Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics

Rabu, 18 Maret 2009

Pendidikan Mahasiswa berkebutuhan khusus

secara formal saya adalah pemerhati pendidikan, dan saat ini saya mencoba untuk menceritakan pengalaman pribadi mengenai putra/putri yang berkebutuhan khusus lanjutan setelah mereka lulus SLTA.

Anak saya lulus SMA tahun 2007 dengan nilai sedang. Mencoba untuk mendaftar ke sebagian besar Universitas/Akademi mengalami hambatan karena anak saya menggunakan kursi roda.Setahun sebelumnya saya menggagas buka lanjutan SLTA disalah satu Perguruan Tinggi di Jakarta bagi putra/i berkebutuhan khusus seperti autis ringan,downsyndrome,tunagrahita ringan dll.Jumlah mahasiswa sekitar 20 orang saat itu. Kenyataannya program pendidikan tidak jalan.Akhirnya saya mencoba mendirikan pendidikan non degree bidang budidiya ikan dan tanaman dengan dibina oleh Institut Pertanian Bogor. Seluruh Mahasiswa adalah yang mempunyai hambatan , ada yang slowlearner,penyandang kursi roda,autis ringan dll.

Rumah saya sulap menjadi Kampus. Tujuan kuliah bukan untuk cari gelar tapi memberi bekal agar mereka nantinya bisa mandiri dalam usaha budidaya ikan atau tanaman atau bidang usaha lain yang diminati. Metode pengajaran diubah sesuai dg kebutuhan mereka walaupun tetap tidak keluar dari kurikulum yang telah digariskan.Saat ini kuliah sudah berjalan 3 bulan dan sudah ada perubahan yang berarti.

Sekolah Maya

Situs Sekolah Maya merupakan situs percontohan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi untuk alternatif sistim belajar. Situs ini dirancang dan dikembangkan sebagai solusi alternatif pelaksanaan Program Paket A, Paket B, dan Paket C.

Situs Sekolah Maya ini dikembangkan oleh Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Maksud dan tujuan dikembangkannya situs ini adalah sebagai solusi alternatif tentang program pembelajaran luar sekolah.

Dengan adanya situs ini, setiap pribadi yang ingin melakukan pembelajaran jarak jauh dapat menikmati program ini untuk dapat mengikuti paket-paket yang disediakan. Kendala jarak, waktu, dan ruang yang mungkin sebelumnya menjadi pembatas diharapkan dapat semakin terkikis.

Selain program sekolah maya ini, Direktorat Pendidikan Kesetaraan juga melakukan beberapa program lain untuk mengatasi kendala-kendala yang dapat menghambat program-program pendidikan. Adapun program-program lain tersebut antara lain adalah;

1. Program kelas berjalan (mobile class)
2. Program kelas daerah bencana (disaster recovery class)
3. Program pembelajaran rumah (home schooling)
4. Program kelas interaktif (multimedia learning)
5. dll,

Situs ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memperoleh pendidikan alternatif dengan melakukan pembelajaran secara online.

TINGKATKAN SDM, TNI AL BUKA EMPAT PENDIDIKAN KHUSUS

Untuk meningkatkan kualitas dan keahlian sumber daya manusianya, TNI AL melalui Komando Pengembangan dan Pendidikan Angkatan Laut (Kobangdikal) membuka empat pendidikan kualifikasi khusus (Dikbrivet), Dikpaska, Diktaifib, Dikjursel dan Dikcawakasel yang dibuka secara resmi oleh Wakil Komandan Kobangdikal Brigjen TNI Marinir Halim A. Hermanto, di Lapangan Kihadjar Dewantara, Kobangdikal, Selasa (20/11).

Menurut Komandan Kobangdikal Laksda TNI Edhi Nuswantoro dalam amanatnya yang dibacakan Wadan Kobangdikal mengatakan, selain pengembangan organisasi, penambahan dan pemutakhiran teknologi alutsistanya, kemampuan prajurit yang handal juga menjadi prioritas utama, seperti halnya empat program pendidikan berkualifikasi khusus ini.

Dikaitkan dengan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan lautnya yang terbuka, setengah terbuka dan tertutup, maka kehadiran naval power akan memberikan tiga keunggulan sekaligus, yaitu keunggulan sebagai unsur defensif yang mematikan, unsur ofensif yang efektif dan detterence factor yang baik, sehingga musuh akan takut dan mengurungkan niat jahatnya.

Menurutnya, strategi pertahanan negara kita harus mengedepankan strategi pertahananmaritim dengan memperhatikan kondisi geografis sebagai
negara kepulauan. Oleh karena itu,TNI AL harus mampu mewujudkan laut yang aman dan terkendali, yaitu kondisi laut yang bebas dari beberapa ancama, tegas Komandan Kobangdikal.

“sudah sepantasnya Indonesia mempunyai kekuatan Angkatan Laut setara Green Water Navy yaitu kekuatan yang dapat diandalkan untuk menegakkan stabilitas keamanan dan berkemampuan mengadakan perlawanan terhadap setiap ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan,” tegasnya.

Megenai pembukaan empat pendidikan brivet yang berada di bawah tanggungjawabnya, pendidikan Pasukan Katak yang kali ini diikuti 24 orang ini akan dilaksanakan selama 10 bulan dengan tujuan agar para siswa mampu melaksanakan tugas-tugas dalam operasi amfibi maupun tugas-tugas dalam peperangan khusus laut

Sementara itu 24 orang turut dalam pendidikan Calon Awak Kapal Selam yang akan digelar 9 bulan. Pendidikan Dikcawakasel bertujuan agar para siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis kapal selam type 209 serta kecakapan khusus yang dapat ditugaskan sebagai pasukan bawah air.

Untuk Pendidikan Juru Selam yang diikuti 13 orang ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dengan tujuan untuk mendidik para siswa menjadi juru selam TNI AL yang profesional guna mendukung kesiapan dan keselamatan bawah air khususnya KRI dalam suatu operasi di laut.
Pendidikan Intai Amfibi yang memiliki sisiwa terbayak dengan 61 siswa akan dilaksanakan selama 10 bulan. Diktaifib bertujuan agar para siswa menjadi prajurit taifib yang dapat melaksanakan tugas pengintaian dan penyelidikan dalam operasi amfibi dan operasi-operasi lain melalui darat, laut dan udara. (Pen Kobangdikal)

GARAPAN PENDIDIKAN KHUSUS

KLASIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

A. Pendidikan Khusus (PK)
Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan baik permanent maupun temporer untuk mendapatkan penyesuaian pelayanan pendidikan. Kebutuhan permanen kebanyakan diakibatkan oleh kelainan yang disandang, antara lain:
1. Tunanetra
Adalah mereka yang mengalami gangguan daya penglihatan berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, yang membutuhkan penyesuaian pelayanan pendidikan. (6/6 to 6/18 =Normal, 6/18 to 3/60=Low Vision/Limited vision, 3/60 to 1/60=Very limited vision/socially blind, less than 1/60=practically blind)
Field of vision: 10 or less on the best eye, is usually characterized as blindness".
2. Tunarungu
Adalah mereka yang mengalami kehilangan kemampuan pendengaran menyeluruh atau sebagian,
Ada dua kelompok tunarungu yaitu:
a) Kurang dengar, yaitu mereka yang kehilangan pendengaran kurang dari 90 dB.
b) Tuli, yaitu mereka yang kehilangan pendengaran di atas 90 dB.
3. Tunagrahita
Adalah mereka yang mengalami hambatan atau keterlambatan dalam perkembangan mental disertai ketidakmampuan untuk belajar dan menyesuaikan diri.
C Tunagrahita Ringan (IQ = 50 - 70)
C1 Tunagrahita Sedang (IQ = 25 - 50)
C2 Tunagrahita Berat (IQ < 25)
4. Tunawicara
Adalah mereka yang mengalami gangguan dalam berbicara diakibatkan oleh kelaianan/kerusakan pada organ bicara.
5. Tunadaksa
Adalah mereka yang memiliki kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, otot, sendi, dan pada sisstem saraf pusat) sehingga membutuhkan penyesuaian layanan Pendidikan
6. Tunalaras
Adalah mereka yang mengalami gangguan emosi dan perilaku sehingga mengalami kesulitan dalam bertingkah laku dan membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan.
7. Anak berbakat
Adalah anak yang memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa dan atau bakat istimewa, (giffted): potensi kecerdasan istimewa (IQ>125) talented: Potensi bakat istimewa (multiple Intelegensys language, Lagico, Mathematic, Visuo Spatial Bodly, Khineshtetic Intrapersonal, Musical, Natural, Spiritual.
8. Tunaganda
Adalah mereka yang memiliki dua atau lebih kelainan, sehingga membutuhkan penyesuaian layanan Pendidikan.
9. Anak Berkesulitan Belajar
Adalah anak yang mengalami berbagai kesulitan dalam melakukan pembelajaran seperti membaca, menulis dan berhitung (Hyperactive, ADD/ADHD, Dyslexia/ baca, Dysphxia/ bicara, Dyspraxia/ motorik).
10. Anak Autisme
Adalah anak yang mengalami hambatan dalam proses interaksi sosial, komunikasi, perilaku, dan bahasa.
11. Anak dengan gangguan Konsentrasi dan Perhatian
Adalah anak yang tidak mampu memusatkan perhatian pada objek tertentu
12. Lambat Belajar (IQ 70-90)
13. Korban Penyalahgunaan Narkoba/HIV/AIDS
14. INDIGO (Memiliki Indra Keenam)


B. Pendidikan Layanan Khusus (PLK)
1. Kondisi Sosial-Emosi
Anak yang secara sosial terpinggirkan membutuhkan kebutuhan khusus dalam memperoleh pelayanan pendidikan. Pelayanan pendidikan untuk mereka perlu ada penyesuaian.
2. Kondisi Ekonomi
Mereka yang secara ekonomi kurang "beruntung", akan mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah. Terutama untuk mengikuti waktu belajar secara reguler. Saat teman sebaya mereka belajar, mereka sibuk membantu orang tua di ladang, sawah, atau bahkan di jalanan. Sehingga bagi mereka diperlukan pelayanan pendidikan yang disesuaikan dengan kondisinya
3. Kondisi Politik
Anak-anak usia belajar yang berada di daerah konflik politik, misalnya di Aceh, Ambon, atau Poso, juga memiliki kebutuhan khusus dalam mendapat pelayanan pendidikan selain itu juga di daerah bencana alam. Semua yang disebut pada nomor 1, 2, dan 3 itu memiliki kebutuhan khusus yang mungkin sementara. Artinya, ketika semua kondisi tersebut sudah tidak ada, mungkin kebutuhan khusus mereka terhadap penyesuaian layanan pendidikan pun berkurang atau bahkan tidak ada.

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.(*)

Pentingnya Pendidikan Keagamaan di Sekolah

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tujuan pendidikan di sekolah adalah mewujudkan UU yang dituangkan pada GBHN. Realisasi yang sering kita lihat adalah bhwa pendidikan keagamaan tidak diikutkan pada UAN (Ujian Akhir Nasional). Ini jelas bisa dilihat tujuan bangsa indonesia yang dituangkan pada GBHN jauh dari dapat direalisasikan tujuan GBHN tersebut.

Seperti kita lihat pelajaran keagamaan di setiap sekolah yang dikatakan "umum" itu hanya diselipkan pada waktu yang hanya sdikit sekali, padahal jika pendidikan agama di UAN-kan maka bisa dipastikan waktu pembimbingan akan ditambah dan ini layak bagi pelajaran keagamaan.

Tujuan bangsa indonesia akan terrealisasikan karena setiap pemeluk agama akan betul-betul memahami dan melakukan pedoman agamanya.

*> Makna (Q.S al jaljalah : 6-8).
"Faman ya'mal mitskoola dzarrotin khoeron yarrohu. Wa man ya'mal mistkoola dzarrotin syarron yarohu."

Banyak persepsi menyatakan bahwa ayat ini tertuju pada setiap amal yang dilakukan, dan balasannya hanya bisa dirasakan di akhirat saja. Padahal tidak demikian makna dari ayat di atas. Bisa diartikan pada setiap usaha kita, sebagai bahasannya: "Ketika kita bekerja / dalam arti berusaha sedikit yang kita lakukan maka akan mendapat hasil yang sedikit pula."

Sebagai contoh si Anu bekerja sebentar sebagai kuli pasar, maka hasil yang didapat akan sedikit pula, inilah yang dimaksud lain pada ayat di atas.

Kesimpulan dari makna ayat di atas dapat dibuktikan di dunia, bukan di akhirat saja. Tapi lebih jelasnya dunia dan akhirat. Sekecil jarah yang dilakukan / berusaha kita maka sekecil jarah pula yang didapat.

Korelasi UU Sisdiknas dan PP Pendidikan Keagamaan

Pada tanggal 10 Maret 2009 Kantor Depag Kota Semarang mengadakan Rapat Kerja (Raker). Raker diikuti oleh Kepala KUA, Pejabat struktural di lingkungan Depag dan beberapa Kepala MI atau MTs. Pada salah satu sesi raker tersebut, Dinas Pendidikan Kota Semarang turut menyampaikan materi dengan topik Korelasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Pada materi yang disampaikan diulas tentang hirarki regulasi dari UUD 1945 sampai turunnya PP 55/2007 tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”. Oleh karenanya Pendidikan keagamaan jelas merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Hal tersebut menyiratkan arti pentingnya pendidikan agama dan keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional

Tanamkan Pendidikan Keagamaan Sejak Usia Dini

Pendidikan agama memang harus dimulai sejak dini, agar mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang benar-benar tumbuh sebagai insan akhlakul kharimah, sebagaimana inti risalah Nabi Muhammad SAW.

Ajakan itu disampaikan Bupati Deliserdang Drs H Amri Tambunan di depan ratusan masyarakat pada saat acara pengukuhan Pimpinan dan Pengurus Yayasan Pendidikan Madarasah Al Amin, HM Dahril Siregar sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Yayasan Drs H M Yahya Z, yang dirangkaikan dengan peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW 1430 H, Senin (9/3) di Desa Medan Estate Kecamatan Percut Sei Tuan.

Lebih lanjut Bupati mengatakan nilai-nilai keteladanan Nabi Muhammad SAW perlu diaplikasikan dalam usaha mewariskan kehidupan yang lebih baik pada generasi muda. Dan kepada para pengurus Yayasan Al Amin yang telah dikukuhkan diharapkan dapat memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam peningkatan pendidikan agama kepada para anak didik.

Turut memberikan sambutan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Al Amin Medan Estate HM Dahril Siregar yang juga sebagai Ketua DPC Pemuda Pancasila Kabupaten Deliserdang.

Sementara Ketua Panitia DR Muhammad Yusuf MSi menjelaskan, kegiatan dirangkaikan dengan lomba baca tahtim tahlil bagi kaum ibu dan lomba praktik shalat dan lomba azan bagi anak-anak murid.

Hadir mendampingi bupati Kadis Dikpora Drs Sofian Marpaung MPd, sejumlah pejabat Pemkab Deliserdang, Camat Percut Sei Tuan H Syafrullah S Sos MAP/Muspika, serta tokoh pemuda dr Boyke Sihombing.

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)

pesantren

Pesantren atau Pondok Pesantren (biasanya juga disebut pondok saja) adalah sekolah Islam berasrama (Islamic boarding school). Para pelajar pesantren (disebut sebagai santri) belajar pada sekolah ini, sekaligus tinggal pada asrama yang disediakan oleh pesantren. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut Lurah Pondok.
Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa bahasa Arab. Istilah Pondok sendiri berasal dari Bahasa Arab (فندوق, funduuq), sementara istilah Pesantren berasal dari kata pe-santri-an.
Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting dalam beberapa negara, khususnya beberapa negara yang banyak pemeluk agama Islam di dalamnya. Pesantren menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka, agar dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum. Pesantren untuk tingkat SMP dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dikenal dengan nama Madrasah Aliyah. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salafi. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.
Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari shalat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pun belajar ilmu formal, yang dapat diperolehnya dari sekolah umum, sementara pada waktu sore, mereka pun menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka, dengan memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an. Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah; meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.
Salah satu pesantren yang terkenal di Indonesia adalah Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Alumninya bertebaran di seluruh Indonesia. Beberapa alumnusnya yang terkenal adalah:
• Dr. Hidayat Nurwahid (Ketua MPR RI),
• Hasyim Muzadi (Ketua PB Nahdlatul Ulama),
• Prof. Nurkholish Madjid mantan (Rektor Universitas Paramadina),
• Dr. Din Syamsuddin (Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU).[rujukan?] Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.
Salah seorang kyai yang terkenal adalah mantan Presiden Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid putra KH. Wahid Hasyim (Menteri Agama), yang juga keturunan kyai terkenal KH. Hasyim Asy'ari.
Pondok Modern Gontor mempunyai cabang pondok Alumi diberbagai pelosok Indonesia dan salah satu yang terbesar Pondok Modern Arrisalah di Slahung, yang dipimpin oleh KH Ma'sum Yusuf.

Pembelajaran Pada Taman kanak-Kanak

Anak taman kanak-kanak termasuk dalam kelompok umum prasekolah. Pada umur 2-4 tahun anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan, dan menciptakan sesuatu. Pada masa ini anak mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain. Seluruh sistem geraknya sudah lentur, sering mengulangi perbuatan yang diminatinya dan melakukan secara wajar tanpa rasa malu. Di taman kanak-kanak, anak juga mengalami kemajuan pesat dalam penguasaan bahasa, terutama dalam kosa kata. Hal yang menarik, anak-anak juga ingin mandiri dan tak banyak lagi mau tergantung pada orang lain.
Sehubungan dengan ciri-ciri di atas maka tugas perkembangan yang diemban anak-anak adalah:
1. Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain.
2. Membangun sikap yang sehat terhadap diri sendiri
3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya
4. Mengembangkan peran sosial sebagai lelaki atau perempuan
5. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan dalam hidup sehari-hari
6. Mengembangkan hati nurani, penghayatan moral dan sopan santun
7. Mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, matematika dan berhitung
8. Mengembangkan diri untuk mencapai kemerdekaan diri.
Dengan adanya tugas perkembangan yang diemban anak-anak, diperlukan adanya pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak-anak yang selalu “dibungkus” dengan permainan, suasana riang, enteng, bernyanyi dan menari. Bukan pendekatan pembelajaran yang penuh dengan tugas-tugas berat, apalagi dengan tingkat pengetahuan, keterampilan dan pembiasaan yang tidak sederhana lagi seperti paksaan untuk membaca,menulis, berhitung dengan segala pekerjaan rumahnya yang melebihi kemampuan anak-anak.
Pada usia lima tahun pada umumnya anak-anak baik secara fisik maupun kejiwaan sudah siap untuk belajar hal-hal yang semakin tidak sederhana dan berada pada waktu yang cukup lama di sekolah. Setelah apada usia 2-3 tahun mengalami perkembangan yang cepat. Pada usia enam tahun, pada umumnya anak-anak telah mengalami perkembangan dan kecakapan bermacam-macam keterampilan fisik. Mereka sudah dapat melakukan gerakan-gerakan seperti meloncat, melompat, menangkap, melempar, dan menghindar. Pada umumnya mereka juga sudah dapat naik sepeda mini atau sepeda roda tiga. Kadang-kadang untuk anak-anak tertentu keterampilan-keterampilan ini telah dikuasainya pada usia 4-5 tahun.
Montessori memberikan gambaran peran guru dan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan kecerdasan, sebagai berikut:
a. 80 % aktifitas bebas dan 20 % aktifitas yanag diarahkan guru
b. melakukan berbagai tugas yang mendorong anak untuk memikirkan tentang hubungan dengan orang lain
c. menawarkan kesempatran untuk menjalin hubungan social melalui interaksi yang bebas
d. dalil-dalil ditemukan sendiri, tidak disajikan oleh guru
e. atauran pengucapan didapat melalui pengenalan pola, bukan dengan hafalan
setiap aspek kurikulum melibatkan pemikiran
Montessori, mengatakan bahwa pada usia 3-5 tahun, anak-anak dapat diajari menulis, membaca, dikte dengan belajar mengetik. Sambil belajar mengetik anak-anak belajar mengeja, menulis dan membaca. Ada suatu penelitian di Amerika yang menyimpulkan bahwa kenyataannya anak-anak dapat belajar membaca sebelum usia 6 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada sekitar 2 % anak yang sudah belajar dan mampu membaca pada usia 3 tahun, 6 % pada usia empat tahun, dan sekitar 20 % pada usia 5 tahun. Bahkan terbukti bahwa pengalaman belajar di taman kanak-kanak dengan kemampuan membaca memadai akan sangat menunjang kemampuan belajar pada tahun-tahun berikutnya.
Pendapat Montessori ini didukung oleh Moore, seorang sosiolog dan pendidik, meyakini bahwa kehidupan tahun-tahun awal merupakan tahun-tahun yang paling kreaktif dan produktif bagi anak-anak. Oleh karena itu, sejauh memungkinkan, sesuai dengan kemampuan, tingkat perkembangan dan kepekaan belajar mereka, kita dapat juga mengajarkan menulis, membaca dan berhitung pada usia dini. Yang penting adalah strategi pengalaman belajar dan ketepatan mengemas pembelajaran yang menarik, mempesona, penuh dengan permainan dan keceriaan, enteng tanpa membebani dan merampas dunia kanak-kanak mereka.
Salah satu hal yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan perkembangan kecerdasan anak adalah suasana keluarga dan kelas yang akrab, hangat serta bersifat demokratis, sekaligus menawarkan kesempatan untuk menjalin hubungan sosial melalui interaksi yang bebas. Hal ini ditandai antara lain dengan adanya relasi dan komunikasi yang hangat dan akrab. .
Pada masa usia 2 – 6 tahun, anak sangat senang kalau diberikan kesempatan untuk menentukan keinginannya sendiri, karena mereka sedang membutuhkan kemerdekaan dan perhatian. Pada masa ini juga mencul rasa ingin tahu yang besar dan menuntut pemenuhannya. Mereka terdorong untuk belajar hal-hal yang baru dan sangat suka bertanya dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu. Guru dan orang tua hendaknya memberikan jawaban yang wajar. Sampai pada usia ini, anak-anak masih suka meniru segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya.
Perlu diingat juga bahwa minat anak pada sesuatu itu tidak berlangsung lama, karena itu guru dan orang tua harus pandai menciptakan kegiatan yang bervariasi dan tidak menerapkan disiplin kaku dengan rutinitas yang membosankan. Anak pada masa ini juga akan berkembang kecerdasannya dengan cepat kalau diberi penghargaan dan pujian yang disertai kasih sayang, dengan tetap memberikan pengertian kalau mereka melakukan kesalahan atau kegagalan. Dengan kasih sayang yang diterima, anak-anak akan berkembang emosi dan intelektualnya, yang penting adalah pemberian pujian dan penghargaan secara wajar.
Untuk memfasilatasi tingkat perkembangan fisik anak, pada taman kanak-kanak perlu dibuat adanya arena bermain yang dilengkapi dengan alat-alat peraga dan alat-alat keterampilan lainnya, karena pada usia 2- 6 tahun tingkat perkembangan fisik anak berkembang sangat cepat, dan pada umur tersebut anak-anak perlu dikenalkan dengan fasilitas dan alat-alat untuk bermain, guna lebih memacu perkembangan fisik sekaligus perkembangan psikis anak terutama untuk kecerdasan.
Banyak penelitian menyatakan bahwa orang-orang yang cerdas dan berhasil pada umumnya berasal dari keluarga yang demokratis, suka melakukan uji coba, suka menyelidiki sesuatu, suka berpergian (menjelajah alam dan tempat), dan aktif, tak pernh diam dan berpangku tangan. Ingat keterampilan tangan adalah jendela menuju pengetahuan. Dalam proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan uji coba (trial and error), mangadakan penyelidikan bersama-sama, menyaksikan dan menyentuh sesuatu objek, mengalami dan melakukan sesuatu , anak-anak akan jauh lebih mudah mengerti dan mencapai hasil belajar dengan mampu memanfaatkan atau menerapkan apa yang telah dipelajari.

Perkembangan Anak Usia Dini

Banyak pendapat dan gagasan tentang perkembangan anak usia dini, Montessori yakin bahwa pendidikan dimulai sejak bayi lahir. Bayipun harus dikenalkan pada orang-orang di sekitarnya, suara-suara, benda-benda, diajak bercanda dan bercakap-cakap agar mereka berkembang menjadi anak yang normal dan sehat. Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun kelahiran sampai usia enam tahun biasanya menentukan kepribadian anak setelah dewasa. Tentu juga dipengaruhi seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak usia dini. Karena perkembangan mental usia-usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang tidak boleh disepelekan. Pada tahun-tahun awal ini anak-anak memiliki periode-periode sensitive atau kepekaan untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak-anak berkembang pada asa yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran mereka.
Menurut Montessori, paling tidak ada beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:
1. Sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat “menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.
2. Usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap).
3. Masa usia 2 – 4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).
4. Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan indrawi, khususnya pada usia sekitar 4 tahun memiliki kepekaan menulis dan pada usia 4 – 6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.
Pendapat Mantessori ini mendapat dukungan dari tokoh pendidkan Taman Siswa, Ki hadjar Dewantara, sangat meyakini bahwa suasana pendidikan yang baik dan tepat adalah dalam suasana kekeluargaan dan dengan prinsip asih (mengasihi), asah (memahirkan), asuh (membimbing). Anak bertumbuh kembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang, pengasuhan yang penuh pengertian dan dalam situasi yang damai dan harmoni. Ki Hadjar Dewantara menganjurkan agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan untuk mencerdaskan (mengembangkan) pikiran, pendidikan untuk mencerdaskan hati (kepekaan hati nurani), dan pendidikan yang meningkatkan keterampilan.
Tokoh pendidikan ini sangat menekankan bahwa untuk usia dini bahkan juga untuk mereka yang dewasa, kegiatan pembelajaran dan pendidikan itu bagaikan kegiatan-kegiatan yang disengaja namun sekaligus alamiah seperti bermain di “taman”. Bagaikan keluarga yang sedang mengasuh dan membimbing anak-anak secara alamiah sesuai dengan kodrat anak di sebuah taman. Anak-anak yang mengalami suasana kekeluargaan yang hangat, akrab, damai, baik di rumah maupun di sekolah, serta mendapatkan bimbingan dengan penuh kasih sayang, pelatihan kebiasaan secara alami, akan berkembang menjadi anak yang bahagia dan sehat. ]

MEMAHAMI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah salah satu upaya pembinaan yangditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Tujuan PAUD adalah membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik, intelektual, emosional, moral dan agama secra optimal dlam lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis dan kompetitif.


LANDASAN YURIDIS
1. Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.’
2. Amandemen UUD 1945 pasal 28 C
’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’
3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1)
’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’
4. UU No 20/2003 pasal 28
1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal.
3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
5) Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

PAUD MERUPAKAN KOMITMEN DUNIA

Komitmen Jomtien Thailand (1990)
’Pendidikan untuk semua orang, sejak lahir sampai menjelang ajal.’

Deklarasi Dakkar (2000)
’Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara komprehensif terutama yang sangat rawan dan terlantar.’
Deklarasi ”A World Fit For Children” di New York (2002)
‘Penyediaan Pendidikan yang berkualitas’

PENTINGNYA PAUD
1) PAUD sebagai titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat fundamental.
2) PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya, sebab merupakan fondasi dasar bagi kepribadian anak.
3) Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja, produktivitas, pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
4) Merupakan Masa Golden Age (Usia Keemasan). Dari perkembangan otak manusia, maka tahap perkembangan otak pada anak usia dini menempati posisi yang paling vital yakni mencapai 80% perkembangan otak.
5) Cerminan diri untuk melihat keberhasilan anak dimasa mendatang. Anak yang mendapatkan layanan baik semenjak usia 0-6 tahun memiliki harapan lebih besar untuk meraih keberhasilan di masa mendatang. Sebaliknya anak yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengembangkan hidup selanjutnya.

KONDISI YANG MEMPENGARUHI ANAK USIA DINI

Faktor Bawaan : faktor yang diturunkan dari kedua orang tuanya, baik bersifat fisik maupun psikis.

Faktor Lingkungan
1. Lingkungan dalam kandungan
2. Lngkungan di luar kandungan : lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah dll.

MEMAHAMI KARAKTERISTIK ANAK USIA DINI

1. Mengetahui hal-hal yang dibutuhkan oleh anak, yang bermanfaat bagi perkembangan hidupnya.
2. Mengetahui tugas-tugas perkembangan anak, sehingga dapat memberikan stimulasi kepada anak, agar dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik.
3. Mengetahui bagaimana membimbing proses belajar anak pada saat yang tepat sesuai dengan kebutuhannya.
4. Menaruh harapan dan tuntutan terhadap anak secara realistis.
5. Mampu mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.

Pelayanan bagi Anak Berbakat

Mengingat bahwa anak berbakat memiliki kemampuan dan minat yang amat berbeda dari anak-anak sebayanya, maka agak sulit jika anak berbakat dimasukkan pada sekolah tradisional, bercampur dengan anak-anak lainnya. Di kelas-kelas seperti itu akan terjadi dua kerugian, yaitu: (1) anak berbakat akan frustrasi karena tidak mendapat pelayanan yang dibutuhkan, dan (2) guru dan teman-teman kelasnya akan bisa sangat terganggu oleh perilaku anak berbakat tadi.

Beberapa kemungkinan pelayanan anak berbakat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan program akselerasi khusus untuk anak-anak berbakat. Program akselerasi dapat dilakukan dengan cara "lompat kelas", artinya anak dari Taman Kanak-Kanak misalnya tidak harus melalui kelas I Sekolah Dasar, tetapi misalnya langsung ke kelas II, atau bahkan ke kelas III Sekolah Dasar. Demikian juga dari kelas III Sekolah Dasar bisa saja langsung ke kelas V jika memang anaknya sudah matang untuk menempuhnya. Jadi program akselerasi dapat dilakukan untuk: (1) seluruh mata pelajaran, atau disebut akselerasi kelas, ataupun (2) akselerasi untuk beberapa mata pelajaran saja. Dalam program akselerasi untuk seluruh mata pelajaran berarti anak tidak perlu menempuh kelas secara berturutan, tetapi dapat melompati kelas tertentu, misalnya anak kelas I Sekolah Dasar langsung naik ke kelas III. Dapat juga program akselerasi hanya diberlakukan untuk mata pelajaran yang luar biasa saja. Misalnya saja anak kelas I Sekolah Dasar yang berbakat istimewa dalam bidang matematika, maka ia diperkenankan menempuh pelajaran matematika di kelas III, tetapi pelajaran lain tetap di kelas I. Demikian juga kalau ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat maju dalam bidang bahasa Inggris, ia boleh mengikuti pelajaran bahasa Inggris di kelas V atau VI.

2) Home-schooling (pendidikan non formal di luar sekolah). Jika sekolah keberatan dengan pelayanan anak berbakat menggunakan model akselerasi kelas atau akselerasi mata pelajaran, maka cara lain yang dapat ditempuh adalah memberikan pendidikan tambahan di rumah/di luar sekolah, yang sering disebut home-schooling. Dalam home-schooling orang tua atau tenaga ahli yang ditunjuk bisa membuat program khusus yang sesuai dengan bakat istimewa anak yang bersangkutan. Pada suatu ketika jika anak sudah siap kembali ke sekolah, maka ia bisa saja dikembalikan ke sekolah pada kelas tertentu yang cocok dengan tingkat perkembangannya.

3) Menyelenggarakan kelas-kelas tradisional dengan pendekatan individual. Dalam model ini biasanya jumlah anak per kelas harus sangat terbatas sehingga perhatian guru terhadap perbedaan individual masih bisa cukup memadai, misalnya maksimum 20 anak. Masing-masing anak didorong untuk belajar menurut ritmenya masing-masing. Anak yang sudah sangat maju diberi tugas dan materi yang lebih banyak dan lebih mendalam daripada anak lainnya; sebaliknya anak yang agak lamban diberi materi dan tugas yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Demikian pula guru harus siap dengan berbagai bahan yang mungkin akan dipilih oleh anak untuk dipelajari. Guru dalam hal ini menjadi sangat sibuk dengan memberikan perhatian individual kepada anak yang berbeda-beda tingkat perkembangan dan ritme belajarnya.

4) Membangun kelas khusus untuk anak berbakat. Dalam hal ini anak-anak yang memiliki bakat/kemampuan yang kurang lebih sama dikumpulkan dan diberi pendidikan khusus yang berbeda dari kelas-kelas tradisional bagi anak-anak seusianya. Kelas seperti ini pun harus merupakan kelas kecil di mana pendekatan individual lebih diutamakan daripada pendekatan klasikal. Kelas khusus anak berbakat harus memiliki kurikulum khusus yang dirancang tersendiri sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat. Sistem evaluasi dan pembelajarannyapun harus dibuat yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Tanda-tanda Umum Anak Berbakat

Sejak usia dini sudah dapat dilihat adanya kemungkinan anak memiliki bakat yang istimewa. Sebagai contoh ada anak yang baru berumur dua tahun tetapi lebih suka memilih alat-alat mainan untuk anak berumur 6-7 tahun; atau anak usia tiga tahun tetapi sudah mampu membaca buku-buku yang diperuntukkan bagi anak usia 7-8 tahun. Mereka akan sangat senang jika mendapat pelayanan seperti yang mereka harapkan.

Anak yang memiliki bakat istimewa sering kali memiliki tahap perkembangan yang tidak serentak. Ia dapat hidup dalam berbagai usia perkembangan, misalnya: anak berusia tiga tahun, kalau sedang bermain seperti anak seusianya, tetapi kalau membaca seperti anak berusia 10 tahun, kalau mengerjakan matematika seperti anak usia 12 tahun, dan kalau berbicara seperti anak berusia lima tahun. Yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda dari teman-teman seusianya. Hal ini tidak jarang membuat guru di sekolah mengalamai kesulitan, bahkan sering merasa terganggu dengan anak-anak seperti itu. Di samping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki kemampuan menerima informasi dalam jumlah yang besar sekaligus. Jika ia hanya mendapat sedikit informasi maka ia akan cepat menjadi "kehausan" akan informasi.

Di kelas-kelas Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar anak-anak berbakat sering tidak menunjukkan prestasi yang menonjol. Sebaliknya justru menunjukkan perilaku yang kurang menyenangkan, misalnya: tulsiannya tidak teratur, mudah bosan dengan cara guru mengajar, terlalu cepat menyelesaikan tugas tetapi kurang teliti, dan sebagainya. Yang menjadi minat dan perhatiannya kadang-kadang justru hal-hal yan gtidak diajarkan di kelas. Tulisan anak berbakat sering kurang teratur karena ada perbedaan perkembangan antara perkembangan kognitif (pemahaman, pikiran) dan perkembangan motorik, dalam hal ini gerakan tangan dan jari untuk menulis. Perkembangan pikirannya jauh ebih cepat daripada perkembangan motoriknya. Demikian juga seringkali ada perbedaan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasanya, sehingga dia menjadi berbicara agak gagap karena pikirannya lebih cepat daripada alat-alat bicara di mulutnya.

Pengakuan Komunitas Homeschooling

Pengakuan Komunitas Homeschooling

Bertempat di kantor Depdiknas, pada 10 Januari 2007, Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia (Asah Pena) menandatangi Nota Kesepahaman (MOU) bersama Depdiknas berisi pengakuan Komunitas Sekolahrumah sebagai salah satu Satuan Pendidikan non formal yang diakui negara.

Pengakuan ini adalah sebuah langkah maju terhadap praktek homeschooling yang eksistensinya dijamin oleh Konstitusi UUD 1945 dan UU No. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional.
B
anyak orang yang bertanya, bagaimanakah status legalitas homeschooling dalam sistem pendidikan Nasional di Indonesia? Apakah homeschooling legal atau illegal? Bagaimana kompatibilitasnya dengan sekolah umum?

Bagi para orang tua homeschooling, kekhawatiran mengenai legalitas homeschooling tak perlu muncul karena homeschooling sepenuhnya adalah legal. Artinya, keberadaan homeschooling diakui dan dijamin oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Tak ada aturan atau hukum yang dilanggar dalam pelaksanaan homeschooling.
Bahkan, homeschooling merupakan sebuah inisiatif dan kontribusi dari masyarakat untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Inisiatif yang semacam ini semestinya perlu dihargai dan didukung.

Secara prinsip, hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan telah diatur dalam konstitusi kita, di dalam

Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pasal 31 yang mengamanatkan pentingnya pendidikan nasional.



Dalam aturan yang ada di bawahnya, yaitu Undang-undang, masalah pendidikan diatur dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hak warga negara dan keluarga untuk untuk memperoleh pendidikan bermutu diakui dan dijamin oleh negara. Hak ini diatur di dalam pasal 5:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Di dalam Sistem Pendidikan Nasional, ada tiga jalur pendidikan yang dikenal dalam sistem pendidikan di Indonesia, yaitu: pendidikan formal, non formal, dan informal. Sekolah yang biasa kita kenal (SD-SMP-SMA) adalah contoh pendidikan formal.

Contoh pendidikan non formal adalah: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarkat (PKBM), majelis taklim, dan sebagaimananya. Sementara yang dimaksud jalur pendidikan informal adalah pendidikan oleh keluarga dan lingkungan secara mandiri.

Nah, salah satu contoh dari pendidikan informal adalah homeschooling, atau sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai "Sekolah Rumah". Secara khusus, keberadaan homeschooling (jalur pendidikan informal) diatur dalam pasal 27 ayat (1), UU No. 20/2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, yang bunyinya: "Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri". Jadi, orang tua homeschooling tak perlu ragu dan khawatir dengan legalitas homeschooling.

Mengacu pada UU di atas, pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan informal kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan nonformal. Jika orang tua homeschooling menginginkan, anak-anak homeschooling dapat mengikuti ujian kesetaraan, baik kesetaraan SD (Paket A), kesetaraan SMP (Paket B), kesetaraan SMA (Paket C).

KOMPETENSI TUTOR TERBATAS, PENDIDIKAN INFORMAL ALTERNATIF TERAKHIR

Menurut Erman pada “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF” di Gedung Gerai Informasi Depdiknas Jakarta, Rabu (5/7) selain itu pamong belajar, penilik, TLD (Tenaga Lapangan Dikmas), pendidik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), instruktur kursus dan pengelola satuan Pendidik PNF masih dihadapkan pada persoalan-persoalan intensif, daya saing dan kepemimpinan.

Diperlukan upaya strategis, sistematik dan berkelanjutan dalam pembangunan mutu pendidikan khususnya pendidikan non formal yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, katanya.

"PNF idealnya tidak lagi minim sentuhan, dalam konteks peningkatan mutu maka pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi warga masyarakat untuk terlibat dalam memberikan saran maupun kritik terhadap mutu penyelenggaraan pendidikan itu, terutama menyangkut mutu PTK- PNF," katanya.

Relevansi dengan semangat keterbukaan dan untuk mewujudkan kualitas PNF, pemerintah menurut dia memandang perlu menyebar-luaskan informasi tentang PNF dan secara khusus mutu PTK-PNF. Salah satu elemen yang dapat menjadi mitra kerjasama strategis dalam penyebarluasan informasi tentang mutu pendidik dan tenaga kependidikan PNF adalah wartawan, katanya.

Pertimbangan tersebut relevan mengingat keberadaan wartawan merupakan kekuatan pembentuk opini yang sangat signifikan pada era informasi dewasa ini. Salah satu bentuk kegiatan yang akan diselenggarakan dalam rangka kerjasama strategis adalah “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF”.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan mutu saling pengertian dan kesepahaman antara Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK dengan wartawan tentang perlunya dukungan media massa terhadap strategi, program, dan kegiatan Dit. PTK-PNF.

Juga memberikan apresiasi secara selektif kepada wartawan Koran nasional maupun daerah yang telah menulis tentang PTK-PNF dan meningkatkan efektifitas sosialisasi strategi, program dan kegiatan Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK kepada masyarakat luas yang membutuhkan sehingga terbangun partisipasi dan dukungan dari masyarakat yang lebih berkelanjutan.

Kegiatan ini berkesesuaian dengan upaya pemerintah dalam menata kebijakannya dalam tema-tema sbb:perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.

Depdiknas mempunyai perhatian sangat besar terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia baik mutu pendidikan formal persekolahan maupun pendidikan non formal yang dikenal dengan pendidikan Kesetaraan Paket A/B/C Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus dan Pelatihan, kata Erman

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131. (rhu)

Selasa, 17 Maret 2009

Homeschooling dan Kesiapan Orang Tua

Homeschooling kini bukan lagi sebuah wacana. Sudah banyak orang yang mencobanya. Namun sejauh ini, persoalan tentang legalitas masih saja menjadi bahan pembicaraan dan bahkan polemik.

Pemerintah sendiri nampaknya memiliki paradigma sendiri tentang kehadiran homeschooling. Memperkaya model pendidikan, tentu iya, namun di sisi lain, ketika homeschooling sudah tersosialisasikan wacananya kepada masyarakat, tata kelengkapan teknisnya juga perlu disiapkan. Satu hal yang sangat penting untuk ditindaklanjuti, adalah kesiapan orang tua.

Homeschooling dalam persepsi saya, bukanlah perkara yang mudah. Kendati dalam gambaran kasar sepertinya begitu menyenangkan dan fleksibel, tapi karena kefleksibelan itu pula orang tua harus memiliki wawasan yang kaya dalam melayani kebutuhan belajar anak-anak. Orang tua membutuhkan panduan untuk membimbing anak-anak, meski tidak selalu harus menjadi guru dalam pengertian guru yang berdiri di depan kelas. Tidak semua orang tua siap dengan kondisi fleksibel dan serba harus menyiapkannya sendiri. Hal itu pula nampaknya yang memicu munculnya “sekolah-sekolah” homeschooling. Dengan menyadari bahwa tidak semua peminat homeschooling adalah orang-orang yang siap dari sisi mental dan juga skill, banyak lembaga-lembaga berlabelkan homeschooling berdiri di tengah-tengah kita.

Homeschooling bagi saya adalah pendidikan alternatif yang berbasis rumah. Namun faktanya, makna homeschooling kini menjadi bias. Menjamurnya “sekolah” berlabel homeschooling di beberapa tempat, khususnya Jakarta dan Bandung, membuat homeschooling memang hanya sebuah istilah yang tak bisa dicerna dari akar kata. Sama halnya ketika kita menamai sebuah tempat dengan sebutan cipanas tapi udara dan air di tempat itu ternyata dingin.

Setelah melewati berbagai pengkajian pribadi, saya bisa katakan bahwa homeschooling membutuhkan pertanggungjawaban. Jangan sampai wacana homeschooling hanya menjadi pemicu untuk merebaknya gerakan anti sekolah yang didasari oleh kemalasan. Karena bukan tidak mungkin, peminat homeschooling yang tidak siap secara mental dan skill, mereka tak hanya meninggalkan sekolah tapi juga meninggalkan belajar.

Homeschooling itu memang asyik, tapi tetap ada resikonya. Perhitungkan dengan matang untuk memilih homeschooling, sampai kita yakin betul bahwa pilihan itu memang paling tepat dan sesuai dengan kondisi dan kesiapan kita serta anak-anak.

Seorang peminat homeschooling yang benar-benar serius, menurut saya bahkan harus memperhitungkan untuk siap dengan kondisi paling buruk, misalnya tanpa ijazah. Itu memang pilihan radikal, tapi ketika tujuan pendidikan pribadi sudah ditetapkan, hal itu bukanlah persoalan besar.

Keberadaan ijazah pada mulanya, bisa jadi memiliki tujuan filosofis yang lebih tinggi dari sekedar tanda lulus. Ijazah adalah simbol dari keseriusan belajar anak sekolah dalam masa pendidikannya. Kalau kemudian terjadi degradasi nilai pada ijazah, itulah anomali dari sebuah konsep. Kita pun akan menemukan hal itu di bidang apapun di luar bidang pendidikan.

Meskipun banyak persoalan terjadi di dunia pendidikan, untuk menyelesaikannya tidaklah bisa dengan cara-cara impulsif, saling curiga, dan menghakimi. Kalau homeschooling itu bisa menjadi salah satu pilihan di antara banyak pilihan yang ada, cari tahu dan pahami lebih dulu dengan sedalam-dalamnya. Mengalirlah seperti air, temukan hal-hal baru, dan teruslah belajar. Karena hanya dengan belajar kita bisa menemukan kearifan dari setiap pengetahuan dan pendapat yang hidup di sekeliling kita.

Homeschooling, haruskah eksklusif?

Sejak subsidi pendidikan nyaris ditiadakan, efek yang langsung terasa oleh masyarakat, adalah mahalnya biaya sekolah. Terbukanya peluang untuk tumbuhnya pendidikan alternatif seperti homeschooling (HS) adalah kabar baik.

Dengan pertimbangan finansial, HS diharapkan bisa mengabaikan unsur-unsur tertentu yang membuat biaya pendidikan menjadi mahal. Biaya gedung, seragam, atau atribut-atribut fisik lainnya dapat ditiadakan. Pemerataan pendidikan pun diharapkan akan berjalan lebih baik.

Sayanganya kini model pendidikan alternatif ini juga mengalami distorsi substansi. Munculnya lembaga-lembaga non sekolah yang membuka layanan belajar berbasis HS dengan biaya yang sangat-sangat mahal membuat HS terkesan ekslusif dan tak mungkin dilakukan oleh mereka yang ekonominya pas-pasan.

Tak Perlu Mahal
Perpindahan tempat belajar dan bervariasinya metode yang digunakan dalam bersekolah di rumah tidaklah berarti akan menambah biaya pendidikan jika seorang homeschooler bisa mengelola fasilitas yang ada di sekelilingnya dengan cermat.
Perpustakaan, museum, toku buku dan barang-barang bekas, perabotan rumah, sawah, kebun, tanaman di halaman, hewan peliharaan, dan lain sebagainya adalah contoh-contoh media belajar yang dapat dimanfaatkan tanpa harus merogoh uang terlalu besar.

Satu dari sekian prinsip yang diusung HS diantaranya adalah menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata, dan hal itu seringkali sangat murah. Anak-anak bisa belajar matematika saat mengeluarkan biscuit dari bungkusnya, bisa belajar bahasa inggris saat membaca petunjuk memasak mie instan, atau belajar biologi saat bermain di halaman; dengan mengamati serangga dan tumbuhan yang hidup bebas.

Informasi yang memang dianggap masih kurang oleh para peminat HS adalah aspek-aspek praktis berupa gambaran kurikulum, selain juga cara mengurus legalitas, supaya anak-anak yang melakukan HS tetap bisa memperoleh ijazah resmi sesuai jenjang pendidikan yang ditempuhnya.

Namun demikian, kalau kita mau sedikit menjelajahi internet, semua informasi itu bisa diperoleh cuma-cuma. Mengakses www.puskur.net akan membantu kita untuk mengetahui standar kurikulum nasional, sehingga kita memiliki gambaran dalam merancang kurikulum bagi anak-anak.

Beberapa panduan belajar dan kurikulum pendukung lainnya juga sebenarnya bisa kita dapatkan murah dan bahkan gratis di internet. Dari sana kita bisa mengambil pengalaman para homeschooler yang sudah lebih dulu menerapkan HS, dan kita kombinasikan dengan sedikit sentuhan kreativitas keluarga masing-masing.
HS akan menjadi sangat mahal jika para homeschooler serba membeli segala perangkat belajar yang semestinya tidak perlu dibeli.

Hindari Dokotomi
Dikotomi yang tajam antara HS dan sekolah formal sangat tidak bermanfaat untuk dikembangkan. Melihat pendidikan dalam skala makro, HS pun bisa menjadi bumerang jika hanya didefinisikan sebagai bersekolah di rumah dan tidak pergi ke sekolah. Salah-salah memberikan penjelasan, apa yang diingat dari HS justru hanyalah “tidak pergi ke sekolah”, dan anak-anak malah tidak mau belajar sama sekali di manapun.

HS mungkin masih tampak asing dan eksklusif bagi mereka yang belum mengenalnya terlalu jauh. Padahal kalau kita mau membaca beragam referensi tentang HS, kita akan melihat bahwa sesungguhnya model ini sangat akrab dengan kehidupan kita dan bermanfaat bagi semua orang, termasuk bagi mereka yang akhirnya memilih sekolah formal.

Substansi HS adalah membuat belajar menjadi demikian menyenangkan, mandiri, dan sesuai minat. Tak peduli di mana pun tempatnya, baik di rumah, di pasar, di perpustakaan, ataupun di jalanan, anak-anak bisa belajar sesuatu tanpa harus dibatasi kisi-kisi materi yang mengikat.

Selain itu, prinsip dasar HS yang cukup penting adalah terlibatnya orang tua secara penuh dalam pendidikan anaknya. Sekalipun anak-anak akhirnya masuk sekolah formal, peran orang tua dalam mengelola pendidikan anaknya tidak boleh berhenti.

Meskipun HS murni (bersekolah di rumah) nampak ideal bagi sebagian orang, namun bagi orang tua lain, dengan latar belakang dan pekerjaan yang berbeda HS murni bisa jadi tidak memungkinkan. Pada kondisi inilah sekolah formal atau sekolah alternatif berupa kelas masih tetap dibutuhkan untuk mendidik anak-anak, setidaknya pada sisi koginitif. Sementara itu, menghidupkan etos belajar adalah pe er tersendiri bagi dunia sekolah.

Referensi
Beberapa buku yang membahas tema-tema seputar HS, pembelajaran mandiri, dan sekolah kreatif sudah terbit dalam bahasa Indonesia, seperti Tamasya Belajar (MLC:2005), Revolusi Belajar untuk Anak (Kaifa:2002), Sekolah Para Juara (Kaifa:2004), Belajar Tanpa Sekolah (Nuansa:2006), Totto-Chan (Gramedia:2006), Revolusi Cara Belajar (Kaifa:2001), Homeschooling Keluarga Kak Seto (Kaifa:2007), Ibuku Guruku: Belajar di Rumah dalam Balutan Kearifan dan Kehangatan (MLC:2005), Montessori untuk Sekolah Dasar (Pustaka Delapratasa:2002), Accelerated Learning (Nuansa:2002), dan lain-lain.

Membaca buku-buku tersebut, setidaknya akan membantu setiap orang untuk mengenal temuan-temuan terbaru tentang pembelajaran dan mampu melihat HS tak hanya sekedar bersekolah di rumah.
Lebih jauh menelaah HS, akan membuat kita memahami bahwa HS adalah bagian dari tanggung jawab pendidikan yang diemban orang tua. Sekalipun anak-anak kita bersekolah di sekolah formal, tidaklah hilang tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anak, sehingga mereka menyukai belajar dan menjadi tumbuh positif dengan belajar.

Pendidikan nonformal di Daerah Perbatasan

Konon, Yayasan Peduli Pendidikan anak Indonesia yang sebelumnya bernama Forum Peduli Pendidikan Anak Indonesia telah berhasil mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di daerah perbatasan dengan Negara bagian sabah, Malaysia (Kompas, 22 nopember 2008). Dikatakan pula oleh Kompas bahwa ke dua PKBM itu dalam operasionalnya belum pernah mendapatkan bantuan dana maupun sarana prasarana dari pemerintah (Depdiknas), dalam menjalankan operasionalisasi PKBM hanya mengandalkan iuran dari para peserta didik serta donatur yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat marginal yang belum tersentuh pendidikan karena keterbatasan ekonomi keluarga maupun adanya kendala geografis.

Kondisi semacam ini hendaknya bisa ditangkap oleh para pekerja pendidikan nonformal yang kantornya berdekatan dengan daerah perbatasan dibawah koordinasi subdin pendidikan nonformal propinsi ataupun BPPNFI. Hal ini tentunya dengan mengalokasikan dana yang cukup besar untuk block grand, program pendidikan keterampilan hidup (life skill), Kursus kewirausahaan Desa (KWD) serta dana Kelompok Belajar Usaha (KBU). Program-program diatas menurut penulis sangatlah cocok diberikan pada masyarakat perbatasan karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sehari-harinya. Seperti diketahui bahwa program kecakapan hidup pada hakekatnya merupakan upaya untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, sikap dan kemampuan yang memungkinkan warga belajar dapat hidup mandiri. Dalam implementasinya, program life skills berprinsip pada empat pilar pendidikan sebagaimana dikemukakan Unesco (Ditjen Diklusepa, 2003), yaitu: learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan), learning to do (belajar untuk dapat berbuat/melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadikan dirinya sebagai orang berguna), dan learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain). Begitu juga dengan program KWD maupun KBU yang prinsipnya sama,

Disinilah peran dari para pekerja pendidikan nonformal di lingkungan Ditjen PNF untuk membelajarkan masyarakat daerah perbatasan agar kualitas hidupnya meningkat sejajar dengan warga negara lain yang sama2 hidup di perbatasan. Artinya program2 PNF yang dikembangkan di daerah perbatasan haruslah dikelola, dikerjakan dan dilaksanakan dan diprogramkan dengan serius dan sungguh2, bukan sekedar berjalan untuk “menggugurkan” kewajiban.

Berdasarkan catatan yang ada, beberapa sanggar kegiatan belajar yang berada atau dekat dengan wilayah perbatasan adalah sanggar kegiatan belajar yang berada di daerah Nusa Tenggara Timur berbatasan dengan Negara Timor Timur dan sanggar kegiatan belajar di Kalimantan yang berdekatan dengan wilayah Negara Malaysia, juga Sulawesi Utara dan Papua. Sayangnya keberadan “Dinas Pendidikan” yang berada dekat perbatasan dengan Negara lain itu tupoksinya kurang dapat dimainkan secara optimal, padahal disana sangat rawan dengan persengketaan wilayah perbatasan yang bisa mengarah pada sengketa politik maupun bentrok bersenjata. Seandainya program-program pendidikan nonformal yang diarahkan ke daerah perbatasan, dikelola dengan sungguh-sungguh, pastilah taraf hidup masyarakat di daerah perbatasan akan meningkat dan tidak mudah tergoda untuk pindah kewarganegaraan atau lari menyeberang ke Negara tetangga. Program ini tentunya akan menarik jika bisa dikerjasamakan dengan Tentara yang bertugas diperbatasan untuk mewujudkan konsep kemanunggalan ABRI dan rakyat yang sering didengungkan dalam acara seremonial. Paling tidak konsep OBAMA (Operasi Bhakti Abri Manunggal Aksara) bisa di tata ulang kembali disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini.
Mudah-mudahan wacana sederhana yang digulirkan penulis bisa menjadi inspirasi positif dalam arti bisa turut mewarnai kebijakan yang akan (dan mungkin) sedang disusun untuk tahun anggaran 2009. yakinlah bahwa bersama kita bisa berbuat untuk kemaslahatan umat. Wassalam.

Pendidikan ‘Life Skills’ Solusi Efektif Atasi Pengangguran

Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 persen per tahun bukan saja merupakan lampu kuning bagi pemerintah, lantaran laju penduduk terus membengkak, tapi juga memberi dampak luas bagi penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Belum lagi jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih tinggi. Problem yang muncul dari pengangguran dan setengah pengangguran tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan ketenagakerjaan, tetapi mempunyai implikasi lebih luas, mencakup aspek sosial, psikologis, dan bahkan politik. Apabila jumlah pengangguran dan setengah pengangguran cenderung meningkat, akan berpengaruh besar terhadap kondisi negara secara keseluruhan, antara lain meningkatnya jumlah penduduk miskin.

Jika pada tahun 2005 lalu berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik angkatan kerja menganggur 10,26 persen, namun pada tahun 2007 angka pengangguran terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa. “Angka itu berasal dari 1,6 juta pengangguran baru, menambah jumlah pengangguran yang sudah ada sebesar 11 juta,” kata Koordinator Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) M Tri Sambodo.

Menurut Tri Sambodo, angka 1,6 juta pengangguran itu berasal dari angkatan kerja yang tidak tertampung oleh kesempatan kerja pada 2007 sebesar 1,4 juta orang. “Ini artinya, ujarnya, semakin besar angka pengangguran terbuka merupakan indikator meningkatnya angka kemiskinan.

Dengan mengasumsikan pertumbuhan ekonomi mencapai skenario optimum yaitu 6,5 persen dengan tingkat serapan tenaga kerja hanya 218.518 orang untuk setiap pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen maka lapangan kerja tersedia hanya 1,4 juta orang. “Mereka yang tak terserap terpaksa menganggur dan menambah angka pengangguran,” kata Tri Sambodo. Memang, tambah dia, berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan angka pengangguran itu, tapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.

Lantas apa upaya warga bangsa ini, karena kian hari pertambahan jumlah angkatan kerja semakin bertambah dan pengangguaran pun terus menumpuk? Nampaknya kurang efektifnya pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan kesempatan kerja baru mengindikasikan perencanaan perekonomian yang dilakukan sepertinya masih di atas kertas.

Salah satu upaya mengatasi pengangguran dengan mengarahkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya sebagai instrumen menciptakan kesempatan kerja baru, tapi juga melakukan restrukturisasi angkatan kerja. Pemikiran ini dilandasi asumsi bahwa dari segi kuantitas, sebenarnya jumlah kesempatan kerja yang ada saat ini sudah mencukupi. Artinya, ia bisa menampung hampir semua angkatan kerja. Namun, itu tidak terwujud karena kesempatan kerja yang sebenarnya mencukupi itu ternyata terdistribusi secara tidak merata, tidak sesuai dengan peruntukannya, dan karena proses shifting.

Problem akan minimnya pengetahuan kebutuhan dunia kerja menyebabkan penyerapan lulusan pendidikan formal dan nonformal masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah menjalin kerja sama dengan dunia usaha untuk menyinkronkan program pendidikan dan kebutuhan pasar kerja.

"Sinkronisasi program pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja sangat mendesak. Upaya mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia kerja harus dimulai sejak awal, sehingga pendidikan mampu menghasilkan tenaga siap kerja," kata Sekjen Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harry Heriawan Saleh.

Terkait dengan hal tersebut, ditandatangani nota kesepahaman (MOU) tentang Keterpaduan Program Siap Kerja dan Pemahaman Hubungan Industrial bagi Siswa SMK atau Sederajat, Mahasiswa, dan Peserta Didik pada Satuan pendidikan Nonformal, masing-masing oleh Sekjen Depnakertrans, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Prof Suyanto, Phd serta Kadin Indonesia Anton Riyanto.

Kesepakatan tersebut mencakup tiga hal. Pertama, pemahaman dinamika hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha; kebutuhan pasar kerja; dan pengenalan peraturan- peraturan ketenagakerjaan.
Menurut Suyanto, MOU ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi lulusan program pendidikan formal dan nonformal. Apalagi pemerintah telah mencanangkan program three in one, yaitu pelatihan bersama, sertifikasi, dan penempatan. "Tujuannya, untuk memudahkan lulusan SMA dan SMK diterima di pasar kerja. Pada tahun 2007, kami memperkirakan ada 850.000 siswa SMK dan SMA yang lulus," ujar Suyanto.

Pada hematnya keberhasilan sistem pendidikan dapat dilihat dari kemampuan lulusannya menggunakan hasil pendidikan untuk hidup. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang baik seharusnya mampu memberikan bekal bagi lulusannya untuk menghadapi kehidupan atau memberikan life skills pada peserta didik. Logikanya, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin tinggi pula peran yang dapat dimainkannya dalam kehidupan di masyarakat.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Depdiknas harus lebih menyempurnakan kurikulum agar dapat memberikan life skills pada siswa. Setidaknya sekitar 70 persen siswa membutuhkan pendidikan keahlian yang dapat dipergunakan untuk hidup. Sebab, dari total siswa yang bersekolah sejak SD hingga SLTA, hanya sekitar 30 persen yang akhirnya bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sedangkan persentase terbesar langsung harus terjun ke masyarakat.

Konsep life skills dalam pendidikan sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelumnya sudah ada konsep broad-based curriculum yang diartikan sebagai kurikulum berbasis kompetensi secara luas. Tujuannya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan oleh masyarakat.

Pengertian life skills sebenarnya lebih luas dari sekadar untuk menghidupi diri sendiri. Namun, persoalannya, bukan sekadar keterampilan, tetapi bagaimana caranya memberi pendidikan yang betul-betul mampu membuat anak mandiri dan dapat mengurus dirinya sendiri. Namun, penyusunan kurikulum selama ini lebih berorientasi pada disiplin ilmu yang hanya mengedepankan kemampuan akademik, seperti fisika, kimia, dan biologi.

