Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics

Rabu, 27 Mei 2009

pendidikan layanan khusus

Ratusan Anak TKI di Sarawak tidak Bersekolah
By Republika Newsroom
Rabu, 11 Maret 2009 pukul 22:53:00

SERAWAK--Ratusan anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sudah berusia sekolah di Sarawak, Malaysia , tidak memperoleh layanan pendidikan. Mereka umumnya tinggal bersama orangtua yang bekerja di ladang-ladang perkebunan. “Data terakhir ada sekitar 400 anak, tapi saya yakin lebih dari itu,” tutur Rafail Walangitan , MA , Konsul Jenderal Republik Indonesia di Sarawak, Malaysia , Selasa (10/3).

Banyak TKI yang bekerja di wilayah Sarawak tidak melaporkan diri ke konsulat. Status mereka menjadi ilegal. TKI yang ilegal, menurut dia, karena banyak yang kabur dari majikan, sementara paspor mereka ditahan saat masuk bekerja. Rafail memperkirakan, ada sekitar 40 ribu TKI ilegal di wilayah ini, sementara TKI legal tercatat sebanyak 190 ribu orang.

Sebagian di antara para TKI itu memiliki anak usia sekolah. Anak-anak mereka selama ini tidak bisa mengenyam bangku pendidikan. Masalahnya, pemerintah Malaysia pada dasarnya tidak membenarkan pekerja membawa keluarga sehingga anak-anak yang lahir di sana menjadi ilegal dan sulit bersekolah di lembaga pendidikan formal di negeri itu. Selain itu, umumnya mereka bermukim jauh di perkebunan-perkebunan. “Kami tidak tahu kondisi yang ada di kebun. Itu sebabnya kami tidak dapat data pasti,” tutur Rafail.

Kondisi yang kurang lebih sama dialami oleh banyak anak-anak TKI di Sabah. Untuk mensiasatinya, sebagian TKI membangun lembaga pendidikan dalam komunitas sendiri. Mereka menggunakan ruang seadanya, seperti tempat ibadah dengan sistem pengajaran, tak lebih dari mengajarkan baca tulis dan hitung. Hanya saja, jumlahnya tidak banyak. Anak-anak itu pun sulit mendapatkan sertifikat untuk kelak bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya.

Saat ini, pemerintah Indonesia telah membangun Sekolah Indonesia Kota Kinibalu (SIKK) di Sabah. Diresmikan Desember 2008 lalu, sekolah ini berlokasi di sebuah ruko Kota Kinabalu untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak TKI yang ada di sekitar kota ini. Selain itu, SIKK diharapkan menjadi induk bagi anak-anak TKI di kawasan perkebunan yang ada di pedalaman-pedalaman yang memperoleh layanan pendidikan, baik pendidikan nonformal, maupun pendidikan layanan khusus yang tidak diterima di sekolah formal.

Rafail menuturkan, berbagai upaya telah dilakukan untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak TKI di Sarawak. Saat ini, katanya, telah dibentuk pusat bimbingan sebagai tempat pembelajaran kepada anak-anak TKI yang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di Sarengas, Serawak. Mulai beroperasi Januari 2009, pusat bimbingan ini diselenggarakan oleh serikat pekerja perusahaan bekerjasama Humana Child Aid Society, organisasi non-pemerintah di wilayah itu, untuk memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak pekerja.

Namun, menurut Rafail, pusat bimbingan ini masih menerapkan kurikulum pendidikan Malaysia . “Saya minta diajarkan ke-Indonesiaan,” tuturnya. Gayung bersambut, Hendry Gasha, Manajer Sumber Daya Manusia (SDM) perusahaan perkebunan itu, menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk menerapkannya. Hendry mengatakan tidak keberatan kalau kurikulum Indonesia diterapkan di pusat bimbingan ini.

Selain itu, Rafail menyatakan pernah mengusulkan ke Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mendatangkan guru dari Indonesia untuk memberikan bekal pengetahuan pembelajaran kepada TKI yang dianggap memiliki pendidikan cukup untuk mengajarkan anak-anak mereka sendiri. Menurut dia, para TKI ada yang memiliki pendidikan cukup, bahkan ada yang sarjana. Jadi, polanya berbeda dengan di Kinibalu yang mendatangkan guru dari Indonesia untuk mengajar di SIKK.
Sebenarnya, menurut dia, pembelajaran antar sesama TKI sudah diterapkan di beberapa tempat selama ini. Pola itu tumbuh sendiri karena sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Hanya saja, pola pembelajaran di antara sesama TKI semacam itu belum dikelola secara khusus. “Saya tidak bisa membayangkan kalau mendatangkan guru, seperti halnya di SIKK,’’ tuturnya. Itu karena tempat mereka bekerja berada di pedalaman dan lokasinya terpisah. bur/pur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar