Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics

Rabu, 15 April 2009

Raperda melahirkan diskriminasi pendidikan

pendidikan adalah hak setiap orang. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan sistem pendidikan tidak boleh ada disriminasi/ membedakan suku, agama, ras, kepercayaan, dsb. Sistem Pendidikan juga harus diselenggarakan dengan tujuan untuk memenuhi hak setiap orang atas pendidikan tanpa bermaksud sedikitkan memberikan peluang bagi terciptanya diskriminasi/ membeda-bedakan seseorang dalam memperolah pendidikan hanya karena alasasn politik, ekonomi, social, budaya, dan hukum. Pengakuan hak untuk mendapatkan pendidikan bagi setiap orang tidak hanya pengakuan hak secara internasional namun juga pengakuan yang diberikan oleh hukum positif di Indonesia.
Pada dasarnya dalam Pasal 10 Huruf a. Raperda Pemkot Malang tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan juga mengatur bahwa: ”Setiap warga kota (dalam hal ini kota Malang) berhak untuk: mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu”. Secara demikian seolah-olah sudah sesuai dengan apa yang diatur dalam UU Sisdiknas. Namun jika kita lebih menelaah ketentuan dalam Pasal-Pasal lainnya, maka terdapat Pasal2 yang secara substansi dapat menderivasi (mengurangi) apa yang dikehendaki Pasal 10. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 10 Huruf b yaitu ”Setiap warga kota berhak memperoleh pendidikan khusus untuk yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial ataupun yang memiliki keserdasan dan bakat istimewa”. Pasal 10 Huruf b ini berkaitan dengan Pasal 14 Ayat (1), (2), (3), dan (4). Ayat (1) menyatakan bahwa: ”Pendidikan khusus sebagaimana Pasal 10 Huruf b, merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dari Pasal ini dapat diartikan bahwa seseorang yang memiliki cacat fisik (baik karena bawaan atau karena kecelakaan) akan selalu dimaknai ”mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran”. Ketentuan ini tentunya tidak masih mengandung diskriminasi. Sebab sejak awal sudah menutup akses bagi setiap orang yang mengalami ketidakmampuan fisik untuk dapat memasuki pendidikan selain pendidikan khusus. Padahal dalam realita banyak orang yang memiliki cacat fisik yang sebenarnya tidak mengalamai kesulitan dalam proses belajar, namun karena minimnya sarana-dan prasarana bagi dia untuk menikmati pendidikan sebagaimana orang yang secara fisik mampu, atau karena tidak adanya kewajiban bagi penyelenggara pendidikan untuk menyediakan fasilitas khusus bagi seseorang yang mengalami ketidakmampuan fisik akhirnya menjadikan seseorang yang mengalami ketidakmuampuan fisik menjadi tidak punya pilihan lain kecuali masuk sekolah khusus yang belum tentu dijamin mutunya. Dengan demikian jika yang dimaksud Pemkot Malang sekolah khusus adalah SLB maka tentunya pelur dikaji secara lebih mendalam sejauhmana SLB2 di kota Malang dapat dikategorikan dapat ”memenuhi Pasal 10 Huruf b yaitu: hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu”
Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di negara-negara seperti Belanda, Inggris, Swiss dsb dimana dalam hal mendapatkan pendidikan yang bermutu bukan Pemerintah Daerah yang seolah-oleh memilah2 kemampuan seseorang dari keterbasan fisik, namun sebaliknya Pemerintah Daerah membuat aturan sistem penyelenggaran pendidikan yang tujuannya juga melindungi hak disable yaitu dengan mengharuskan kepada setiap sekolah/ penyelenggara pendidikan untuk menyediakan fasilitas khusus bagi disable sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama dengan orang lain. Fasilitas yang dimaksud adalah toilet untuk orang cacat, kursi roda untuk murid yang cacat, gedung bertingkat harus memiliki lif pada setiap lantai, ruangan harus dapat dilalui kursi roda dengan nyaman, adanya fasilitas bacaan yang sama bagi orang buta, dsb.
Raperda Gagal Memaknai Kewajiban Negara
Jika Pemerintah Daerah mampu memahami ketentuan Pasal 13 EKOSOB maka seharusnya Pemerintah mampu menjamin, mengatur, mengambil langkah-langkah untuk lebih melindungi disable sehingga dapat menikmati hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu yang sama dengan orang lain. Bukan malah sebaliknya kewenangan Pemda untuk membuat aturan justru semakin menegasikan adanya jaminan yang sama bagi setiap orang untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Raperda Pasal 14 Ayat (4) yang mengatakan bahwa: ”Pemerintah Daerah menyediakan sarana dan prasarana, pembinaan, dan dana untuk penyelenggaraan pendidikan layanan khusus sesuai dengan kekhasannya”. Kata ”Pemerintah Daerah menyediakan…”, mengandung makna yang ambigue, sebab jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (4): ”Pendanaan wajib belajar (….) berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan,dan (….).”. Dengan demikian peningkatan mutu bagi pendidikan khusus akan sangat tergantung dari bagaimana Pemerintah Daerah memaknai prinsip ”kecukupan” dana. Hal ini semakin memperlebar jurang kesempatan bagi disable untuk mendapatkan pendidikan yang mutunya sama dengan non disable.
Raperda masih memberikan peluang adanya diskriminasi dalam pendidikan
Pertama, Raperda yang memberikan peluang yang tidak sama bagi orang yang disable sebagaimana telah dijelaskan di atas, tentunya merupakan salah satu bentuk diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kedua, tidak adanya satu pasalpun yang memuat tentang ”ANCAMAN PINDANA’ bagi siapapun yang baik sengaja maupun tidak melakukan diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan, semakin membuktikan bahwa Raperda ini nantinya tidak dapat memastikan atau ”to ensure’ bahwa diskriminasi pendidikan memang benar-benar dihilangkan. Ketiga, dimunculnya berbagai jenis pendidikan seperti PENDIDIKAN UNGGULAN (lihat Pasal 16 Ayat 3) dan Pendidikan BERTARAF INTERNASIONAL (Lihat Pasal 65 Ayat 3) semakin jauh dari tujuan mewujudkan dan memberi peluang pendidikan ”bermutu bagi semua”, karena pengklasteran ini dapat menimbulkan kesan mutu yang berbeda. Bukankah hal ini malah bertentangan dengan MISI Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Kota Malang sebagaimana tertuang dalam Raperda Pasal 3 Ayat 5 yaitu ”mengembangkan sistem pendidikan yang memiliki keunggulan kompetitif di tingkat lokal, nasional dan internasional”. Hal ini akan semakin menjadi persoalan dan membawa Sistem Pendidikan baik di kota Malang maupun di Indonesia menjadi semakin tidak jelas dan bahkan cenderung disriminatif bagi si kaya dan si miskin jika SEKOLAH UNGGULAN atau SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL hanya bisa diakses oleh orang kaya karena hanya mereka yang mampu membayar biaya sekolah. Hal ini lebih dikhawatirkan dalam penyelenggaraan sekolah ekslusif tersebut diserahkan sepenuhnya kepada walikota dalam bentuk PERWALI (lihat Pasal 65 Ayat 9). Diskusi yang perlu dikembangkan atas persoalan ini adalah mampukan DPRD memberikan control yang cukup kuat terhadap kinerja eksekutif dalam hal ini WALIKOTA dalam mengatur dan menyelenggarakan jenis-jenis ekolah tersebut dan menjamin bahwa setiap kalangan masayarakat memiliki akses yang sama untuk menikmati sekolah2 eksklusif tersebut.

KELAMBANAN ANAK DALAM BELAJAR

Karena masalah anak yang lamban belajar berbeda-beda, maka sulit untuk menetapkan secara akurat masalah mereka yang sebenarnya, bahkan juga belum ada data angka yang tepat dari hasil terapi bagi anak yang lamban belajar. Sebenarnya, masalah ini sangat menarik perhatian para ahli dari berbagai bidang, misalnya para pendidik, psikiater, ahli saraf, dokter anak, dokter spesialis mata dan telinga, juga ahli bahasa. Mereka setelah melihat masalah ini dari sudut pandang yang berbeda-beda, akhirnya secara umum dapat disimpulkan ada dua faktor penyebab anak mengalami kesulitan belajar, yaitu faktor penyakit dan faktor perilaku.
Dari sudut pandang kedokteran, kelambanan anak dalam belajar dianggap berhubungan erat dengan ketidaknormalan dalam otak. Oleh sebab itu, mereka menjelaskan adanya luka pada otak, kurang darah, dan ketidaknormalan dalam saraf sebagai unsur penyebab kelambanan belajar. Dari sudut pandang ahli psikologi, mereka berusaha menyelidiki masalah dari perilaku dan kejiwaan anak yang lamban. Mereka menjelaskan adanya gangguan dalam masalah kognitif, yaitu membaca, menghitung, dan berbahasa.
PERNYATAAN MASALAH
Departemen Pendidikan Amerika Serikat bagian anak cacat telah menjelaskan standar penentuan bagi anak yang lamban belajar dalam hal penyampaian secara lisan, pengertian secara lisan, penyampaian tertulis, teknik membaca, pengertian membaca, penghitungan matematika, serta kemampuan berpikir logis. Dengan angka IQ, dibedakanlah derajat kelambanan belajar. Bila tidak mencapai nilai standar normal, seorang anak akan dipandang mengalami kelambanan dalam belajar. Tes IQ sendiri telah digunakan secara luas sejak dulu. Meski akhir-akhir ini para ahli mulai meragukan apakah cara penilaian ini dapat dipercaya, namun pada umumnya tingkat kelambanan dalam belajar seorang anak sesuai dengan hasil tes IQ.
Dari sisi pelajaran dan pertumbuhan jasmani hambatan belajar dapat diselidiki.
1. Segi pelajaran
Dalam segi pelajaran, hambatan bagi anak dapat dilihat dari kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Pada umumnya bila terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan belajar dengan hasil pelajaran, dapat disimpulkan anak tersebut mengalami kelambanan belajar.
2. Segi pertumbuhan fisik
Hal ini meliputi beberapa hal: berbicara, berpikir, mengingat, dan hambatan fungsi indra. Hambatan berbicara merupakan hambatan belajar yang sering terdapat pada tingkat anak prasekolah, dan umumnya mengakibatkan anak terlambat bicara. Sedangkan masalah hambatan dalam berpikir terlihat dari anak yang mengalami kesulitan dalam membentuk konsep, mengaitkan apa yang dipikirkan, dan memecahkan masalahnya. Seorang anak yang memiliki hambatan dalam mengingat akan kesulitan mengingat apa yang telah ia lihat dan ia dengar, padahal daya ingat merupakan syarat utama untuk belajar. Anak juga tidak mampu memusatkan pikiran pada sesuatu yang harus dipilihnya, ia hanya berlari terus ke sana ke mari, dan tidak memiliki konsentrasi belajar dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan hambatan fungsi indra termasuk hambatan dalam penglihatan dan pendengaran.
PENYEBAB MASALAH
1. Faktor keturunan
Di Swedia, Hallgren (1950) melakukan penelitian dengan objek keluarga dan menemukan rata-rata anggota keluarga tersebut mengalami kesulitan dalam membaca, menulis, dan mengeja. Kesimpulannya, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor keturunan. Ahli lainnya, Hermann (1959), mempelajari dan membandingkan anak-anak kembar yang berasal dari satu sel telur. Ia memperoleh kesimpulan bahwa anak kembar dari satu sel itu lebih mempunyai kesamaan dalam hal kesulitan membaca daripada anak kembar dari dua sel telur.
2. Fungsi otak kurang normal
Ada pendapat yang menyatakan bahwa anak yang lamban belajar mengalami masalah pada saraf otaknya. Pendapat ini telah menjadi perdebatan yang cukup sengit. Beberapa peneliti menganggap bahwa terdapat kesamaan ciri pada perilaku anak yang lamban belajar dengan anak yang abnormal. Hanya saja, anak yang lamban belajar memiliki adanya sedikit tanda cedera pada otak. Oleh sebab itu, para ahli tidak terlalu menganggap cedera otak sebagai penyebabnya, kecuali ahli saraf membuktikan masalah ini. Mereka menyebutnya sebagai “disfungsi otak” ketimbang “cedera otak”. Sebenarnya, sangatlah sulit untuk memastikan bahwa keadaan itu disebabkan oleh cedera otak.
3. Masalah organisasi berpikir
Anak yang lamban belajar akan mengalami kesulitan dalam menerima penjelasan tentang dunia luas. Mereka tidak mampu berpikir secara normal. Misalnya, anak yang sulit membaca akan sulit pula merasakan atau menyimpulkan apa yang dilihatnya. Para ahli berpendapat bahwa mereka perlu dilatih berulang-ulang, dengan tujuan meningkatkan daya belajarnya.
4. Kekurangan gizi
Berdasarkan penelitian terhadap anak dan binatang, ditarik suatu kesimpulan bahwa ada kaitan yang erat antara kelambanan belajar dengan kekurangan gizi. Walau pendapat tersebut tidak seluruhnya benar, tetapi banyak bukti menyatakan bila pada awal pertumbuhan seorang anak sangat kekurangan gizi, keadaan itu akan memengaruhi perkembangan saraf utamanya, dan tentunya membawa dampak yang kurang baik dalam proses belajar.
5. Faktor lingkungan
Pengaruh lingkungan, gangguan nalar, dan emosi, ketiganya mempunyai ciri khas yang sama, yaitu dapat mengakibatkan kesulitan belajar. Yang dimaksud dengan faktor lingkungan ialah hal-hal yang tidak menguntungkan yang dapat mengganggu perkembangan mental anak, misalnya keluarga, sekolah, masyarakat, dan lain-lain. Gangguan tersebut mungkin berupa kepedihan hati, tekanan keluarga, dan kesalahan dalam menangani anak. Meskipun faktor ini dapat memengaruhi, tetapi bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya hambatan. Yang pasti, faktor tersebut bisa mengganggu ingatan dan daya konsentrasinya. Dan dari pengalaman dapat dipetik pelajaran bahwa lingkungan yang tidak menguntungkan sedikit banyak bisa memengaruhi kecepatan belajar.
PENYELESAIAN MASALAH
1. Pemeliharaan sejak dini
Bila faktor lingkungan merupakan penyebab utama mundurnya daya ingat dalam berpikir, pencegahan awalnya mungkin dengan mengubah lingkungan masyarakat dan lingkungan belajarnya. Perawatan sejak dini juga akan bermanfaat untuk pencegahan. Dalam suatu penelitian, setiap anak tinggal di dalam kamar yang berbeda dan hidup bersama dengan orang dewasa. Mereka mendapat perawatan yang khusus serta cermat dari para perawat wanita yang berpendidikan rendah. Dari hasil tes IQ terlihat adanya kemajuan. Dari sini dapat disimpulkan perawatan dini dan pemeliharaan secara khusus dapat menolong mengurangi tingkat kelambanan belajar.
2. Pengembangan secara keseluruhan
Usahakan agar anak mau mengembangkan bakatnya sebagai upaya mengalihkan perhatiannya dari kelemahan pribadi yang telah membuat mereka kecewa dan apatis. Pengalaman dalam pelbagai hal akan membuat anak mengembangkan kemampuannya, dan pengalaman yang sukses akan membangun konsep harga diri yang sehat.
3. Lembaga pendidikan khusus atau umum
Suatu penelitian dilakukan untuk membuktikan apakah dalam upaya untuk menolong, anak yang lamban belajar sebaiknya bergabung dalam lembaga pendidikan khusus atau lembaga pendidikan umum. Hasilnya, tidak diperoleh suatu kepastian karena adanya perbedaan pendapat. Kesimpulannya, dari segi nalar tidak ditemukan adanya peningkatan ketika anak berada di lembaga pendidikan khusus. Hasil belajarnya pun tidak lebih baik dibandingkan dengan mereka yang bergabung di lembaga pendidikan umum. Dalam hal pergaulan, mereka yang ada di lembaga pendidikan umum mungkin mengalami perasaan seperti diasingkan oleh teman-temannya, tetapi di sana mereka dapat memiliki harga diri yang lebih tinggi daripada yang mengikuti pendidikan di lembaga khusus. Bagi anak yang lamban belajar, yang terpenting bukanlah di mana mereka disekolahkan, tetapi bagaimana mereka mendapatkan pengaturan lingkungan belajar yang ideal.
4. Memberikan pelajaran tambahan
Sekolah dapat mengatur atau menambah guru khusus untuk menolong kebutuhan belajar anak. Dapat juga dengan menyediakan program belajar melalui komputer. Dengan demikian, mereka dapat belajar tanpa tekanan dan memperoleh kemajuan yang sesuai dengan kemampuan diri sendiri. B.F. Skinner mengatakan bahwa penggunaan mesin mengajar akan sangat bermanfaat bagi mereka. Dewasa ini komputer telah menjadi alat pendidikan yang populer. Gereja atau sekolah dapat menggunakannya untuk mendidik anak yang lamban belajar.
5. Latihan indra
Kesulitan belajar bagi anak yang lamban berhubungan erat dengan intelektualitasnya. Jadi, penting juga untuk memberikan beberapa teknik latihan indra kepada mereka.
a. Latihan indra
Dengan latihan ini anak dilatih untuk mengenal lingkungan melalui penglihatan, pendengaran, atau perabaan. Misalnya, mengenal benda melalui perbedaan bentuk atau suara. Dengan mata tertutup anak diajak untuk mengenal bentuk, kasar, atau halus suatu benda. Semua latihan tersebut dapat mempertajam indra anak.
b. Latihan koordinasi
Hal-hal yang termasuk dalam latihan koordinasi ialah menggunting, mewarnai, meronce, mengikat, melakukan estafet, atau gerakan lainnya. Latihan tersebut kemudian disatukan dengan gerakan dalam kehidupan sehari-hari seperti: memakai atau menanggalkan sepatu, menyikat gigi, menyisir rambut, menuang air, dan sebagainya.
c. Latihan konsentrasi
Melalui latihan ini anak dilatih untuk memerhatikan rangsangan-rangsangan yang ada di luar, melalui permainan, nyanyian, meniru gerakan guru, bermain kartu, atau berkejar-kejaran untuk melatih konsentrasinya.
d. Latihan keseimbangan
Rasa keseimbangan akan menenteramkan emosi anak dan menolong melatih gerak-gerik tubuh mereka. Misalnya, belajar berbaris, menari, menaiki papan titian, senam irama, dan sebagainya.
6. Prinsip belajar
Semua usaha yang melatih anak untuk meningkatkan daya belajarnya, sebaiknya memerhatikan prinsip dan keterampilan belajar.
a. Usahakan agar anak lebih banyak mengalami sukacita karena keberhasilannya. Hindarkan kegagalan yang berulang-ulang.
b. Dorong anak untuk mencari tahu jawaban yang benar atau salah dengan usahanya sendiri. Dengan demikian, anak dapat dipacu semangatnya untuk belajar.
c. Beri dukungan moril atas setiap perubahan sikap anak agar mereka puas. Kadang-kadang berilah hadiah kepada anak.
d. Perhatikan taraf kemajuan belajar anak, jangan sampai kurang tantangan dan terlalu banyak mengalami kegagalan.
e. Lakukan latihan secara sistematis dan bertahap sehingga mencapai kemajuan belajar.
f. Boleh memberikan pengalaman berulang yang cukup, tetapi jangan diberikan dalam jangka pendek.
g. Jangan merencanakan pelajaran yang terlampau banyak bagi murid.
h. Gunakan teknik bahasa yang melibatkan lebih banyak penggunaan indra.
i. Lingkungan belajar yang sederhana akan mengurangi rangsangan yang tidak diinginkan. Aturlah tempat duduk sedemikian rupa agar mereka tidak merasa terganggu.
7. Dukungan orang tua
Dorongan dan bantuan orang tua erat hubungannya dengan hasil belajar anak yang lamban. Bila dalam mengulangi apa yang dipelajari di sekolah, orang tua bekerja sama dengan guru dalam memberikan metode dan pengarahan yang sama, tentu akan diperoleh hasil yang lebih baik. Bila memungkinkan, ibu boleh meminta izin untuk mengamati proses belajar mengajar di sekolah. Ikutilah seminar-seminar mengenai anak yang lamban belajar untuk menambah wawasan Anda.

Didik Anak Sesuai Potensi

Rian (10), siswa kelas IV SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya, duduk tenang di kursinya dan menyimak guru kelas menerangkan pelajaran. Persis di depannya, seorang guru lain mendampingi dan sewaktu-waktu siap membantu Rian yang tampak gelisah atau kesulitan mencerna pelajaran.
Sekilas memang tidak tampak perbedaan fisik antara Rian yang menderita gangguan autis dan anak-anak lain. Dengan pendampingan secara khusus di kelas, Rian akhirnya tidak kesulitan untuk beradaptasi di kelas.
Keberadaan Rian untuk bisa bergabung di kelas reguler itu setelah melalui tahapan kelas khusus dan kelas preklasikal. Tujuannya untuk menyiapkan bocah lelaki itu mampu bergabung dengan anak-anak lainnya.
SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya awalnya adalah sekolah reguler yang diperuntukkan bagi anak-anak normal. Namun, kebutuhan masyarakat sekitar yang ingin supaya anak berkebutuhan khsusus tak diasingkan di sekolah luar biasa membuat Kepala Sekolah SDN Klampis Ngasem I-246, Sukarlik, sejak 1989 coba membaurkan anak- anak normal dengan anak-anak berkebutuhan khusus.
Dengan keyakinan bahwa setiap anak punya potensi jika dilayani sesuai kebutuhan dan kemampuannya, guru-guru di sekolah ini menerima anak berkebutuhan khusus, mulai dari yang menderita down syndrome, lambat belajar, autis, hiperaktif, tunarungu, tunanetra, dan cacat fisik. Mereka belajar dalam satu lingkungan dengan anak-anak reguler lainnya.
Anak-anak berkebutuhan khusus yang dilecehkan karena dianggap tidak punya harapan untuk bisa ”berprestasi” nyatanya mampu menunjukkan potensi dirinya.
”Kuncinya, anak-anak ini diidentifikasi kebutuhannya lalu ditangani sesuai kebutuhannya. Ketika mereka berada dalam lingkungan dengan anak-anak reguler, itu bisa memacu mereka untuk mau bersosialisasi. Anak-anak reguler juga belajar untuk memahami, menerima, dan membantu teman-teman mereka yang punya beragam kekhususan itu,” kata Dadang Bagoes Prihantono, koordinator sekolah inklusi di SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya.
Tetap konsisten
Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang baik buat anak-anak berkebutuhan khusus, nyatanya sekolah ini selama 20 tahun tetap bisa konsisten melayani setiap anak secara personal. Dengan pendidikan yang berfokus pada kondisi dan kebutuhan anak, perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi dan belajar semakin baik sehingga mereka tidak kesulitan saat belajar bersama di kelas reguler.
Dadang menjelaskan, layanan bertahap yang diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus itu lahir dari pengalaman para guru saat melayani dan mengevaluasi setiap anak. Sekolah ini menyediakan 44 guru khusus yang siap melayani 133 anak berkebutuhan khusus.
Sukarlik mengatakan, para guru ini umumnya guru honorer dari pendidikan luar biasa. Mereka dimotivasi untuk punya hati yang tulus melayani anak didik di tengah keterbatasan gaji yang mereka peroleh.
Di sekolah ini, anak-anak berkebutuhan khusus yang kondisinya masih berat untuk bersosialisasi dengan anak-anak reguler lainnya dimasukkan ke kelas khusus. Di sini satu guru melayani satu siswa atau satu guru dua siswa.
Jika dari hasil evaluasi menunjukkan anak sudah bisa bergabung dengan siswa lain, dia bisa dimasukkan ke kelas praklasikal. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus dilayani dalam kelompok kecil sekitar 15 anak dengan 2-3 guru.
Lima bidang pelajaran
Anak-anak itu sudah belajar lima bidang pelajaran, yakni Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Untuk pelajaran olahraga dan keterampilan, anak-anak itu digabungkan dengan kelas reguler.
Layanan lain yang diberikan adalah kelas remedi. Anak-anak yang memiliki gangguan belajar dibantu secara khusus oleh guru untuk mengatasi kesulitan belajarnya sehingga tidak terhambat lagi saat belajar di kelas.
Selain itu, ada pendampingan. Anak berkebutuhan khusus yang sudah bisa bergabung di kelas reguler didampingi guru supaya dia tidak kesulitan beradaptasi. Yang terakhir, inklusi penuh di mana anak berkebutuhan khusus tadi siap dilepas di kelas tanpa pendampingan. Umumnya ini dijalani anak- anak yang menderita autis dan lambat belajar.
Menurut Sukarlik, sekolah inklusi itu bukan sekadar menghadirkan anak berkebutuhan khusus di sekolah. Yang penting justru bagaimana anak-anak ini mendapat layanan khusus sesuai kebutuhannya.
Anak berbakat
Layanan anak berkebutuhan khusus juga dibutuhkan anak- anak cerdas istimewa yang memiliki IQ 130 ke atas. Anak-anak ini justru sering diidentifikasi sebagai bermasalah karena ketidaktahuan gurunya.
Kepala SD Adik Irma Jakarta, Loly Widiaty, mengatakan, potensi kecerdasan istimewa anak dilihat dari pendekatan Renzulli terdiri atas IQ di atas rata-rata, kreativitas, dan task commitment. ”Anak-anak ini sering menawarkan ide-ide unik dan tidak biasa sehingga sering dianggap aneh,” kata Loly.
Untuk melayani anak-anak cerdas ini tidak mesti dengan guru yang cerdas. Yang dibutuhkan justru guru kreatif yang mampu merangsang anak untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya secara bebas.
Di Sekolah Adik Irma, anak- anak cerdas istimewa belajar di kelas khusus. ”Namun untuk pelajaran lain, seperti seni dan olah raga, mereka digabung dengan anak-anak reguler lainnya,” kata Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Amita M Haroen.
Dari penelitian yang dilakukan, diperkirakan terdapat sekitar 2,2 persen anak usia sekolah memiliki kualifikasi cerdas istimewa. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2006, ada 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1.059.796 anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan, harus ada kelenturan dalam kurikulum pendidikan di negara ini untuk bisa melayani kepentingan terbaik bagi anak. Sekolah jangan hanya mengejar kemampuan akademik dengan mengorbankan pengembangan karakter dan kreativitas setiap anak.

PEMENUHAN KEBUTUHAN KHUSUS PENYANDANG CACAT BERBASIS HAM

Perhatian serius terhadap dunia pendidikan kini tengah diperlihatkan oleh Pemkab Jember, yaitu dengan melaksanakan sebuah program pendidikan untuk semua (Education for All), dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi sekolah umum dan keperluan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, yaitu menyediakan sarana belajar dan akan membuka kelas inklusi bagi penyandang cacat (Radar Jember,18/1). Boleh dibilang bahwa pengambilan kebijakan dibidang pendidikan dengan memberikan perhatian khusus kepada para penyandang cacat masih tergolong langka. Jangankan pemerintah didaerah, pemerintah pusat pun selama ini nyaris mengabaikan kebutuhan-kebutuhan fasilitas khusus bagi para penyandang cacat, karenanya kebijakan yang saat ini diambil oleh Pemkab Jember memang patut diacungi jempol.
Pemenuhan kebutuhan khusus bagi penyandang cacat, termasuk pemenuhan kebutuhan dibidang pendidikan bukan berarti memanjakan maupun memberikan keistimewaan melainkan memberikan apa yang menjadi haknya sesuai dengan kebutuhan khususnya. Dari data yang ada dapat diketahui bahwa baru sekitar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau sekitar 4% saja yang kini berkesempatan dan memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB). Memprihatinkan memang jika melihat angka-angka tersebut, bisa dibayangkan bagaimana masa depan anak-anak penyandang cacat yang hidup di Indonesia. Kondisi mereka ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, dalam kondisi fisik yang tidak sempurna tidak dapat merasakan pendidikan yang cukup dan mau tidak mau harus hidup selamanya dalam suatu sistem kehidupan masyarakat yang tidak mendukung dan sangat terbatas baik dari sisi sarana maupun prasarana.
Bagaimana seharusnya pemerintah maupun masyarakat memenuhi kebutuhan khusus para penyandang cacat utamanya dibidang pendidikan? Dan apapula yang dimaksud pemberian kesempatan yang sama untuk penyandang cacat dengan berbasis HAM? Tulisan ini hendak membahas kedua hal tersebut dan memberikan pandangan baru terhadap pola pemenuhan kebutuhan khusus bagi penyandang cacat.
Pemenuhan Kebutuhan Khusus Penyandang Cacat Berbasis HAM
Seperti ulasan diatas, nasib penyandang cacat di Indonesia memang cukup memprihatinkan, meski telah ada UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat nasib mereka tetap saja terpinggirkan hampir disemua sektor, mulai dari sektor pendidikan, pekerjaan, kesehatan, sampai pada aksesibilitas untuk menikmati fasilitas-fasilitas publik. Sejumlah aturan yang mengharuskan keberpihakan pada penyandang cacat tidak dipatuhi, baik itu oleh kalangan swasta maupun pemerintah sendiri. Walau begitu tak bisa dipungkiri juga bahwa masih ada sebagian masyarakat, swasta maupun kebijakan pemerintah yang memberikan perhatian terhadap kebutuhan khusus penyandang cacat meskipun masih tergolong sangat minim. Yang sangat disayangkan adalah selain minim upaya-upaya perhatian yang diberikan kepada penyandang cacat lebih didasari atas motivasi belas kasihan dan dianggap sebagai bagian kegiatan-kegiatan sosial semata.
2 tahun yang lalu tepatnya pada 30 Maret 2007, lebih dari 70 negara termasuk Indonesia telah menandatangani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Pengakuan konvensi ini oleh sejumlah negara telah menjadi menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban Negara Pihak untuk mewujudkannya. Hal ini nampak pada prinsip-prinsip yang termuat dalam konvensi, yaitu menghormati harkat dan martabat Penyandang Cacat, non-diskriminatif, partisipasi penuh, aksedibilitas, penghormatan terhadap perbedaan dan penerimaan penyandang cacat sebagai bagian dari keanekaragaman manusia dan kemanusiaan.
Sesungguhnya tidak ada hak-hak baru bagi penyandang cacat yang termuat di dalamnya juga tidak ada sesuatu hak yang warga masyarakat lainnya tidak miliki sebelumnya. Konvensi ini lebih menekankan bahwa penyandang cacat harus diberi kesempatan yang sama dan dijamin hak-haknya sebagaimana warga masyarakat lainnya. Konvesi ini juga menekankan sekaligus merupakan refleksi perubahan paradigma dalam penanganan masalah penyandang cacat dari yang bersifat remedial dan belas kasihan pada pendekatan hak asasi manusia (HAM).
Berangkat dari Konvensi Internasional tersebut sudah semestinya pemerintah maupun masyarakat merubah cara pandang dan pola pikir (mindset) terhadap penyandang cacat. Pandangan bahwa penyandang cacat sebagai orang yang tak layak masuk dalam ruang publik dan pandangan sinis terhadap mereka akan menimbulkan sikap yang secara tidak langsung maupun langsung mengeliminasi dan mendiskriminasikan orang cacat dari kehidupan sosial.
Kebutuhan Khusus di Bidang Pendidikan
Lingkungan pendidikan Indonesia belum benar-benar memenuhi hak, keperluan & kebutuhan para penyandang cacat, contohnya belum semua lembaga pendidikan tinggi memberikan kesempatan bagi penyandang cacat, padahal pendidikan formal SLB hanya sampai pada tingkat SMP, selanjutnya hanya dibekali ketrampilan-ketrampilan kemandirian agar bisa berproduksi. Para penyandang cacat seharusnya diberi kesempatan yang sama dalam menempuh pendidikan tinggi. Kecacatan fisik mereka bukanlah penghalang bagi mereka untuk belajar.
Sistem pembelajaran inklusif yang sebenarnya telah diwajibkan Depdiknas juga belum terlaksana di lapangan. Sistem ini ditujukan agar penyandang cacat dapat duduk sejajar dengan siswa lainnya dalam satu sistem pendidikan yang sama. Hal ini telah diberlakukan di negara-negara maju seperti Belanda, Inggris, Amerika. Hasilnya, anak-anak penyandang cacat memperoleh kepercayaan diri yang lebih baik, bahkan mampu menunjukkan prestasi akademik yang sepadan dan unggul dengan anak-anak peserta didik yang tidak cacat secara fisik. Sedangkan rekan-rekannya yang tidak cacat lebih mampu bersikap toleran dan berempati terhadap mereka.
Dapat dipahami sekarang bahwa sesungguhnya masalahnya bukan terletak pada keterbatasan fisik mereka,tetapi justru terletak pada tidak diberikannya kesempatan yang sama dan tidak dipenuhinya kebutuhan khusus mereka sebagai penyandang cacat.
Untuk itu, saatnya pemerintah melaksanakan kebijakan pengarusutamaan masalah kecacatan, misalnya dengan sistem pembiayaan pembangunan yang peka terhadap isu disabilitas (disability budgeting) artinya, setiap sektor dan setiap level pemerintahan, memasukan orang dengan disabilitas sebagai sasaran pelayanannya termasuk menganggarkan pembiayaan untuk keperluan tersebut. Apalagi dengan kebijakan nasional mengenai besarnya anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN, seharusnya dapat menjadi peluang emas bagi para pengambil kebijakan untuk memenuhi kebutuhan khusus para penyandang cacat dibidang pendidikan.
Kita semua berharap semoga langkah maju Pemkab Jember untuk memberi perhatian dibidang pendidikan khususnya bagi penyandang cacat tidak hanya menjadi kebijakan dan perhatian yang muncul sebagai wacana indah tetapi kering pelaksanaan. Para penyandang cacat itu tidak meminta banyak dan bukan pula belas kasihan yang mereka butuhkan. Yang mereka inginkan adalah pemenuhan hak-hak asasinya sebagaimana warga negara yang lain. Para penyandang cacat itu memerlukan perhatian dan kepedulian yang jujur dan benar-benar dilaksanakan.

PERILAKU MENYIMPANG, GANGGUAN PSIKIATRIK, DAN KENAKALAN ANAK-ANAK DAN REMAJA SOLUSI DAN CARA MENGATASINYA

Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan yang signifikan, bahkan terjadi degradasi moral dan sosial budaya yang cenderung kepada pola-pola perilaku menyimpang.
Hal ini sebagai dampak pengadopsian budaya luar secara berlebihan dan tak terkendali oleh sebagian remaja kita. Persepsi budaya luar ditelan mentah-mentah tanpa mengenal lebih jauh nilai-nilai budaya luar secara arif dan bertanggung jawab. (Sulis Styawan, 2007)
Tak dimungkiri pula, kehadiran teknologi yang serba digital dewasa ini banyak menjebak remaja kita untuk mengikuti perubahan ini. Hal ini perlu didukung dan disikapi positif mengingat kemampuan memahami pengetahuan dan teknologi adalah kebutuhan masa kini yang tidak bisa terelakkan. Namun, filterisasi atas merebaknya informasi dan teknologi super canggih melalui berbagai media komunikasi seringkali terlepas dari kontrol.
Pola perilaku budaya luar (baca: pengaruh era global), sering kali dianggap sebagai simbol kemajuan dan mendapat dukungan berarti di kalangan remaja. Kemajuan informasi dan teknologi telah membawa ke arah perubahan konsep hidup dan perilaku sosial. Pengenalan dan penerimaan informasi dan teknologi tumbuh pesat bahkan menjadi kebutuhan hidup.
Perlu kiranya menjadi keprihatinan bersama, sekaligus menaruh perhatian lebih bila mengamati dan menjumpai sebagian dari remaja yang makin menikmati dan menghabiskan masa remajanya dengan kegiatan yang kurang berfaedah bahkan sama sekali tak berguna demi masa depannya. Sungguh ironis, kala daya tarik pendidikan dan pengetahuan yang mestinya wajib didapatkan oleh para remaja, malah justru menjadi momok yang menakutkan dan memicu kebencian.
Perlu pula kiranya memformulasikan kebutuhan pendidikan (akhlak, ilmu pengetahuan, teknologi, mental dan lain-lain) yang lebih mendekati kepada kepentingan riil anak remaja masa kini. Tidak sekadar mengadopsi pola-pola atau cara-cara budaya negara-negara sekuler, sementara sering mengesampingkan nilai-nilai moral dan mental generasi remaja.
Masalahnya sejauh mana nilai positif dari kemajuan tersebut mampu dipilih dan dipilah secara cermat dan bertanggungjawab oleh remaja. Ini sangat urgen, karena persoalannya menyangkut masa depan remaja itu sendiri dan bisa jadi negara tercinta ini, akan kehilangan satu mata rantai generasi penerus (the loss generation). Jika hal ini benar-benar terjadi, maka dalam tataran ini, siapa yang harus dipersalahkan?
Memang, sebagai bagian dari masalah sosial, kenakalan remaja merupakan masalah yang serius karena akan mengancam kehidupan suatu bangsa. Penyakit remaja muncul sebagai akibat melemahnya pengertian dan kewaspadaan terhadap kebutuhan dan permasalahan usia remaja itu sendiri. Sifat-sifat sulit diatur, berontak, merajuk, kumpul-kumpul, suka meniru, mulai jatuh cinta, hura-hura dan sebagainya, adalah rangkaian pola perilaku yang selalu muncul membayangi sisi kehidupan remaja.
Jika tidak dikontrol dan diawasi, hal ini tentu dapat memicu timbulnya masalah sosial, di mana tercipta situasi yang kurang atau tidak mengenakkan dalam masyarakat. Contoh perilaku remaja yang mengindikasikan timbulnya permasalahan sosial bagi lingkungan sekitarnya seperti: kebiasaan merusak fasilitas umum dan sosial, coret-coret dinding, minum minuman beralkohol, tawuran antar remaja, kebut-kebutan di jalan raya dan bahkan sampai pada perilaku seks bebas (free sex) dan pemakaian obat-obatan terlarang. Kondisi ini ada bukan untuk dimusuhi atau dijauhi, tetapi mesti dipahami dan didekati karena merupakan integritas remaja di dalam menemukan identitas diri dan pengakuan pribadinya.
Mengamati dan memahami pola-pola perilaku remaja yang memang sangat rumit dan tinggi kompleksitasnya, maka sebelum terlambat, segenap potensi sosial yang tersedia harus diarahkan dan diupayakan secara terpadu dan berkesinambungan untuk melibatkan perannya. Penanganan permasalahan kenakalan remaja pun tidak hanya ditekankan pada remaja itu sendiri, melainkan multi dimensi. Ada beberapa aspek yang dapat dijadikan perhatian dalam memahami perilaku menyimpang remaja.
YMasalah Remaja Di Sekolah Remaja yang masih sekolah di SLTP/ SLTA selalu mendapat banyak hambatan atau masalah yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku. Gangguan perilaku tersebut adalah merupakan gangguan kejiwaan atau psikologis yang tidak dapat terdeteksi begitu saja. Banyak aspek yang menyebabkannya baik aspek psikologis, lingkungan maupun kejiwaan.
Gangguan jiwa pada anak-anak merupakan hal yang banyak terjadi, yang umumnya tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan jiwa terjadi pada 15% sampai 22% anak-anak dan remaja, namun yang mendapatkan pengobatan jumlahnya kurang dari 20% (Keys, 1998). Karena gangguan ini sering tidak dianggap serius seperti gangguanm yang bersidat fisik atau jasmaniah, karena kondisi sosial masyarakat sekarang ini masih krang memperhatikan maslah kejiwaan.
Krisis ekonomi saat ini karena kesulitan masyarkat adalah mengatasi kebutuhan ekonomi sebagai kebutuhan fisik sehingga tidak mempu berkonsentrasi pada masalah-masalah psikologis yang bersifat sekunder bahkan tertier. Maslah psikologis baru dipikirkan setelah dampaknya cukup meresahkan masyarakat dan lingkungan. Perhatian keluarga pada anak menjadi berkurang karena kebutuhan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga perhatian orang tua terhadap keluarga menjadi berkurang. Akibatnya muncul kenakalan keluarga dan penyimpangan pada anak dan remaja terjadi.
Gangguan hiperaktivitas-defisit perhatian (ADHD/ Attention Deficit-Hyperactivity Disorder) adalah gangguan kesehatan jiwa yang paling banyak terjadi pada anak-anak, dimana insidensinya diperkirakan antara 6% sampai 9%.
Diagnosis gangguan jiwa pada anak-anak dan remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan tingkat usianya, menyimpang bila dibandingkan dengan norma budaya, yang mengakibatkan kurangnya atau terganggunya fungsi adaptasi (Townsend, 1999). Dasar untuk memahami gangguan yang terjadi pada anak-anak, dan remaja adalah dengan menggunakan teori perkembangan. Penyimpangan dari norma-norma perkembangan merupakan tanda bahaya penting adanya suatu masalah.
Gangguan spesifik pada masa kanak-kanak meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, gangguan perkembangan, gangguan eliminasi, gangguan perilaku disruptif, dan gangguan ansietas. Gangguan yang terjadi pada anak-anak dan juga terjadi pada masa dewasa adalah gangguan mood dan gangguan psikotik. Gejala-gejala gangguan jiwa pada anak-anak atau remaja berbeda dengan orang dewasa yang mengalami gangguan serupa.
Masalah sosial yang dikategorikan dalam perilaku menyimpang diantaranya adalah kenakalan remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual, individu sebagai satuan pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk pendekatan sistem, individu sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem .
Masa remaja adalah masa-masa yang paling indah. pencarian jati diri seseorang terjadi pada masa remaja. namun, di masa remaja seseorang dapat terjerumus ke dalam kehidupan yang dapat merusak masa depan mereka. memakai narkoba, seks bebas, alkohol, dan kekerasan merupakan kenakalan yang sering dilakukan oleh anak remaja. narkoba adalah bentuk kenakalan yang sangat berbahaya bagi remaja. ketergantungan pada narkoba bisa membawa anak pada tindakan kriminal. untuk bisa memperolehnya, tak tanggung-tanggung mereka melakukan tindakan pencurian, penodongan, perampasan dan lain sebagainya. selain dengan narkoba, remaja juga dekat dengan seks bebas. seks bebas dapat menyebabkan berbagai penyakit pada remaja. diantaranya adalah penyakit kelamin dan HIV Aids. seks bebas juga dapat menyebabkan kehamilan yang dapat merusak masa depan mereka.
Alkohol juga sangat dekat dengan remaja. biasanya mereka minum-minuman keras untuk melupakan masalah yang terjadi pada diri mereka dan supaya mereka disegani oleh teman sebayanya. tindakan tersebut dapat memicu adanya tindakan kriminal yang dilakukan di luar kesadaran. selain dengan alkohol, remaja juga dekat dengan tindakan kekerasan. tindakan kekerasan itu dapat berupa tawuran antar pelajar. tawuran antar remaja tersebut biasanya terjadi karena kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat. Untuk menghindarkan kebiasaan negatif pada diri remaja perlu dilakukan penyuluhan. penyuluhan dapat dijadikan sebagai tempat pemberitahuan bahaya dan akibat dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang tersebut.
2. Landasan Teori.
2.1 Masalah yang Selau dihadapi Remaja
Berikut ada lima daftar masalah yang selalu dihadapi para remaja di sekolah :
1. Perilaku Bermasalah (problem behavior).
Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam dalam mengikuti berbagai aktvitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.
2. Perilaku menyimpang (behaviour disorder).
Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua remaja mengalami behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri.
Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.
3. Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment).
Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah menegah (SLTP/SLTA).
4. Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder).
Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang tua harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perikau anti sosial baik secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga dikategorikan pada remaja yang berperilaku oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.
5. Attention Deficit Hyperactivity disorder,
Attention Deficit Hyperactivity disorder yaitu anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat menerima impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan menjadi hyperactif. Remaja di sekolah yang hyperactif biasanya mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara, remaja yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang dari luar serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan temannya.
2.2. Jenis Gangguan Jiwa Anak-anak.
2.2.1. Gangguan perkembangan pervasif.
Ditandai dengan masalah awal pada tiga area perkembangan utama: perilaku, interaksi sosial, dan komunikasi.
a. Retardasi mental.
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar dalam berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara signifikan berada dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang keterampilan adaptasi atau lebih (mis., komunikasi, perawatan diri, aktivitas hidup sehari-hari, keterampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja.
b. Autisme
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas (Johnson, 1997). Gejala-gejalanya meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan sosial, kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan respon yang aneh terhadap lingkungan (mis., tergantung pada benda mati dan gerakan tubuh yang berulang-ulang seperti mengepakkan tangan, bergoyang-goyang, dan memukul-mukulkan kepala)
c. Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada kerusakan fungsional pada bidang-bidang, seperti membaca, aritmetika, bahasa, dan artikulasi verbal.
2.2.2 Defisit perhatian dan gangguan perilaku disruptif.
a. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan. Menurut DSM IV, ADHD pasti terjadi di sedikitnya dua tempat (mis., di sekolah dan di rumah) dan terjadi sebelum usia 7 tahun (DSM IV, 1994).
b. Gangguan perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disruptif, dan kesengajaan untuk tidak patuh, termasuk melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian besar anak-anak dengan gangguan ini mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian antisosial setelah berusia 18 tahun. Contoh perilaku pada anak-anak dengan gangguan ini meliputi mencuri, berbohong, menggertak, melarikan diri, membolos, menyalahgunakan zat, melakukan pembakaran, bentuk vandalisme yang lain, jahat terhadap binatang, dan serangan fisik terhadap orang lain.
c. Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi perilaku yang kurang ekstrim. Perilaku dalam gangguan ini tidak melanggar hak-hak orang lain sampai tingkat yang terlihat dalam gangguan perilaku. Perilaku dalam gangguan ini menunjukkan sikap menentang, seperti berargumentasi, kasar, marah, toleransi yang rendah terhadap frustasi, dan menggunakan minuman keras, zat terlarang, atau keduanya).
3. Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke masa dewasa.
Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke masa dewasa biasanya berupa :
Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada orang dewasa.
Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya. Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas berat terhadap perpisahan dan khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang yang mengasuhnya.
4. Skizofrenia.
Lebih jauh dapat dijelaskan sebagai berikut :
Skizofrenia anak-anak jarang terjadi dan sulit didiagnosis. Gejala-gejalanya dapat menyerupai gangguan pervasif, seperti autisme. Walaupun penelitian tentang skizofrenia anak-anak sangat sedikit, namun telah dijumpai perilaku yang khas (Antai-Otong, 1995b), seperti beberapa gangguan kognitif dan perilaku, menarik diri secara sosial, dan komunikasi.
Skizofrenia pada remaja merupakan hal yang umum dan insidensinya selama masa remaja akhir sangat tinggi. Gejala-gejalanya mirip dengan skizofrenia dewasa. Gejala awalnya meliputi perubahan ekstrim dalam perilaku sehari-hari, isolasi sosial, sikap yang aneh, penurunan nilai-nilai akademik, dan mengekspresikan perilaku yang tidak disadarinya.
5. Gangguan mood.
Biasanya dapat dijelaskan berupa hal-hal sebagai berikut :
Gangguan ini jarang terjadi pada masa anak-anak dan remaja dibanding pada orang dewasa (Keltner,1999). Prevalensi pada anak-anak dan remaja berkisar antara 1% sampai 5% untuk gangguan depresi. Eksistensi gangguan bipolar (jenis manik) pada anak-anak masih kontroversial. Prevalensi penyakit bipolar pada remaja diperkirakan 1%. Gejala depresi pada anak-anak sama dengan yang diobservasi pada orang dewasa.
Bunuh diri. Adanya gangguan mood merupakan faktor resiko yang serius untuk bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga pada individu berusia 15 sampai 24 tahun. Tanda-tanda bahaya untuk bunuh diri pada remaja meliputi menarik diri secara tiba-tiba, berperilaku keras atau sangat memberontak, menyalahgunakan obat atau alkohol, secara tidak biasanya mengabaikan penampilan diri, kualitas tugas-tugas sekolah menurun, membolos, melarikan diri, keletihan berlebihan dan keluhan somatik, respon yang buruk terhadap pujian, ancaman bunuh diri yang terang-terangan secara verbal, dan membuang benda-benda yang didapat sebagai hadiah (Newman, 1999).
6. Gangguan penyalahgunaan zat.
Gangguan ini banyak terjadi; diperkirakan 32% remaja menderita gangguan penyalahgunaan zat (Johnson, 1997). Angka penggunaan alkohol atau zat terlarang lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan. Risiko terbesar mengalami gangguan ini terjadi pada mereka yang berusia antara 15 sampai 24 tahun. Pada remaja, perubahan penggunaan zat menjadi ketergantungan zat terjadi lebih cepat; misalnya, pada remaja penggunaan zat dapat berkembang menjadi ketergantungan zat dalam waktu 2 tahun sedangkan pada orang dewasa membutuhkan waktu antara 15 sampai 20 tahun.
Komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lainnya merupakan hal yag banyak terjadi, termasuk gangguan mood, gangguan ansietas, dan gangguan perilaku disruptif.
Tanda bahaya penyalahgunaan zat pada remaja, diantaranya adalah penurunan fungsi sosial dan akademik, perubahan dari fungsi sebelumnya, seperti perilaku menjadi agresif atau menarik diri dari interaksi keluarga, perubahan kepribadian dan toleransi yang rendah terhadap frustasi, berhubungan dengan remaja lain yang juga menggunakan zat, menyembunyikan atau berbohong tentang penggunaan zat.
2.2.3 Etiologi Gangguan Psikiatrik pada Anak-anak dan Remaja
Tidak ada penyebab tunggal dalam gangguan mental pada anak-anak dan remaja. Berbagai situasi, termasuk faktor psikobiologik, dinamika keluarga, dan faktor lingkungan berkombinasi secara kompleks.
1. Faktor-faktor psikobiologik.
Faktor-faktor psikobilogik biasanya akibat :
Riwayat genetika keluarga, seperti retardasi mental, autisme, skizofrenia kanak-kanak, gangguan perilaku, gangguan bipolar, dan gangguan ansietas.
Abnormalitas struktur otak. Penelitian menemukan adanya abnormalitas struktur otak dan perubahan neurotransmitter pada pasien yang menderita autisme, skizofrenia kanak-kanak, dan ADHD.
Pengaruh pranatal, seperti infeksi maternal, kurangnya perawatanm pranatal, dan ibu yang menyalahgunakan zat, semuanya dapat menyebabkan abnormalitas perkembangan saraf yang berkaitan dengan gangguan jiwa. Trauma kelahiran yang berhubungan dengan berkurangnya suplai oksigen pada janin sangat signifikan dalam terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan saraf lainnya.
Penyakit kronis atau kecacatan dapat menyebabkan kesulitan koping bagi anak.
2. Dinamika keluarga.
Dinamika keluarga yang tidak sehat dapat mengakibatkan perilaku menyimpang yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Penganiayaan anak. Anak yang terus-menerus dianiaya pada masa kanak-kanak awal, perkembangan otaknya kurang adekuat (terutama otak kiri). Penganiayaan dan efeknya pada perkembangan otak berkaitan dengan berbagai masalah psikologis, seperti depresi, masalah memori, kesulitan belajar, impulsivitas, dan kesulitan dalam membina hubungan (Glod, 1998).
Disfungsi sistem keluarga (mis., kurangnya sifat pengasuhan, komunikasi yang buruk, kurangnya batasan antar generasi, dan perasaan terjebak) disertai dengan keterampilan koping yang tidak adekuat antaranggota keluarga dan model peran yang buruk dari orang tua.
3. Faktor lingkungan.
Lingkungan dfan kehidupan sosial yang tidak menguntungkan akan menjadi penyebab utama pula, seperti :
Kemiskinan.
Perawatan pranatal yang tidak adekuat, nutrisi yang buruk, dan kurang terpenuhinya kebutuhan akibat pendapatan yang tidak mencukupi dapat memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan dan perkembangan normal anak.
Tunawisma.
Anak-anak tunawisma memiliki berbagai kebutuhan kesehatan yang memengaruhi perkembangan emosi dan psikologi mereka. Berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan angka penyakit ringan kanak-kanak, keterlambatan perkembangan dan masalah psikologis diantara anak tunawisma ini bila dibandingkan dengan sampel kontrol (Townsend, 1999).
Budaya keluarga.
Perilaku orang tua yang secara dramatis berbeda dengan budaya sekitar dapat mengakibatkan kurang diterimanya anak-anak oleh teman sebaya dan masalah psikologik..
3. Analisis dan Pembahasan.
3.1 Pengaruh Sifat Over Protektif terhadap penyimpangan anak dan remaja.
Seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin rendah melakukan kenakalan. Sebab dengan pendidikan yang semakin tinggi, nalarnya semakin baik. Artinya mereka tahu aturan-aturan ataupun norma sosial mana yang seharusnya tidak boleh dilanggar. Atau mereka tahu rambu-rambu mana yang harus dihindari dan mana yang harus dikerjakan. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian.
Masngudin HMS, (2008) melakukanpenelitian dan kesimpulan yang diperoleh adalah Mereka yang tamat SLTA justru yang paling banyak melakukan tindak kenakalan 17 responden (56,7%) yang berarti separoh lebih, dengan terbanyak 12 responden (40%) melakukan kenakalan khusus, 2 responden (6,7%) melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, dan 4 responden (13,3%) melakukan kenakalan biasa. Demikian juga mereka yang pendidikan terakhirnya SLTP, dari 12 responden, 11 responden (36,7%) melakukan kenakalan khusus.
Sedang mereka yang hanya tamat SD 1 responden juga melakukan kenakalan khusus. Dengan demikian maka tidak ada hubungan antara tingkatan pendidikan dengan kenakalan yang dilakukan, artinya semakin tinggi pendidikannya tidak bisa dijamin untuk tidak melakukan kenakalan. Artinya kenakalan remaja yang dilakukan bukan karena rendahnya tingkat pendidikan mereka, karena disemua tingkat pendidikan dari SD sampai dengan SLTA proporsi untuk melakukan kenakalan sama kesempatannya.
Dengan demikian faktor yang kuat adalah seperti yang disebutkan di atas, yaitu adanya waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif, dan adanya pengaruh buruk dalam sosialisasi dengan teman bermainnya atau faktor lingkungan sosial yang besar pengaruhnya.
Keluarga dalam kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga, diantaranya adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi keluarga yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya.
Pekerjaan orangtua dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini perlu diketahui karena dalam keberfungsian sosial, salah satunya adalah mampu memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan data yang ada mereka yang pekerjaan orangtuanya sebagai pegawai negeri 5 responden (16,7%), berdagang 4 responden (13,3%), buruh 5 responden (16,6%), tukang kayu 2 responden (6,7%), montir/sopir 6 responden (20%), wiraswasta 5 responden (16,6%), dan pensiunan 1 responden (3,3%).
Kecenderungan anak pegawai negeri walaupun melakukan kenakalan, namun pada tingkat kenakalan biasa. Lain halnya bagi mereka yang orang tuanya mempunyai pekerjaan dagang, buruh, montir/sopir, dan wiraswasta yang kecendrungannya melakukan kenakalan khusus. Hal ini berarti pekerjaan orang tua berhubungan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Keadaan yang demikian karena mungkin bagi pegawai negeri lebih memperhatikan anaknya untuk mencapai masa depan yang lebih baik, ataupun kedisiplinan yang diterapkan serta nilai-nilai yang disosisalisasikan lebih efektif. Sedang bagi mereka yang bukan pegawai negeri hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada sosialisasai penanaman nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat dari semua itu maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang kurang mengarahkan pada kehidupan yang normative.
Banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga. Dilihat dari keutuhan struktur keluarga, 21 responden (70%) dari keluarga utuh, dan 9 responden dari keluarga tidak utuh. Berdasarkan data pada tabel korelasi ternyata struktur keluarga ketidak utuhan struktur keluarga bukan jaminan bagi anaknya untuk melakukan kenakalan, terutama kenakalan khusus. Karena ternyata mereka yang berasal dari keluarga utuh justru lebih banyak yang melakukan kenakalan khusus.
Namun jika dilihat dari keutuhan dalam interaksi, terlihat jelas bahwa mereka yang melakukan kenakalan khusus berasal dari keluarga yang interaksinya kurang dan tidak serasi sebesar 76,6%. Perlu diketahui bahwa keluarga yang interaksinya serasi berjumlah 3 responden (10%), sedangkan yang interaksinya kurang serasi 14 responden (46,7%), dan yang tidak serasi 13 responden (43,3%). (Masngudin HMS, 2008)
Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalaam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan. Artinya semakin tidak serasi hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan yang dilakukan semakin berat, yaitu pada kenakalan khusus. Hubungan antara kehidupan beragama keluarganya dengan tingkat kenakala pada
kehidupan beragama keluarga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama. Berdasarkan data yang ada mereka yang keluarganya taat beragama 6 responden (20%), kurang taat beragama 15 responden (50%), dan tidak taat beragama 9 responden (30%). Dari tabel korelasi diketahui 70% dari responden yang keluarganya kurang dan tidak taat beragama melakukan kenakalan khusus.
Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi keluarga sangat berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun kenakalan khusus, demikian juga sebaliknya.
Salah satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka yang orang tuanya otoriter sebanyak 5 responden (16,6%), overprotection 3 responden (10%), kurang memperhatikan 12 responden (40%), dan tidak memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari tabel korelasi diperoleh data seluruh responden yang orang tuanya tidak memperhatikan sama sekali melakukan kenakalan khusus dan yang kurang memperhatikan 11 dari 12 responden melakukan kenakalan khusus. Dari kenyataan tersebut ternyata peranan keluarga dalam pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak. (Masngudin HMS, 2008)
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau harus berhubungan dengan lengkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari hubungan tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan lingkungan sosialnya berjumlah 8 responden (26,6%), kurang serasi 12 responden (40%), dan tidak serasi 10 responden (33,4%). Dari data yang ada terlihat bagi keluarga yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau lingkungan sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. Keadaan tersebut dapat dilihat dari 23 responden yang melakukan kenakalan khusus 19 responden dari dari keluarga yang interaksinya dengan tetangga kurang atau tidak serasi.
Pernah tidaknya responden ditahan dan dihukum hubungannya dengan keutuhan struktur dan interaksi keluarga, serta ketaatan keluarga dalam menjalankan kewajiban beragama. Data tentang responden yang pernah ditahan berjumlah 15 responden, dari jumlah tersebut 3 responden (20%) karena kasus perkelaian, masing-masing 1 responden (6,7%) karena kasus penegeroyokan dan pembunuhan, 5 responden (33,3%) karena kasus obat terlarang (narkotika) dan 8 responden (53,3%) karena kasus pencurian. (Masngudin HMS, 2008)
Sedangkan responden yang pernah dihukum penjara berjumlah 10 responden dengan rincian 7 responden karena kasus pencurian, masing-masing 1 responden karena ksus pengeroyokan, pembunuhan, dan narkotika. Adapun lamanya mereka dihukum antara 1 bulan-3 tahun, dengan rincian sebagai berikut 4 responden (40%) dihukum penjara selama 1 bulan, 3 responden (30%) dihukum 3 bulan, masing-masing 1 responden (10%) dihukum 7 bulan, 2 tahun, dan 3 tahun . Dari responden yang pernah ditahan dan di hukum semuanya dari keluarga yang struktur keluarganya utuh, tetapi interaksinya kurang dan tidak serasi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah interaksi dalam keluarga merupakan sebab utama seorang remaja sampai ditahan dan dihukum penjara. Sedangkan dari sudut ketaatan dalam menjalankan kewajiban agam bagi keluarganya masih terdapat 1 responden yang pernah ditahan dan dihukum karena kasus pencurian. Artinya bahwa ketaatan beragama dari keluarganya belum menjamin anaknya bebas dari kenakalan dan ditahan serta dihukum. (Masngudin HMS, 2008)

PENDIDIKAN IDEAL UNTUK PEMBELAJARAN

Pada hakikatnya, semua anak berhak memperoleh pendidikan sebaik mungkin sebagai bekal dalam proses perkembangannya. Dengan pendidikan yang layak, minat dan potensi yang dimiliki seorang anak dapat tersalurkan dan berkembang secara optimal yang pada akhirnya akan berguna baik bagi diri pribadi maupun bagi lingkungan sekitar dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Pada anak-anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan dan pertumbuhan, kebutuhan akan pendidikan pun sama besarnya. Akan tetapi karena dampak dari gangguan tersebut dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam kompetensi berbagai aspek kehidupan, maka akses pendidikan yang akan mereka dapatkan diharapkan selain dapat mengembangkan potensi yang dimiliki juga dapat meminimalisir atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan yang mereka alami dalam hidup secara menyeluruh.
Anak-anak berkebutuhan khusus mengalami hambatan atau kesulitan dalam belajar dan memperoleh informasi. Hal ini diakibatkan adanya kecacatan fisik, gangguan kognitif, perilaku, sisial dan emosional yang dialami sehingga mereka membutuhkan suatu layanan pendidikan dengan prinsip pembelajaran yang meliputi metode atau pendekatan, media, maupun strategi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan hambatan anak yang berbeda satu sama lain. Model pendidikan demikian menggunakan prinsip-prinsip program pendidikan yang di individualisasikan (individualized educational program/IEP). IEP ini dapat diterapkan baik dalam sistem pendidikan umum maupun pendidikan khusus.
Individualized educational program bertujuan untuk membentuk suatu iklim kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien dengan melibatkan seluruh komponen pembelajaran yang ada. Seperti kurukulum yang harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak, sarana yang dapat menunjang penyampaian informasi atau materi, metode atau pendekatan yang sesuai dengan karakteristik anak dan strategi belajar mengajar yang dapat membantu ketercapaian tujuan pendidikan. Menurut Hallahan (1991) bahwa pengembangan program individual harus mengikuti beberapa ketentuan seperti 1) tingkat kemampuan siswa saat ini, 2) tujuan tahunan untuk tiap siswa, 3) hubungan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang, 4) hubungan antara pendidikan khusus dengan pelayanan yang diberikan, 5) rencana untuk memulai pelayanan, dan 6) prosedur evaluasi
Pengembangan strategi pengajaran dalam program pendidikan individual (lEP, individualized educational programs) memuat bagian dari proses penempatan siswa yang mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Secara khusus, dengan program pendidikan individual (PPI) dapat membantu guru mengenali keunggulan siswa dan cara belajar yang mereka senangi. Informasi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan jenis pembelajaran yang dapat dimasukkan ke dalam program pendidikan individual.
Kita sering menjumpai, siswa yang bermasalah di aspek tertentu justru mendapatkan program pendidikan yang mengabaikan kecerdasannya yang paling berkembang, dan malah berkonsentrasi pada kelemahannya. Misalnya, seorang siswa yang kecerdasan motorik-kinestetis dan spasialnya berkembang dengan baik, mengalami kesulitan belajar membaca. Di sekolah pada umumnya, mereka akan mendapatkan program pendidikan individual yang tidak melibatkan sarana belajar yang berorientasi gambar dan fisik, tetapi lebih banyak menyentuh kegiatan linguistik, seperti program membaca dan kegiatan kesadaran auditori (pemaknaan apa yang didengar). Tentu saja ini menghambat kemampuan membacanya.
Dewasa ini, sebagian besar guru memusatkan perhatian pada kecerdasan linguistik dan matematis, sehingga mengabaikan kebutuhan siswa yang dapat belajar secara maksimal melalui kecerdasan musikal, spasial, kinestetis-motorik, interpersonal, intrapersonal, atau naturalis. Siswa-siswa inilah yang paling sering mengalami kegagalan di kelas reguler dan kemudian dipindahkan ke sekolah khusus. Oleh karena itu, pembelajaran yang ramah lebih peka terhadap kebutuhan beragam siswa, melalui program belajar yang berorientasi pada keunggulan kecerdasan lainnya.
Untuk optimalisasi pembelajaran yang ramah, perlu didukung oleh guru pendidikan khusus (GPK) yang tugasnya adalah: (1) Mengidentifikasi keunggulan siswa yang paling menonjol. (2) Memusatkan perhatian pada kebutuhan siswa (3) Merancang kurikulum yang sesuai dengan fase perkembangan dan aspek keunggulan siswa. (4) Menciptakan pembelajaran yang menghargai keragaman siswa. (5) Menjalin kerja sama dengan kelompok-kelompok lain yang menunjang peningkatan kualitas belajar semua siswa.
Seluruh atau sebagian besar waktu guru pendidikan khusus (ortopedagog), digunakan di kelas-kelas reguler untuk memfokuskan diri pada kebutuhan individual setiap siswa, dan mengarahkan kegiatan pembelajaran yang khusus untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi tugas GPK bersama guru reguler adalah a) meningkatkan harga diri siswa, dengan memberikan penekanan yang lebih besar pada kekuatan dan kemampuan siswa berkebutuhan khusus. b) Meningkatkan pemahaman dan apresiasi siswa, apabila para siswa dibimbing untuk memahami perbedaan masing-masing dan toleran. Dengan begitu, penghargaan siswa kepada siswa berkebutuhan khusus akan meningkat, sehingga lebih memungkinkan siswa berkebutuhan khusus bergabung ke dalam kelas umum secara utuh.

Sekolah Khusus Untuk Anak Autis

Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan.
Tanda - tanda Autisme
• Tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-hari
• Hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata
• Mata yang tidak jernih atau tidak bersinar
• Tidak suka atau tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain
• Hanya suka akan mainannya sendiri (kebanyakan hanya satu mainan itu saja yang dia mainkan)
• Serasa dia punya dunianya sendiri
• Tidak suka berbicara dengan orang lain
• Tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain
Penyebab Autisme sampai sekarang belum dapat ditemukan dengan pasti. Banyak sekali pendapat yang bertentangan antara ahli yang satu dengan yang lainnya mengenai hal ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B yang termasuk dalam MMR (Mumps, Measles dan Rubella) bisa berakibat anak mengidap penyakit autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal, yang terdiri dari Etilmerkuri yang menjadi penyebab utama sindrom Autisme Spectrum Disorder. Tapi hal ini masih diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini berdebatkan karena tidak adanya bukti yang kuat bahwa imunisasi ini penyebab dari autisme, tetapi imunisasi ini diperkirakan ada hubungannya dengan Autisme.
Pendidikan bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual. Data yang dimiliki Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar dari seluruh peserta sekolah khusus.

PENDIDIKAN KHUSUS

a. Makna Pendidikan Khusus
Pendidikan di Indonesia sangat bervariasi, menurut undang- undang sistem Pendidikan Nasional pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/latiah bagi peranannya di masa yang akan datang. Hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan khusus itu adalah wadah bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
b. Alasan Perlunya Pendidikan Khusus
Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak. Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan. Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.
a. Tujuan Pendidikan Khusus
Tujuan pendidikan adalah suatu kegiatan secara sadar. Pendidikan Khusus itu adalah pedidikan bagi individu/anak didik yang karena penyimpangannya (secara significant) membutuhkan layanan yang menunjang untuk mengoptimalkan perkembangan potensinya. Dengan jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia baik yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi maka sangat diperlukanlah pendidikan khusus. Telah banyak program pemerintah dalam hal ini melalui Departemen Pendidikan sebagai pengambil keputusan
Dengan dilaksanakannya pendidikan khusus diharapakan dapat memperkecil jurang pemisah antara anak didik sehingga mereka dapat mengembangakan potensinya secara optimal.
d. Tempat Penyelenggaraan Pendidikan Khusus
Sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan, tempat penyelenggaraan pedidkan khusus itu dapat dilakukan di sekolah formal maupun non formal. Karena pada dasarnya yang dibutuhkan oleh anak didik adalah pelayanan yang diberikan oleh personel yang kompeten serta fasilitas dan kurikulum yang mendukung.

PERAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Keberadaan anak berkekebutuhan khusus (ABK) di dalam keluarga tidak dapat dihindari. Kondisi alam dan peradapan masa kini juga sebagai pemicu kehadiran ABK. Namun secara fakta masih banyak keluarga yang merasakan kehadiran ABK sebagai beban. Keadaan ini terjadi akibat dari kurangnya pemahaman keluarga (terutama orang tua) dalam memberikan layanan ABK. Beberapa hal penting yang dapat di lakukan keluarga antara lain:
1. menerima Kehadiran ABK sebagai anggota keluarga seperti anak-anak lain (anak yang normal)
2. Memberikan bantuan untuk berkembang secara emosi, fisik dan sosial sesuai kemampuan ABk
3. Memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan ABK
4. Melatih Keterampilan fungsional yang diperlukan untuk adaptasi dalam kehidupan di lingkunggan.

Pendidikan Inklusif

Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasjavascript:void(0)ional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan.Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan hambatan (fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku (Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah reguler yang keberatan menerima anak berkebutuhan khusus.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan diatas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa ‘pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelaianan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Dengan demikian pelayanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak lagi hanya di SLB tetapi terbuka di setiap satuan dan jenjang pendidikan baik sekolah luar biasa maupun sekolah reguler/umum.Dengan adanya kecenderungan kebijakan ini, maka tidak bisa tidak semua calon pendidik di sekolah umum wajib dibekali kompetensi pendidikan bagi ABK. Pembekalan ini perlu diwujudkan dalam Mata Kuliah Pendidikan Inklusif atau Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
B. Konsep Pendidikan Inklusif
1. Pengertian
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980)
Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
2. Pendidikan Segregasi, Pendidikan Terpadu dan Pendidikan Inklusif
a. Pendidikan segregasi
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
b. Pendidikan terpadu
Pendidikan terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.
c. Pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
C. Falsafah pendidikan inklusif
Secara umum falsafah inklusi adalah mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian inklusi tidak hanya dalam aspek pendidikan tetapi dalam segala aspek kehidupan. Inklusi berarti juga suatu cita-cita seperti halnya kehidupan adil dan makmur serta sejahtera yang harus dicapai dalam suatu kehidupan masyarakat.
Falsafah pendidikan inklusif adalah upaya mewujudkan sekolah yang ramah dalam pembelajaran.
a. Sekolah ramah adalah pendidikan yang menghargai hak dasar manusia
b. Sekolah ramah adalah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan individual
c. Sekolah ramah berarti menerima keanekaragaman
d. Sekolah ramah berarti tidak deskriminatif
e. Sekolah ramah menghindari labelisasi
Falsafah pendidikan inklusi juga dapat bermakna :
a. Pendidikan untuk semua. Setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.
b. Belajar hidup bersama dan bersosialisasi. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik
c. Integrasi pada lingkungan. Setiap anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.
d. Penerimaan terhadap perbedaan. Setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi yang unik
Sekolah ramah menuntut perubahan banyak hal, di antaranya :
a Sekolah ramah menuntut perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak semua komponen sekolah
b Kesiapan siswa menerima anak khusus
c Kesiapan guru menerima anak khusus
d Kesiapan orangtua menerima anak khusus
e Kesiapan anak khusus dan orangtua anak khusus menerima lingkungan yang tidak ekslusif
f Kesiapan infrastruktur
3. Implikasi manajerial pendidikan inklusif
Sekolah reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:
2. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
3. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.
4. Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
5. Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
6. Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan.
4. Pro dan kontra pendidikan inklusif
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.
Pro Pendidikan Inklusif
a. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
b. Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.
c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.
d. SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak dengan kehidupan nyata.
e. Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai.
f. Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB.
g. Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat agar menghargai adanya perbedaan.
Kontra Pendidikan Inklusif
a. Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
b. Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
c. Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah reguler.
d. Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas.
e. Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.
5. Pendidikan Inklusif yang Moderat
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.
a. Model moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.
b. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti : bentuk kelas reguler penuh, bentuk kelas reguler dengan cluster, bentuk kelas reguler dengan ’pull out’, bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’, bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian. bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
6. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.
7. Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan :
a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
b. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
c. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
d. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
e. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
3. Landasan Pendidikan Inklusif
1. Landasan Filosofis
a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
b. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (‘inklusif’).
c. Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.

PENDIDIKAN YANG EFEKTIF

Kata efektif adalah sebuah kata yang mudah untuk diucapkan namun butuh usaha maksimum dan kontinyu untuk memperolehnya. Kata ini dapat bergabung dengan kata pendidikan menjadi "pendidikan yang efektif" dan selanjutnya kita dapat bertanya sudah efektifkah pendidikan kita atau hanya sekedar asal-asalan saja?

Dari tiga bentuk pendidikan yaitu pendidikan formal, informal dan non formal, maka pendidikan formal paling banyak disorot mulai dari mutu sampai dengan keefektifannya. Pendidikan formal yang mencakupi kurikulum, sarana, dan prasarananya dan lingkungan masyarakat yang ikut mempengaruhinya.

Apakah suatu pendidikan yang diselenggarakan sejak dari bangku SD sampai perguruan tinggi atau paling kurang sampai untuk tingkat SLTA sudah efektif atau belum. Keefektifan sebuah sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang rumah tangga tempat asal anak-anak didik dan keadaan masyarakat sekeliling sekolah. Rumah tangga dan masyarakat yang memiliki SDM yang sangat memadai dan kondisi keuangan yang cukup mapan akan membantu terselenggaranya suatu sekolah yang efektif.

Sekolah yang efektif tentu akan menjadi sekolah idola dan akan diserbu oleh banyak calon anak didik setiap awal tahun pelajaran dimulai. Anak yang efektif sangat ditentukan oleh faktor rumah dan faktor sekolah yaitu rumah yang efektif dan sekolah yang efektif pula.

Kualitas seorang anak didik sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh budaya dan suasana belajar di rumah dan di sekolah. Beberapa faktor pendukung kualitas anak di rumah adalah seperti tingkat sosial ekonomi dan Sumber Daya Manusia (SDM) orang tua serta pengaruh teman bermain dan hiburan. Sedangkan faktor pendukung di lingkungan sekolah adalah seperti tingkat SDM dan kehangatan pribadi guru, fasilitas penunjang, sarana belajar dan pengaruh budaya dan iklim belajar di sekolah itu sendiri.

Lebih dari separoh waktu kehidupan anak dihabiskan di rumah. Famili dan orang tua mempunyai peranan sangat besar dalam menentukan pribadi anak. Kualitas mereka sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan (SDM) orang tua dalam mendidik dan menumbuhkembangkan konsep belajar dalam keluarga. Kemampuan ekonomi orang tua punya peran dalam menyediakan fasilitas belajar. Ada anak dengan tingkat pendidikan orang tua rendah, biasa berhasil dalam belajar karena orang tua cukup tebal isi kantongnya untuk membiayai saran belajar. Ada lagi sebagian anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi kurang mampu, tetapi juga berhasil dalam belajar, karena orang tuanya sendiri kaya dengan wawasan SDM. Yang sangat beruntung adalah anak yang memiliki orang tua dengan SDM tinggi, kantong tebal dan teman-teman bermain memberikan pengaruh positif dalam belajar.

Pendidikan yang efektif tentu akan didukung oleh komponen-komponen yang juga efektif. Mereka adalah seperti sekolah efektif, kepala sekolah efektif, guru efektif dan murid yang efektif.

Sekolah yang efektif tentu mempunyai standar indikator seperti yang digambarkan oleh Sergio Vanio. Ia mengatakan bahwa kalau sekolah efektif murid-muridnya dinilai setiap tahun oleh pihak yang independen maka skor penilaiannya selalu meningkat. Murid-murid di sekolah itu sangat antusias dalam belajar dan ini tercermin dalam peningkatan prosentase kehadirannya. Guru sangat konsekwen dalam memberikan pekerjaan rumah (PR) dan menilai PR itu dengan konsisten. Sekolah memiliki program dan jadwal ekstrakurikuler di sekolah itu terdapat partisipasi orang tua dan masyarakat untuk peduli terhadap perkembangan dan kemajuan sekolah tersebut.

Sekolah efektif sangat menghargai waktu dan akan memanfaatkannya ibarat memanfaatkan uang. Tentu saja sebagian besar waktu itu digunakan untuk belajar. Guru-guru di sekolah yang efektif mampu melaksanakan proses belajar mengajar yang bebas dari gangguan dan memberikan pekerjaan rumah dengan cara bertanggung jawab. Sekolah ini mulai dan mengakhiri kegiatan belajar betul-betul tepat waktu. Sementara itu dalam sekolah yang tidak efektif, guru-guru cenderung tidak mendukung pemahaman tujuan sekolah.

Sekolah yang efektif tentu berada di belakang pimpinan kepala sekolah yang efektif pula. Seorang kepala sekolah akan menentukan jatuh atau bangunnya kualitas suatu sekolah. Kepala sekolah asal-asalan cenderung untuk menghancurkan budaya dan iklim belajar sekolah. Sedangkan kepala sekolah yang efektif selalu komit dengan misi dan visi yang mengangkat dan melestarikan kualitas sekolahnya.

Salfen Hasri (2004;20) mendeskripsikan tentang kepala sekolah yang efektif, yang antara lain sebagai berikut: punya visi dan merealisasikannya bersama guru dan staf. Ia mempunyai harapan yang tinggi pada prestasi, selalu mengamati kualitas guru dan kualitas anak didik serta mendorong pemanfaatan waktu. Disamping itu seorang kepala sekolah yang efektif selalu memonitor prestasi individu guru, staff, siswa dan sekolah.

Kepala sekolah yang efektif sangat sadar bahwa keberadaan siswa adalah titik pokok dalam dunia pendidikan (di sekolah), maka ia sangat memonitor perkembangan siswa yang tercermin dalam peningkatan kualitas nilai tes yang bersih dari rekayasa dan manipulasi data. Ia melowongkan waktu (punya jadwal) untuk mengamati guru dalam kelas dan senantiasa berdialog tentang problem dan perbaikan pengajaran/kelas.

Kepala sekolah menjadi efektif karena ia mampu menjadi pemimpin yang efektif. Me Clure (dalam Salfen Hasri, 2004) mengatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mampu dalam berbagi tugas bersama siapa yang memiliki kompetensi untuk pekerjaan khusus.

Seorang pemimpin yang efektif harus mampu untuk melaksanakan "problem solving" dan "decision making", memiliki bakat memimpin serta mampu untuk bersosial yaitu untuk bekerja sama. Namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah sedikit sekali yang menghabiskan waktu untuk urusan kurikulum dan pengajaran.

PENDIDIKAN AGAMA DAN TOLERANSI

. Pendahuluan

Refleksi tentang lemahnya kepekaan masyarakat untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk, menurut GBHN 1999, diantaranya disebabkan pelajaran yang berorientasi akhlak/moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Pernyataan di atas disepakati sebelumnya oleh Bachtiar Effendy (2001:276) yang menyatakan bahwa tak jarang dunia pendidikan justru mengembangkan persoalan-persoalan yang dapat memperuncing kerukunan kehidupan antar umat beragama. Senada dengan dua pernyataan di atas, Presiden Megawati (Solo Pos, 18 Mei 2004) menyatakan bahwa pendidikan agama justru mengembangkan sikap fanatisme yang berlebihan sehingga toleransi sangat rendah. Kritik ini memang tidak dapat dipungkiri, karena dalam pendidikan agama selama ini lebih mementingkan ranah kognitif yang dangkal, yaitu sebatas hafalan-hafalan teks tanpa ada pemaknaan realitas. Teks kering inilah yang menggiring para siswa hanya sekedar menjadi robot yang tidak bisa memaknai kehidupan riil di masyarakatnya. Mereka memberlakukan masyarakat seperti yang dibaca dalam teks, yang dilepaskan dari asbab al nuzul (sebab-sebab turun) maupun asbab al wurudl-nya (sebab-sebab diucapkan).

Selain itu pendidikan norma lebih sering mementingkan bagaimana membuat jawaban-jawaban legitimasi dari pertanyaan yang sering muncul dalam sebuah kegiatan keagamaan, termasuk dalam pengajaran yang kental bermuatan etik. Jawaban semacam ini menjadikan sekolah keagamaan, menurut Stanton (1994:233) gagal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada semua bidang studi dan keilmuan serta kreativitas keilmuan. Sedikit-sedikit dinyatakan haram dan tidak boleh. Akibatnya banyak terjadi kebekuan dalam beragama dan pemeluk agama kurang toleran terhadap pemeluk agama lain maupun berbeda mazhab/aliran yang dianut. Begitu pula budaya dialog antar wacana, buku di lawan dengan buku (contoh kasus wacana yang dibangun Ibnu Rusyd dengan Al Ghazali, antar Imam Mazhab, atau Imam Syafi'i dengan Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadiid) tidak berkembang dalam masyarakat kekinian dan kedisinian dari pemeluk agama. Umat bereaksi sangat keras dengan cara meminta pada penguasa untuk melarang peredaran buku atau membakar buku yang tidak disepakatinya. Perilaku kontraproduktif inilah yang justru bisa menghancurkan peradaban manusia.
B. Realitas Pendidikan Agama

Secara umum Agama menurut Kuntowijoyo (2001: 306) diajarkan dan disampaikan kepada pemeluknya mendasarkan pada 3 nilai berikut ini:

Tabel 1. Nilai-Nilai Agama Yang Diajarkan
Dasar: Nilai-nilai Islam Mitos Ideologi Ilmu
Cara Berfikir Pra-logis Non-logis Logis
Bentuk Magis Abstrak/apriori Kongkrit/empiris

Dari ketiga nilai tersebut, pembelajaran agama selama ini lebih didominasi oleh Nilai Agama berdasar Mitos. Akibatnya yang sering muncul agama dimanifestasikan dalam bentuk mengambil ayat-ayat kitab suci agama untuk mengusir syetan, dan pemilihannya berdasar kebutuhan yang tidak sesuai dengan nilai spirit agama. Fenomena ini diperkuat dengan banyaknya tayangan TV yang melanggengkan agama hanya sebatas mitos, seperti tayangan Dunia Lain, Gentayangan, maupun tayangan mistik lainnya.

Dominasi lain berupa pembelajaran agama berdasar ideologi. Model ini lebih mengutamakan klaim-klaim yang belum terbukti dan belum dipraktekkan di masyarakat yang memeluk agama tertentu. Lebih diperparah lagi dalam praksis pembelajaran atau pendidikan agama maupun moral mengalami realitas obyektif yang buruk, menurut Komarudin Hidayat (Fuadudin dan Cik Hasan Basri, 1999: xii-xiii) dikarenakan:
1. Pendidikan Agama lebih berorientasi pada belajar tentang Agama.
2. Tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan agama, sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal, malah terlewatkan.
3. Kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam serta kurangnya penguasaan semantik dan generik atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteksnya.
Selain itu ada indikasi lain bahwa ada ketakutan tokoh agama terhadap posisinya yang bisa bergeser seiring dengan perubahan keilmuan umat. Kuntowijoyo (2001:35) merunut perkembangan posisi tokoh agama sebagai berikut:

Tabel 2. Pergeseran Tokoh Agama Berdasar Perubahan Masyarakat
Masyarakat Ulama Komunikasi Peran Rekrut men Hubungan Sifat Solidari tas
Pra-Industri Kiai Lisan Sosial Genealogis Kiai-Santri Tertutup Mekanis
Semi-Industrial Guru Tertu lis Politik Segmen tal Guru- Murid Perantara Organis
Industrial Mitra Elektronik Intelektual Sporadis Elite-Massa Terbuka Prolife rasi

Guru/tokoh agama akan mengalami pergeseran seiring perkembangan masyarakatnya. Peserta didik tidak semata-mata belajar dari satu sumber dan media tetapi beragam. Bahkan merekapun bisa belajar sendiri dan tidak harus bergantung pada satu guru. Peserta didik bisa belajar dari compact disk, internet dan software lainnya. Kenyataan ini membatasi peran guru/tokoh agama hanya terbatas pada peran intelektual, yang berarti bisa dibanding-bandingkan pendapatnya bahkan bisa terbantahkan apa yang disampaikan. Guru/tokoh agama bisa memiliki peserta didik yang beragam dan berganti-ganti. Konsekuensinya satu peserta didik bisa memiliki lebih dari satu guru, baik manusia maupun non manusia. Bisa juga sebaliknya, satu guru memiliki peserta didik yang selalu berganti dari waktu ke waktu. Akibatnya memunculkan fenomena baru yaitu peserta didik bebas dan guru bebas.

Kondisi ini lebih diperparah bahwa guru pendidikan agama di sekolah belum mengikuti perkembangan semacam itu, terutama tuntutan sosiologis yaitu toleransi antar agama/aliran/mazhab. Dan ini diperparah bahwa para guru pendidikan agama hampir tidak pernah dilibatkan dalam gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama (Abdullah, 2001:248). Sehingga kasus terakhir muncul yaitu kontroversi tentang pendidikan agama dan tujuan pendidikan yang dianggap "sangat agamis" karena mencantumkan pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
C. Beberapa Upaya Pengembangan Toleransi

Sekolah terhegemoni oleh penguasa dan tokoh agama, dengan tafsir tunggal ideologi negara dan agama. Akibatnya mereka kurang memahami pluralisme dalam masyarakatnya. Dalam hal ini Komarudin Hidayat (1999) memberikan pemikiran ideal yang menarik tentang pendidikan/pengajaran agama yang relatif adaptif dengan perkembangan dan realitas masyarakatnya yaitu dengan membebaskan diri dari dikte-dikte sejarah masa lalu, membaca dan memahami ayat-ayat suci beserta sebab-sebab turunnya, dan mengeluarkan makna etisnya. Secara lebih operasional, Soedjatmoko (1976) memberikan sebuah tawaran agar pengajaran/pendidikan agama perlu sinkronisasi, kerjasama dan diinteraksikan dengan pendidikan non agama, sehingga memudahkan peserta didik mengamalkan agama ke dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini dioperasionalkan secara lebih teknis oleh Mochtar Buchori (1994: 56) dengan cara setiap jam kegiatan pendidikan agama memperkaya program pendidikan umum, sedangkan setiap jam kegiatan pendidikan umum akan memantapkan program pendidikan agama.

Disinilah pendidikan agama tidak boleh terlampau bersikap menyendiri, tetapi harus saling bekerjasama dengan ilmu lain. Bentuknya bisa berupa latihan-latihan pengamalan keagamaan, sehingga pendidikan menjadikan orang beragama secara transformatif. Artinya pendidikan agama yang bisa memperkuat rakyat lewat praksis sosial dan politik, tawar-menawar dengan negara serta berorientasi pada pemecahan problematika ummat. Dengan demikian tidak akan terjadi kerusuhan hanya dikarenakan perbedaan aspirasi politik, agama, suku, golongan atau yang lain. Model yang ditawarkan, menurut Soedjatmoko (1976) akan membawa peserta didik bisa memahami konsep Tauhid, bahwa mereka adalah sama kedudukannya atau setara di hadapan Tuhan sehingga bisa dan mau menghormati setiap perbedaan di antara manusia. Keberlangsungan proses tauhid dalam setiap praxis sosiologis akan juga membawa praxis emansipatoris di kalangan umat, sehingga agama akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Pemikiran di atas disimpulkan secara menarik oleh Quraish Shihab (1997: 185-188) bahwa pendidikan agama haruslah menghasilkan "agamawan-agamawan yang berilmu" dan bukan sebatas "ilmuwan-ilmuwan bidang agama". Orientasi semacam itu membawa konsekuensi pendidikan agama yang bermuatan syari'at yang berkaitan ritual agama diusahakan menjelaskan hikmah al-tasyri' agar anak didik dapat memahami dan menghayati sebab dan manfaat yang diperoleh. Begitu pula yang bermuatan aqidah diberikan secara berhati-hati dengan memperhatikan pemahaman internal dan eksternal masing-masing ummat beragama, agar terjadi kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian menurut Abdullah (2001: 15) pendidikan agama haruslah memperkuat dan memperteguh dimensi kontrak sosial keagamaan.
D. Model Pendidikan yang Toleran

Pendidikan yang toleran bisa dikembangkan melalui dua model, yaitu:

1. Model aksi-refleksi-aksi dalam pembelajaran yang lebih mementingkan pada siswanya. Model ini diterapkan oleh Paulo Freire yang lebih mementingkan pembelajaran hadap masalah (poblem possing) dengan paradigma kritis menggunakan dialog antara fasilitator dan pembelajar yang membawa percakapan yang bernilai pengalaman divergen, harapan, perspektif, dan nilai (value). Dialog yang digunakan bukan bermakna sebatas teknis dan taktik, tetapi komunikasi kritis yang berarti merefleksikan bersama (guru dan siswa) apa yang diketahui dan tidak diketahui kemudian bertindak kritis untuk mentransfomasi realitas (Freire dan Shor, 2001: 51-52). Yang utama dari paradigma ini adalah pengakuan manusia sebagai hal yang sentral bagi sebuah perubahan yang memandang sistem dan struktur sosial secara kritis (Mansour Fakih, 1996: 63). Pembelajaran ini bersifat membebaskan yang memiliki prasyarat (diilhami dari sebuah buku Riset Partisipatoris Riset Pembebasan, karya Walter Fernandes dan Rajesh Tandon), diantaranya:
• Tidak ada pembagian kekuasaan, kedudukan guru dan siswa adalah seimbang dalam mencari kebenaran ilmu pengetahuan (setara dalam srawung ilmiah). Keduanya merupakan mitra belajar sehingga harus saling menghormati.
• Penggunaan sumber daya setempat (khususnya murid, sumber belajar, bahan ajar, dan lainnya yang terkait dengan pembelajaran). Sumber dari luar siswa hanya memainkan peran pendukung dan tidak lagi merupakan sumber dominan dan kontrol.
• Pembelajaran mengakar pada konteks setempat, model rancangan dan pelaksanaan model secara sederhana dan relevan berasal dari masukan siswa.
• Menekankan pada pembelajaran kualitatif dan berorientasi pada proses.
2. Model Ignasian. Model ini hampir mirip dengan yang pertama, langkah yang ditempuh meliputi: konteks, pengalaman (langsung maupun tidak langsung), refleksi (daya ingat, pemahaman, daya imajinasi dan perasaan) untuk menangkap arti dan nilai hakiki dari apa yang dipelajari, aksi (tindakan ini mengacu kepada pertumbuhan batin manusia berdsarkan pengalaman yang telah direfleksikan dan mengacu juga kepada yang ditampilkan), dan evaluasi (Drost, 1999: 45-58).

Dua model di atas memang belum biasa dikembangkan di sekolah-sekolah Islam tetapi bisa diterapkan. Hal ini tentunya tergantung dari kesiapan para pengajar dari segi pengetahuan dan pengalaman masing-masing.
E. Praksis Pendidikan yang Toleran

Pemikiran dua model di atas bisa digambarkan secara praksis dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

1. Pendidikan Tauhid

Pendidikan yang toleran memang tidak bisa hanya sebatas diceramahkan, tetapi harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik di tingkat sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Al Qur'an dan Hadis sebenarnya memberikan pernyataan yang mengarahkan bahwa dalam mendidik orang lain tidak boleh hanya diceramahkan secara lisan, tetapi lebih banyak melalui tahapan aksi, refleksi dan aksi. Seperti yang diungkapkan dalam Qur'an Surat Arrum (30): 41- 43:

" Telah nampak kerusakan di darat maupun di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar. Katakanlah Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu, kebanyakan mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Oleh karena itu hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tak dapat ditolak (kedatangannya) pada hari itu mereka berpisah-pisah."

Ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam Pembelajaran tentang Menghormati Lingkungan Hidup yang lebih mengena adalah mengalami sendiri, tetapi bisa saja melakukan refleksi maupun aksi. Bentuk refleksinya melalui kegiatan perjalanan di muka bumi (field trip atau yang sejenis) dan tahapan aksinya berupa perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu (Metode yang dipakai bisa metode induktif, deduktif maupun studi kasus). Setelah ada proses refleksi ditutup dengan kesadaran untuk aksi berupa ketundukan hakiki kepada Islam. Spirit ayat ini menunjukkan bahwa metode ceramah perlu dikurangi maupun dihindari, karena Allah dalam ayat lain menyatakan:

" Hai orang-orang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu tetapi tidak kamu kerjakan. (Ash Shaaf: 2-3). "

Bentuk lain yang disampaikan oleh Allah melalui Qur'an berkait dengan pembelajaran Tauhid dalam Surat Al Baqarah: 258-260.

" Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan", orang itu berkata: "saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur maka terbitkanlah dia dari barat." Lalu heran terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. "

" Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: Berapakah lamanya kamu tinggal di sini? Ia menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tnda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupinya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". "

" Dan (ingatlah ketika Ibrahim) berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "apakah kamu belum percaya?" Ibrahim menjawab: "Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya." Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung. Lalu potong-potonglah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakkanlah tiap bagian (dari yang telah dipotong itu) daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. "

Tiga ayat yang berurutan ini memaparkan bahwa Pendidikan Tauhid memerlukan proses panjang dengan tahapan aksi, refleksi, aksi. Tahapan aksi pada ayat 258 bahwa dalam pembelajaran Tauhid memerlukan metode dialog, metode pembuktian, dan memerlukan refleksi setelah terjadinya dialog. Ketika refleksi berlangsung ternyata tidak mentauhidkan Allah, itu semua sudah merupakan urusan Allah. Disinilah peran guru sebatas fasilitator bagi peserta didiknya, sehingga guru tidak begitu perlu mengajarkan agama secara dogmatis tetapi yang memberdayakan siswa.

Begitupula ayat selanjutnya Allah mendiskripsikan bagaimana mendidik ajaran Tauhid pada ummatnya melalaui Nabinya. Proses yang dipakai memakai tiga tahapan juga, yaitu tahapan aksi berupa perintah untuk melakukan penelaahan kejadian-kejadian di sekitar manusia melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Dilanjutkan oleh Allah agar manusia melakukan refleksi berupa pernyataan Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?" Pernyataan Tuhan semacam ini belum bisa dicerna oleh logika manusia. Tindaklanjutnya berupa aksi melalui Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Setelah dihidupkan manusia dituntun untuk melakukan refleksi dan aksi secara berbarengan melalui sebuah dialog antara Allah dengan manusia: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini? Ia menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupinya dengan daging". Kegiatan terakhir dengan tahapan aksi berupa keyakinan seseorang setelah tahapan-tahapan sebelumnya dilakukan. Ayat selanjutnya juga memakai tahapan yang tidak berbeda dengan dua ayat sebelumnya, tetapi yang melakukan aksi, refleksi, dan aksi adalah Nabi Ibrahim untuk memperkuat keimanannya.

Ayat lain juga menunjukkan bahwa pembelajaran Tauhid ataupun Aqidah tidak harus didoktrinkan tetap harus melalui dialog - baik melalui dialog antar individu, dialog dengan masyarakat maupun dialog dengan fenomena alam. Seperti Dialog Ibrahim dengan fenomena Alam berkait dengan Ketauhidan ditunjukkan dalam Surat Al An'am (6): 75: Allah memperlihatkan ciptaan-Nya sebagai pengenalan "Diri-Nya", Surat Al An'am 76: Melihat bintang kemudian dianggap tuhan, Surat Al An'am 77: Melihat bulan kemudian dianggap tuhan.Surat Al An'am 78: Melihat matahari kemudian dianggap tuhan. Surat Al An'am 79: Ketidak puasannya (melihat bintang, bulan, dan matahari), sehingga "ada sesuatu" yang menciptakan yaitu: Allah. Contoh lain pembelajaran Tauhid melalui dialog Ibrahim dengan orang tuanya dan Masyarakat: Al An'am (6): 74: Dialog Ibrahim dengan ayahnya atas sembahan berhala, Ashshaffat (37): 85 - 90: Dialog Ibrahim dengan ayah dan masyarakat atas sembahan berhala, Ashshaffat (37): 91 - 97 : Dialog Ibrahim dengan masyarakat atas sembahan berhala, Surat Al Anbiya (21) 52 - 71: Dialog Ibrahim dengan masyarakat atas sembahan berhala dan pembuktian kelemahan tuhan berhala, Surat Al An'am (6) 80 - 83: Dialog Ibrahim dengan masyarakat atas capaiannya "mencari" Tuhan.

Paparan di atas menunjukkan bahwa Al Qur'an lebih mementingkan dialog dalam proses pembelajaran, termasuk pembelajaran Tauhid dan menghindari model-model doktrin dan materinya dogmatis. Tawaran yang hampir mirip tetapi lebih mikro dan tepat digunakan di tingkat sekolah dinyatakan Suparno, dkk (2002: 76-89) bahwa pendidikan nilai dan pengajaran agama tidak harus disampaikan dengan pengetahuan saja, melainkan harus dengan hati, melalui pengalaman/ penghayatan nyata melalui program problem solving, reflective/critical thinking, group dynamic, community building, responsibility building, picnic, camping study, retreat/week-end moral, dan live-in dalam kegiatan ko kurikuler dan ekstra kurikuler. Pendidikan yang semacam ini bisa mengarahkan siswa pada pemahaman bahwa "sesuatu yang berbeda, tidak harus dibeda-bedakan", dengan melalui materi pelajaran budi pekerti yang harus berlangsung di dalam seluruh situasi kependidikan yang nyata di setiap program sekolah, melalui karya sastra ataupun materi yang lain. Sedangkan pembelajaran agama lebih menekankan model yang memiliki tujuh tahapan: doa pembukaan/penutup, narasi/kisah, refleksi, pengembangan religiusitas berdasar narasi/kisah, rangkuman danpeneguhan, aksi dan pra-aksi dalam masyarakat, dan terakhir evaluasi: atas materi, aksi, dan pra-aksi untuk tujuan penilaian dan evaluasi atas proses pembelajaran.

2. Pendidikan Fiqh

Pendidikan Fiqhpun bisa dikembangkan untuk tidak semata-mata fanatik pada aliran/mazhab tertentu. Langkah yang bisa dikembangkan melalui peningkatan wacana lintas mazhab/aliran pada bahan-bahan ajar Fiqh. Contoh: Bahan Ajar dengan topik Shalat, isi bahan ajar diantaranya meliputi: Niat. Bahasannya harus ada minimal 2 dalil tentang diperkenankannya Niat dengan lisan dan diperkenankannya Niat dalam hati (tidak diucapkan dengan lisan). Materi yang demikian harusnya ditindaklanjuti dengan metode pembelajaran yang mengakui lintas mazhab/aliran. Metode yagn bisa dipakai dengan metode mencari dan melacak Kitab-Kitab Fiqh, baik yang ditulis tokoh bermazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hambali, maupun Ja'fari secara kelompok. Setelah ditemukan dalil-dalil tersebut, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil pelacakannya.

Fiqh perbandingan menjadi mutlak diajarkan, baik melalui bahan ajar maupun metode yang dipakai. Tingkat pengetahuan yang tinggi atas perbedaan bisa menjadikan siswa bisa memahami dan memaklumi perbedaan itu tanpa harus menyalahkan pihak lain atau tidak merasa benar sendiri apa yang dilakukan. Pendidikan Ekonomi bisa mengembangkan pendidikan Fiqh dan Tauhid, seperti ayat yang melarang perputaran kekayaan hanya terbatas pada orang-orang kaya, ditindaklanjuti dengan cara larangan Nabi kepada ummatnya agar tidak melakukan penimbunan barang dengan maksud meninggikan harga (ikhtikar). Sehingga akan terjadi solidaritas dan kesetiakawanan seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam ayat berikut ini: "Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian lainnya dalam hal rizki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rizkinya itu) tidak mau memberikan rizki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni'mat Allah? (An Nahl:71)."

Ayat tersebut menunjukkan bahwa perintah untuk berderma baik wajib maupun sunat, bisa dilakukan dengan model refleksi. Disinilah sebenarnya cara yang bisa dikembangkan melalui metode observasi langsung, atau studi kasus melalui kegiatan out-door activity. Model pendidikan agama di atas tidak melulu mengarah pada semangat misionaris dan dakwah yang menegaskan truth claim, akan tetapi menumbuhkembangkan sikap batin siswa agar mampu melihat kebaikan Tuhan dalam diri sendiri, sesama, dan dalam lingkungan hidupnya. Terbentuknya model ini bisa membawa Pendidikan Agama sebagai tempat semaian awal dan utama dalam belajar berdemokrasi, karena sudah mulai sejak dari rumah dan masyarakat (pendidikan informal).
F. Penutup

Pendidikan di Indonesia yang berada pada masyarakat beragam suku, ras, agama dan antar golongan harus menjadi wahana dalam pembangunan dan pengembangan kesepahaman perbedaan tersebut. Awal dan utama penanaman kesepahamannya melalui Pendidikan Agama, karena agama mengajarkan bahwa setiap perbedaan yang diciptakan oleh Tuhan bermakna harus bisa saling menghormati. Langkah yang bisa dimulai melalui bahan ajar yang memberikan wacana kesepahaman lintas aliran/mazhab, dan ditindaklanjuti melalui metode yang bisa mengkristalisasi kesepahaman lintas aliran/mazhab.
Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Bachtiar Effendy. 2001. Menumbuhkan Sikap Menghargai Pluralisme Keagamaan: Dapatkah Sektor Pendidikan Diharapkan? dalam Th. Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Dian Interfidei. Charles Michael Stanton. 1994. Pendidikan Tinggi Dalam Islam. Jakarta: Logos. Drost, J. 1999. Proses Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikan. Jakarta:Grasindo. Jedida T. Posumah Santosa. 2001. Pluralisme dan Pendidikan Agama di Indonesia dalam Th. Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Dian Interfidei. Komarudin Hidayat. 1999. Memetakan Kembali Struktur Keilmuan Islam. Dalam Fuadudin dan Cik Hasan Basri. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Logos. Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan Mochtar Buchori 1994. Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:IKIP Muhammadiyah Jakarta Press. Soedjatmoko. 1976. Pendidikan Agama dan Kehidupan Sosial. Dalam Sindhunata 2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Kanisius