Program ini memang baik, tetapi sayangnya disiplin ilmu itu belum pernah dihubungkan dengan apa yang terjadi pada kehidupan sesungguhnya. Padahal kurikulum itu seharusnya life oriented. Pasalnya, kurikulum harus dapat memberikan kemampuan yang dibutuhkan anak untuk hidup.

Untuk mengadopsi life skills ke dalam kurikulum pendidikan, sekarang ini bergantung pada daerahnya. Misalnya, anak yang hidup di Jakarta, tentu akan berbeda life skills yang dibutuhkan dengan mereka yang hidup di Bali. Di Jakarta yang lebih banyak terlibat dalam perekonomian modern, misalnya, pertukangan tidak banyak mendapatkan tempat.

Yang jelas, penyelenggara pendidikan nasional, dalam hal ini Depdiknas harus bekerja lebih keras agar dapat memberikan pendidikan keahlian yang bisa dipergunakan untuk hidup pada peserta didik. Esensi pendidikan harus dapat memberi kemampuan untuk menghidupi diri yang bersangkutan, mengembangkan kehidupan yang lebih bermakna, dan kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan.
"Paling tidak, karakter pendidikan yang menyebutkan bahwa pendidikan harus dapat memberikan kemampuan untuk menghidupi diri sendiri itu sejajar dengan gagasan Depdiknas untuk memasukkan life skills ke dalam pendidikan," ujar Prof Muchtar Buchori, tokoh pendidikan.

Pendidikan nonformal, menurut pendapatnya, sangat efektif untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan yang melilit bangsa Indonesia, antara lain, besarnya angka pengangguran akibat kurang terampil. Salah satu langkah yang amat penting dalam mewujudkan masyarakat terdidik dan sejahtera dalam bidang pendidikan nonformal, program pendidikan life skills. Life skills ini pun menjadi primadona bagi PLS, karena menjadi tujuan utama pendidikan nonformal untuk meningkatkan kecakapan hidup masyarakat.

Program ini bertujuan meningkatkan keterampilan dan kecakapan hidup peserta didik, sehingga lulusannya menjadi tenaga terampil atau mampu berusaha mandiri. Kemandirian itu berbasis potensi unggulan daerah baik yang berspektrum pedesaan maupun perkotaan, serta berorientasi pada pasar lokal, nasional, dan global.Dengan demikian, katanya, kualitas, produktivitas dan pendapatan masyarakat kelompok sasaran baik di pedesaan maupun di perkotaan semakin meningkat.

Pemberian ketrampilan life skill pada kalangan remaja lulus sekolah SMU/SMK/MA, terlebih yang putus sekolah penting diberikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kebanyakan dari mereka belum siap kerja, apalagi untuk siap hidup. Mereka perlu tambahan bekal kecapakan hidup, dan Yayasan Dharmais bekerja sama dengan pemerintah daerah memberikan kegiatan pelatihan life skills.

Pembekalan ketrampilan tersebut dikemas dalam program Pesantren Singkat Pelatihan Usaha Ekonomi Produktif (PSPUEP). Selain memberi berbagai ketrampilan juga diperkuat dengan pembekalan mental dan rohani. “Tujuannya agar kelak para santri putra dan putri selain siap menjadi SDM siap pakai tapi juga memiliki akhlak dan bermoral,” kata Ngatman dari Yayasan Dharmais.

Kegiatan ini, jelas Ngatman, dulunya dilakukan Yayasan Dharmais guna menyiapkan sekaligus menambah ketrampilan para transmigran ini, diikuti para remaja yang tidak bisa melanjuktan sekolahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena alasan ekonomi. Melalui pelatihan singkat ini, mereka dilatih untuk berinovasi, berkreasi, berprestasi, serta belajar bersosialisasi guna membangun kepercayaan baik kepada orang tua, sesama teman maupun masyarakat.

PSPUEP dilakukan di Bogor (Jabar), Kulon Progo (DI Yogyakarta), Magetan dan Bondowoso (Jatim), Kutai Timur (Kaltim), Jakarta Barat (DKI Jakarta). Pelatihan di enam tempat tersebut diikuti 800 orang peserta. PSPUEP Cimandala, Bogor menyerap 180 orang (80 putra dan 80 putri), Pengasih, Kulon Progo diikuti 160 orang (83 putra dan 77 putri), Takeran, Magetan sebanyak 160 orang (80 putra dan 80 putri), Pondok Pesantren Al Ishlah Bondowoso diikuti 80 orang (40 putra dan 40 putri), Pondok Pesantren Hidayatullah Sanggatta, Kutai Timur merekrut 80 orang peserta putra, dan di Pesantren Al kamal, Jakbar diikuti 160 orang (80 putra dan 80 putri).

Jenis ketrampilan yang diberikan kepada para peserta pelatihan, antara lain, jahit-menjahit dan bordir, tata boga, tata rias, sablon, anyaman bambu, sabut kelapa, nata de coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe, pembuatan bakso, pembuatan saos tomat, pembuatan sepatu, pembuatan tas, pertukangan meubel, pembuatan con block, agrobisnis, mesin pendingin, dan otomotif.

“Melalui kegiatan yang positif dan membangun melalui aneka pilihan kegiatan tersebut remaja potensial tersebut bisa terbekali, tidak hanya sebatas pada pengetahuan saja, tetapi juga ketrampilan dan sikap kepribadian yang baik dan luhur. Kegiatan ini juga merupakan bukti dari tanggung jawab moral dari yayasan, ” kata Ngatman lagi.

Jika Yayasan Dharmais memusatkan kegiatan pelatihan life skils di “pesantren-pesantren”, sedangkan Yayasan Damandiri bekerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi negeri dan swasta, Sekolah Menengah Atas dan Pemerintah Daerah. Untuk wilayah timur yang dikoordinasikan meliputi Provinsi (Prov) Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali melalui LIPM (Lembaga Ilmu dan Pengabdian Masyarakat) Pascasarjana Universitas Airlangga. Untuk wilayah barat meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Bengkulu dengan kooedinator Yayasan INDRA bersama P2SDM IPB (Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Institut Pertanian Bogor).

“Pada tahun 2006 koordinator berdasarkan kesepatakan antara Wakil Ketua I Yayasan Damandiri dengan Rektor Undip Semarang wilayah tengah dilimpahkan kepada LPM Undip, yang meliputi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta,” kata Dr Rohadi Haryanto, MSc, Asisten Administratur Bidang Program Khusus Yayasan Damandiri.

pelatihan life skills model Yayasan Damandiri menekankan pada pembinaan kewirausahaan kepada siswa SMA dan masyarakat sekitar kampus. “Program pengembangan SDM ini selain ditujukan untuk meningkatkan mutu akademis juga kepada para siswa terutama yang tidak akan melanjutkan kuliah dipersiapkan memiliki life skill, sehingga setelah lulus dapat melakukan usaha mandiri,” papar Rohadi.

Latihan untuk siswa, tambahnya, dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian materi pelajaran ekstra kurikuler. Pelaksanaannya dapat diberikan di kelas atau laboratorium dengan mendatangkan tenaga pengajar atau pelatih yang betul-betul mengusai bidangnya. Atau mengirim siswa ke tempat-tempat kursus atau mengikuti magang di perusahaan, pabrik amupun tempat kerja lainnya.

“Untuk pelaksanaannya Pimpinan sekolah melakukan pemilihan 20 orang siswa sebagai calon yang akan mengikuti pelatihan berdasarkan kriteria yang ditetapkan, seperti anak keluarga tidak mampu, sudah menduduki kelas 2 atau 3, tidak akan melanjutkan kuliah dan sebagian besar adalah perempuan,” terang Rohadi.

Sedangkan untuk kegiatan pengembangan kewirausahaan baik yang dilakukan terhadap siswa maupun masyarakat umum di sekitar kampus dengan melibatkan para mahasiswa yang telah duduk di semester VII.

Nampaknya dalam mengatasi masalah pengangguran mempengaruhi sisi supply dan demand tenaga kerja, adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Pada sisi demand, perlu diupayakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar mampu menyerap tenaga kerja. Pada sisi supply, perlu dihambat laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada elemen laju pertumbuhan angkatan kerja, terkait di dalamnya soal laju pertumbuhan penduduk. Maka, pada sisi supply, hal yang perlu dilakukan adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk dan laju angkatan kerja, memang ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

pendidikan luar sekolah

Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :

1.

Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
2.

Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
3.

Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
4.

Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
5.

Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
6.

Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.

Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :

1.

Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
2.

Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
3.

Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
4.

Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
5.

Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :

1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
2. Pembinaan kelembagaan PLS;
3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS

Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.

Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah..Semoga.