Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics

Rabu, 27 Mei 2009

pendidikan dasar

Sabtu, 2009 Maret 14
Sebagian Siswa Tak Tamat Pendidikan Sembilan Tahun
Pandangan masyarakat terhadap DI Yogyakarta yang selama ini dianggap sebagai kota pendidikan tak serta-merta menjamin penduduknya berkesempatan mengenyam pendidikan yang memadai. Hal tersebut setidaknya tercermin dari angka putus sekolah di DIY yang terbilang masih cukup besar jumlahnya.
Dalam kurun waktu dua tahun ajaran, yakni TA 2005/2006 dan 2006/2007, lebih dari 6.000 siswa terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Pada TA 2005/2006, ada 2.074 siswa dari tingkat pendidikan SD hingga SLTA yang tidak melanjutkan sekolah, sedangkan TA berikutnya jumlah itu meningkat hampir dua kali lipat. Ironisnya, sebagian besar siswa tersebut, lebih dari 59 persen, terpaksa tidak melanjutkan sekolah pada jenjang pendidikan dasar sembilan tahun yang diwajibkan pemerintah, yakni SD hingga SLTP (lihat Grafis).
Tak bisa dimungkiri, wajib belajar yang didengungkan pemerintah itu penting bagi masa depan siswa sendiri. Ini karena program tersebut tidak hanya bertujuan agar semua penduduk berumur 10 tahun ke atas menjadi melek huruf, tetapi juga agar penduduk menjadi tenaga kerja yang produktif.Namun, di sisi lain tidak sedikit masyarakat, termasuk penduduk DIY, yang mengalami kesulitan biaya untuk melakukan "investasi" di bidang tenaga kerja produktif itu. Secara tidak langsung, fenomena itu tampak dari jumlah siswa putus sekolah, yang sebagian besar (2.588 siswa) berasal dari wilayah "miskin", yakni Gunung Kidul. Mereka umumnya tidak melanjutkan sekolah karena harus menghabiskan waktu untuk bekerja agar bisa membantu perekonomian keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar