricula. Computing Curricula memberikan panduan tentang penyelenggaraan, penamaan mata kuliah beserta pembobotannya dan penyusunan kurikulum pada 5 jurusan, yaitu: Computer Engineering (CE, Teknik Komputer), Computer Science (CS, Ilmu Komputer), Information Systems (IS, Sistem Informasi), Information Technology (IT, Teknologi Informasi), Software Engineering (SE, Rekayasa Perangkat Lunak).

Adaptasi dan acuan kurikulum di Indonesia adalah:

1. Computer Science untuk program studi (jurusan) Teknik Informatika atau Ilmu Komputer
2. Computer Engineering untuk program studi (jurusan) Sistem Komputer atau Teknik Komputer
3. Information System untuk Sistem Informasi atau Manajemen Informatika

Sedangkan Software Engineering dan Information Technology, di Indonesia dianggap bukan merupakan program studi (jurusan) karena masih bisa masuk salah satu bagian dari Teknik Informatika atau Ilmu Komputer.

Lha terus dimana letak perbedaan jurusan-jurusan diatas?

Semua jurusan (program studi) sebenarnya memiliki mata kuliah yang boleh dikatakan “sama”, hanya pembobotannya berbeda. Bobot inilah yang nantinya menentukan jalur karier dan bidang kerja lulusan. Kompetensi lulusan setiap jurusan biasanya di desain seperti di bawah:

1. Computer Engineering (CE) (Jurusan Sistem Komputer atau Teknik Komputer) diharapkan menghasilkan lulusan yang mampu mendesain dan mengimplementasikan sistem yang terintegrasi baik software maupun hardware
2. Computer Science (CS) (Jurusan Teknik Informatika atau Ilmu Komputer) diharapkan menghasilkan lulusan dengan kemampuan yang cukup luas dimulai dari penguasaan teori (konsep) dan pengembangan software.
3. Information System (IS) (Jurusan Sistem Informasi atau Manajemen Informatika) diharapkan menghasilkan lulusan yag mampu menganalisa kebutuhan (requirement) dan proses bisnis (business process), serta mendesain sistem berdasarkan tujuan dari organisasi
4. Information Technology (IT) diharapkan menghasilkan lulusan yang mampu bekerja secara efektif dalam merencanakan, mengimplementasikan, mengkonfigurasi dan memaintain infrastruktur teknologi informasi dalam organisasi.
5. Software Engineering (SE) diharapkan menghasilkan lulusan yang mampu mengelola aktifitas pengembangan software berskala besar dalam tiap tahapannya (software development life cycle).

Computing Curricula membuat suatu komparasi umum dan pembobotan mata kuliah tiap jurusan dengan visualisasi grafis seperti di bawah. Sumbu horizontal menggambarkan arah pengembangan (apakah lebih teoritis atau lebih praktis), sedangkan sumbu vertikal menggambarkan topik dan desain mata kuliah yang diajarkan. Pembobotan ditandai dengan warna abu-abu tua pada visualisasi gambar.

Yang terakhir, perlu diperhatikan bahwa ada beberapa irisan bidang computing dengan bidang lain yang sepertinya mirip tapi sebenarnya beda. Misalnya, bagi yang ingin mendalami desain grafis dan animasi secara mendalam, saya sarankan tidak masuk ke salah satu dari lima jurusan computing diatas. Akan lebih baik apabila masuk ke jurusan desain komunikasi visual (DKV), yang biasanya ada di bawah fakultas seni rupa. Saya jamin lebih pas untuk yang berminat di animasi dan desain grafis. Banyak mahasiswa yang cita-citanya menjadi animator dan graphics designer akhirnya harus melongo dan menyesal karena salah masuk ke jurusan computing. Akan saya bahas tentang DKV di lain kesempatan

Selamat memilih jurusan !

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan

Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi” - Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta

Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.(beritajakarta)

Pendidikan Dasar Tidak Boleh Dipungut Biaya

Pembiayaan investasi, personalia, dan operasional di sekolah tingkat wajib belajar pendidikan dasar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Dilarang ada pungutan di jenjang sekolah dasar dan menegah pertama yang diselenggarakan pemerintah.

Hal ini diatur tegas di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang dikeluarkan pertengahan bulan lalu. PP yang menjadi bagian dari upaya standardisasi pendidikan nasional ini mengatur rinci tentang mekanisme biaya pendidikan, pengelolaan dan tanggung jawabnya.

Menurut Ketua I Forum Aspirasi Guru Independen Indonesia Ahmad Taufan, PP ini memberi konsekuensi ke depan, yaitu tidak adanya lagi kewajiban masyarakat untuk ikut menanggung biaya pendidikan di tingkat wajar dikdas.

"Kalau di Bandung, ya yang dibebaskan itu tingkat SD-SMP karena masih memakai wajar dikdas 9 tahun. Di Jakarta, bisa sampai 12 tahun," tuturnya. Pengecualiannya, jika sekolah itu merupakan bagian dari program rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI). Di sekolah-sekolah negeri bestatus Rancangan SBI ini masih dimungkinkan memungut biaya dari masyarakat untuk mendorong kualitas sekolah. "Ke depan, tidak ada lagi istilah iuran SPP di sekolah dasar dan SMP," ucapnya.

Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 49 PP 48/2008, masyarakat tidaklah dilarang memberikan sumbangan yang tidak mengikat kepada sekolah. Namun, syaratnya, sekolah diwajibkan mempertanggungjawabkan dana secara transaparan dan diaudit oleh akuntan publik. Lalu, wajib diumumkan ke media cetak berskala nasional.

Pungutan itu, ucapnya, terutama untuk alokasi peningkatan kesejehtaraan guru di sekolah. Sebanyak 70 persen dana masyarakat terserap untuk ini (kesejahtaraan guru), tutur guru SDN Merdeka V Kota Bandung ini. Jika pemerintah tidaklah meningkatkan kesejehteraan guru secara bertahap, ia pesimis, pungutan masih akan berlangsung. Kita ketahui, tunjangan profesi itu kan tidak diterima setiap guru. "Tunjangan fungsional yang jelas-jelas diterima seluruh guru, masih suka telat diterima. Sudah setahun ini telat," ujar Taufan.

Menurut Koordinator Koalisi Pendidikan Kota Bandung Iwan Hermawan, dua PP yang baru saja keluar, yaitu PP 48/2008 ditambah PP 47/2008 tentang Wajib Belajar itu sedikit banyak bakal makin menyulitkan praktik pungutan biaya sekolah dari masyarakat. Rapat penentuan APBS yang berlangung di SD-SMP di minggu-minggu ini bakal alot, prediksinya.

Diturunkan ke Perda

Di Kota Bandung, setidaknya dimulai tahun 2009, kedua PP ini akan diterapkan secara konsekuen. Sebab, kedua PP ini ikut dijadikan referensi aturan dalam penggarapan draf Rancangan Peraturan Daerah Pendidikan di Kota Bandung. Menurut Arif Ramdhani, Sekretaris Pansus Draf Raperda Pendidikan di DPRD Kota Bandung, molornya rencana jadwal pengesahan Raperda Pendidikan ini salah satunya akibat meny esuaikan kedua PP ini.

Ke depan, sesuai PP ini, sekolah di tingkat wajib belajar dikdas tidak boleh lagi dipungut biaya, tuturnya. Ketentuan ini akan menyempurnakan program sekolah gratis yang dijalankan Pemerintah Kota Bandung. Termasuk, mendorong pemen uhan anggaran 20 persen pendidikan, khususnya dari APBD Kota Bandung. Ini sesuai ketentuan Pasal 81 PP 48/2008. Nota APBD dianggap inkonstitusional jika tidak memenuhinya.

Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar

UMUMNYA para pendidik telah mengenal bahwa fokus pengajaran murid-murid sekolah dasar adalah agar murid menguasai kemampuan dasar yang tercakup dalam rumus 3-R. yaitu Arismetik, reading dan writing. Atau dengan kata lain penguasaan dalam berhitung, membaca dan menulis.

Bagaimana penguasaan murid-murid atas kemampuan dasar ini, orang melihat sesuai dari kaca mata mereka masing-masing. Tidak sedikit orang, yang mengatakan bahwa kemampuan dasar murid dalam berhitung, membaca dan menulis telah mantap begitu mendengar bahwa di sekolah yang bersangkutan ada segelintir murid yang memperoleh NEM yang cukup baik.

Namun secara umum kalau kita perhatikan sertifikat NEM anak-anak Yang mendaftar ke tingkat SLTP banyak menunjukkan angka kemampuan berhitung, Kita sebut saja nilai matematika yang begitu jelek. Dapat kita perkirakan bahwa kemampuan mereka dalam membaca dan menulis juga jelek.

Untuk mencek kemampuan membaca murid pada tingkat SLTP dan SLTA dapat dicek lewat pemanfaatan buku-buku teks mereka. Ka1au kita mengunjungi perpustakaan sekolah tingkat SLTP dan SLTA maka akan kita jumpai tumpukan buku-buku teks yang lumayan banyaknya tanpa ada disentuh atau dimanfaatkan. Meskipun untuk menyediakannya pemerintah telah menghabiskan milyaran rupiah dari proyek penyediaan buku-buku. Begitu pula dengan buku-buku teks yang ada di dalam tas sekolah mereka, terlihat masih utuh sebagai tanda bahwa belum dimanfaatkan walau tidak semua murid yang bersikap demikian). Ini akibat kebiasaan murid yang. gemar menghafal catatan pelajaran mereka, ketimbang menganalisa buku-buku teks pelajaran mereka.

Pada akhir tahun di kelas tiga, tingkat SLTA, siswa musti menyelesaikan sebuah karya tulis sebagai syarat untuk dapat mengikuti EBTA dan EBTANAS. Tetapi mereka seolah-olah mencerminkan ketidakmampuan dalam menulis karya tulis. Dan memang kenyataannya mereka betul-betul banyak yang tidak mampu dalam menulis karya tulis yang begitu sederhana. Sehingga mereka terpaksa menempuh jalan curang, misalnya, dengan memalsukan karya tulis kakak kelas yang telah lulus pada tahun lain.

Dari sebuah dialog ringan dengan mahasiswa KKN tertangkap kesan tentang melemahnva semangat mahasiswa dalam peningkatan SDM. Pergi kuliah hanya asal-asalan saja. Banyak mereka yang enggan datang ke kampus dan suka menitipkan absen. Hari-hari mereka lewati dengan hura-hura. Kemudian pada musim tentamen mereka suka menggunakan jimat, catatan kecil, ala anak SMU atau mencari sopir ujian. Sebab sang dosen tidak mungkin dapat mengenali semua mahasiswanya karena itulah suatu stereotype, atau pandangan umum, bahwa hubungan dosen dan mahasiswa adalah "siapa lu dan siapa gua". Dengan kata lain hubungan mereka adalah sebatas membayar kewajiban saja, yang penuh dengan ketidakacuhan atau ketidakpedulian.

Banyak tudingan bahwa kebodohan murid di sekolah berawal dari kenakalan karena orang tua mereka ada yang "'broken" atau orang tua tidak peduli dengan pendidikan anak. Itu sangat benar. Tetapi ada pula malah orang tua begitu peduli dengan pendidikan anak, dan lingkungan sosial anak begitu sehat. Malah si anak kok begitu sudi mengungkapkan ingin untuk tarik diri dari dunia sekolah karena tidak dapat mengikuti pelajaran demi pelajaran. Kendala yang dialami oleh anak atau murid seperti ini disebabkan karena rendahnya kemampuan membaca mereka. Barangkali penyebabnya adalah karena di dalam keluarga mereka tidak dibiasakan budaya membaca. Buku-buku dan majalah adalah benda langka untuk dijumpai.

Bukan berarti orang tua mereka tergolong tidak mampu. Malah orang tua dapat memenuhi kebutuhan permainan elektronika mungkin karena bersaing dengan anak tetangga. Dan begitu pula orang tua mereka mampu membeli sarana hiburan yang serba mewah meski sebagai prestise dan menunjukkan kepada lingkungan, karena sebagian orang kita bermental suka pamer, bahwa mereka termasuk orang yang cukup "the have".

Dalam zaman global informasi dan komunikasi ini, masih cukup banyak orang tua yang berfikiran mundur. Mereka akan mengatakan. bahwa berlangganan majalah itu percuma sebab tidak akan mengenyangkan perut. "Bukankah uangnya lebih baik untuk dibelikan sama kue", demikian menurut orang tua yang bersikap "stomach oriented". Ada lagi orang tua yang mencela anaknya yang sudah mulai gemar membaca sebagai membuang-buang waktu. Image seperti ini diperoleh dari keluarga pedagang dan tentunya tidak semua pedagang yang begitu, dimana bagi mereka waktu adalah benar-benar uang.

Murid-murid yang melarikan diri dari sekolah bisa jadi karena kejenuhan di dalam kelas karena tidak menguasai pelajaran. Rasa jenuh dapat mendatangkan rasa benci pada pelajaran dan berakhir dengan perseteruan antara guru-guru.

Macetnya komunikasi guru-murid dalam kelas disebabkan kepasifan murid dengan sikap yang suka membisu dalam seribu bahasa. Banyak juga guru yang kesal, begitu ia serius dalam proses belajar mengajar dan bertanya untuk mendapatkan umpan balik. Dan ketika ditanya "apakah kamu sudah paham atau belum mengerti", dijawab oleh murid dengan wajah "no comment"

Kesulitan murid dalam memahami pelajaran dan kepasifan murid dalam berkomunikasi, secara lisan dan tulisan, adalah karena anak atau murid lemah dalam kemampuan membaca. Penyebabnya karena mereka tidak terlatih dengan budaya membaca sejak dini.

Membaca adalah satu bagian dari aspek berbahasa. Dan bahasa adalah sarana untuk mengekspresikan fikiran. Orang yang bahasanya teratur maka fikirannya juga teratur. Sebaliknya dalam bahasa yang macet terdapat pula kemacetan dalam berfikir. Dan rata-rata murid yang macet dalam berfikir. Dan inilah yang harus kita atasi secepatnya.

Syukurlah kalau dalam suatu kelas, terutama di Sekolah Dasar, cukup banyak anak yang berlangganan majalah. Tentu mereka mendapat kemudahan dalam memahami setiap pelajaran. Memang ada korelasi langsung antara anak yang gemar membaca dengan prestasi mereka dalam belajar. Dan idealnya memang setiap anak memang harus gemar membaca. Maka kita patut mengacungkan jempol bagi orang tua murid yang menyokong anak mereka di rumah agar selalu membaca apalagi menyediakan bagi anak mereka dana khusus agar anak mereka dapat berlangganan majalah anak-anak.

Tampaknya hanya segelintir saja orang tua yang mampu baru mendorong anak mereka untuk membudayakan membaca di rumah. Dan cukup terbatas pula jumlah orang tua yang punya kelebihan dan untuk berlangganan majalah anak-anak. Tampaknya masih ada usaha lain yang dapat diterapkan oleh guru-guru untuk mengembangkan kebiasaan anak dalam membaca yaitu pemanfaatan pustaka sekolah.

Pernah suatu ketika seorang guru sekolah dasar mengatakan bahwa murid-muridnya cukup mempunyai minat dalam membaca. Buktinya kalau ada buku bacaan, murid-murid itu berebutan tidak sabar ingin memperolehnya. Tetapi sayang, katanya, sekolah itu tidak mempunyai guru perpustakaan.

Mestikah guru yang demikian tidak bertindak untuk menyalurkan keinginan anak untuk membaca dengan alasan tidak ada tenaga guru perpustakaan? Sementara itu murid yang dihadapinya sebagai guru kelas cuma berjumlah 25 orang, murid saja. Kita rasa dalam jumlah murid yang kecil itu guru kelas mungkin dapat mencari jalan keluarnya. Misalnya saja membawa buku bacaan sebanyak jumlah murid dan meminjamkannya untuk dibaca di rumah. Kemudian bagi yang banyak membaca kita kaitkan dengan nilai bahasa mereka, misalnya.

Pemanfaatan buku-buku bacaan seperti cara diatas cukup bermanfaat dalam pengembangan keterampilan membaca murid. Adapun untuk pengembangan keterampilan menulis adalah dengan membiasakan pemberian "tugas mengarang" kepada murid. Ada seorang penulis yang sangat terkesan akan gurnya ketika ia masih bersekolah di SD. Gurunya mewajibkan setiap murid untuk mengarang setiap minggu dan membacakannya di depan kelas. Inilah titik awal kenapa ia tertarik dalam bidang penulisan setelah dewasa.

Cara seperti ini sungguh bermanfaat untuk diterapkan oleh guru-guru sejak sekolah dasar, terus ke tingkat SLTP dan SLTA oleh guru bidang studi bahasa Indonesia. Apabila kebiasaan pemberian mengarang ini dilakukan oleh guru-guru secara kontinyu dan terprogram, maka insya Allah kita tidak melihat lagi siswa-siswi SMU kasak kusuk dalam menulis karya ilmiah sederhana. Dan begitu pula kebiasaan mahasiswa, calon sarjana, tidak akan lagi menciptakan skripsi "aspal" alias asli tapi palsu. Kita yakin kalau kemampuan menulis generasi kita sudah bagus, maka bursa penulisan skripsi liar tidak akan pernah ada lagi.

Masih ada lagi, agaknya, usaha yang kita lakukan untuk peningkatan SDM anak didik sedini mungkin. Misalnya membuat papan tempat berkreasi, semacam majalah dinding ala, siswa SLTA, dimana murid-murid SD dapat menempelkan kreasi-kreasi mereka apakah berupa gambar, puisi, cerpen dan lain-lain pada papan kreasi tersebut. Kita yakin bahwa animo murid-murid SD untuk berkreasi cukup tinggi karena pada dasarnya anak-anak kecil suka memamerkan kebolehannya. Demikianlah renungan kita dalam usaha peningkatan SDM sedini mungkin sejak sekolah dasar.

Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan

SUDAH lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.

TERLEBIH lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat.

Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education bukan universal education. Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.

Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.

Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.

Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.

Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan "No Child Left Behind". Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.

MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bagi negara maju pendidikan gratis-selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.

Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.

Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang. Dalam "ketegangan" tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya.

Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan. "Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan," kata HAR Tilaar.

SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.

Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.

Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar. Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.

Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan. Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.

Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun. Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.

Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.

Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi. Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?

Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.

Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.

Selain itu, para pemimpin harus menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju?

pendidikan dasar dan dasar pendidikan

Pendidikan merupakan investasi yang sangat penting dan berharga dalam hidup ini. Itulah sebabnya orang tua kita berani berkorban apa saja demi pendidikan anakanaknya. Tetapi karena sangat penting itu juga yang mungkin menyebabkan biaya pendidikan di negeri kita teramat tinggi. Karena biaya pendidikan terlalu tinggi menyebabkan banyak anak-anak yang putus sekolah atau bahkan tidak mampu untuk bersekolah. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan kemudian dibantu oleh Pemerintah Daerah kemudian mencanangkan pendidikan dasar yang harus ditempuh oleh masyarakat mulai dari pendidikan dasar enam tahun, sembilan tahun dan entah berapa tahun lagi akan dicanangkan untuk pendidikan dasar.

Pendidikan dasar terdiri dari dua kata yaitu “pendidikan” dan “dasar”. Diketahui sangat banyak definisi pendidikan. Menurut pengertian Yunani pendidikan adalalah “Pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak. Bangsa Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yaitu : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Pendidikan Dasar berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan serta proses perbuatan pada level dasar. Pendidikan dasar dibuat sebagai pondasi untuk melangkah ke Pendidikan Menengah dan kemudian ke Pendidikan Tinggi. Namun dalam kenyataanya apa yang dirumuskan tidak segaris lurus dengan definisi-definisi di atas. Sangat banyak anak yang sudah memiliki pendidikan dasar tetapi belum punya kemampuan untuk melakukan pengubahan sikap dan tata laku.

Apa yang tergambar saat ini, menyelesaikan pendidikan adalah keluar dari bangku sekolah dengan mendapatkan surat tanda tamat belajar ataupun bukti kelulusan. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi batas dari pendidikan dasar ini ? Apakah Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama atau yang lainnya. Apabila ditentukan dengan jenjang sekolah, batas ini akan sangat dinamik, karena faktanya pendidikan juga identik dengan lapangan pekerjaan.

Rumusan yang semestinya dibahas adalah bagaimana meletakkan ”dasar pendidikan” karena dasar pendidikan lain dengan pendidikan dasar. Dasar pendidikan adalah meletakkan pondasi yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang menggembirakan.

aRtikel pendidikan dasar

Mencermati ketentuan seragam sekolah

Setiap negara memiliki kebijakan masing-masing dalam menentukan kewajiban mengenakan seragam bagi para siswa, khususnya pada siswa sekolah dasar dan menengah. Di Indonesia, ketentuan mengenakan seragam sekolah diterapkan secara beragam, baik berdasarkan jenjang maupun jenis pendidikan.

Berdasarkan jenjang sekolah, pada umumnya seragam yang dikenakan siswa di Sekolah Dasar (SD/MI) berwarna putih (baju/bagian atas) dan merah (celana atau bagian bawah). Sementara di Sekolah Tingkat Pertama (SMP/MTs) berwarna putih (baju/bagian atas) biru (celana atau bagian bawah), sedangkan untuk seragam Sekolah Tingkat Atas (SMA/MA) berwarna putih (baju/bagian atas) abu-abu (celana atau bagian bawah).

Ketentuan berseragam tersebut boleh dikatakan berlaku secara nasional. Kendati demikian, untuk sekolah-sekolah swasta, ada yang menerapkan secara penuh ketentuan seragam di atas, namun ada pula yang menerapkan ketentuan seragam khusus sesuai dengan kekhasan dari sekolah yang bersangkutan. Pada sekolah-sekolah muslim, ketentuan berseragam sekolah disesuaikan dengan ajaran Islam (misalnya, mengenakan jilbab bagi siswa perempuan, atau bercelana panjang pada siswa laki-laki).

Sejalan dengan penerapan konsep School Based Management, saat ini ada kecenderungan sekolah-sekolah negeri pun mulai menentukan kebijakan seragam sekolahnya masing-masing. Pada hari-hari tertentu mewajibkan siswanya untuk mengenakan seragam khas sekolahnya, meski ketentuan “seragam standar nasional” masih tetap menjadi utama dan tidak ditinggalkan.

Pada sekolah-sekolah tertentu, kewajiban mengenakan seragam telah menjadi bagian dari tata-tertib sekolah dan dilaksanakan secara ketat, mulai dari ketentuan bentuk, bahan, atribut yang dikenakannya, bahkan termasuk cara pembeliannya. Penerapan disiplin berseragam yang sangat ketat, kerapkali “memakan korban” bagi siswa yang melanggarnya, mulai dari teguran lisan yang terjebak dalam kekerasan psikologis sampai dengan tindakan kekerasan hukuman fisik (corporal punishment).

Sama seperti kejadian di beberapa negara lain, ketentuan mengenakan seragam sekolah ini keberadaannya selalu mengundang pro-kontra. Di satu pihak ada yang setuju dan di pihak lain tidak sedikit pula yang memandang tidak perlu ada seragam sekolah, tentunya dengan argumentasi masing-masing. Bahkan di mata siswa pun tidak mustahil timbul pro-kontra. Lumsden (2001) menyebutkan beberapa keuntungan penggunaan seragam sekolah, diantaranya: (1) dapat meningkatkan keamanan sekolah (enhanced school safety); (2) meningkatkan iklim sekolah (improved learning climate), (3) meningkatkan harga diri siswa (higher self-esteem for students), dan (4) mengurangi rasa stress di keluarga (less stress on the family).

Mereka yang tidak setuju adanya aturan berseragam tentunya memiliki argumentasi tersendiri, biasanya dengan dalih pendidikan sebagai proses pembebasan dan proses keberagaman (bukan penyeragaman), apalagi dengan kecenderungan menjadikan seragam sekolah sebagai ritual tahunan “selingan bisnis” oknum tertentu, yang melihatnya sebagai sebuah peluang ekonomi. Menarik, apa yang dikembangkan di SMA de Britto Yogyakarta, yang tidak mewajibkan siswanya mengenakan seragam secara ketat. Kecuali hari Senin dan hari-hari lain yang diumumkan oleh sekolah, para siswa diperbolehkan mengenakan pakaian bebas, yaitu baju atau kaos yang berkrah dan celana panjang bukan kolor. Meski tidak secara ketat menerapkan aturan berseragam, tetapi para siswanya tampaknya dapat menunjukkan prestasi yang membanggakan, baik secara akademik mau pun non akademik.

Hal lain yang mungkin perlu kita pertanyakan, kenapa pada umumnya siswa laki-laki di SMP saat ini masih diwajibkan mengenakan seragam dengan celana pendek. Secara psikologis, sebetulnya para siswa SMP tidak lagi disebut anak, mereka adalah kelompok siswa yang sedang memasuki remaja awal, dalam dirinya sedang terjadi perubahan yang signifikan, baik secara fisik mau pun psikis, termasuk di dalamnya ada keinginan mereka untuk menjadi dirinya sendiri dan memperoleh pengakuan untuk tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa.

Kenapa tidak diberikan kesempatan untuk itu? Demikian pula dalam pandangan Islam, usia siswa SMP pada dasarnya sudah termasuk masa aqil baligh dan sudah dikenakan kewajiban (atau paling tidak dibelajarkan) untuk melaksanakan ibadah Shalat. Dengan kewajiban mengenakan celana pendek tentunya akan menjadi hambatan tersendiri untuk menjalankan ibadahnya. Berseragam atau tidak berseragam memang menjadi sebuah pilihan, tetapi yang paling penting dalam proses pendidikan adalah bagaimana siswa dapat dikembangkan secara optimal segenap potensi yang dimilikinya sehingga mampu menunjukkan prestasinya, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Bagaimana pendapat Anda?

TeNtang aQ

Disebuah tempat,tepat nya di ibu kota negara kita,jakarta
aQ terlahir,dan tumbuh di lingkungan keluarga yg penuh cinta..
terlahir sebagai putri pertama dan saat ini yg telah memiliki empat orang adik yg semuanya laki-laki..
awal qu bersekolah di TK.Nusantara,Sd N pulogebang05,Smp 172,dan Smu 110
sekarang qu mahasiswi UNJ fak Ekonomi jurusan ekonomi Administrasi
cita" yg sangatq qu impikan,lulus kuliah tepat waktu,cepat kerja(menjadi guru/Pns),menikah,jika kesempatan masih ada aq ingin terus melanjutkan cita" qu untuk bisa menjadi dosen... amin