Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics

Rabu, 15 April 2009

MORAL KEPEMIMPINAN DALAM PENDEKATAN ILMU TAWASUF

PENDAHULUAN

A. Gambaran ringkas materi bahasan

"Moral kepemimpinan" begitu bunyi topik yang diterima penulis sebagai tugas untuk dipersentasikan dan dibuatkan paper laporannya. Secara kebetulan penulis sendirian dalam membahas topik tersebut, sehingga tidak dilakukan diskusi pendahuluan dengan kawan-kawan dan agak leluasa menentukan sendiri arah tujuan dari isi pembahasannya, walaupun tidak ada masukan pendahuluan dari diskusi permulaan sebagaimana biasanya dalam tugas kelompok.

Dalam pembahasan ini penulis sengaja memberikan pengertian sendiri-sendiri terhadap dua kata yang terdapat pada topik bahasan yaitu "Moral" dan "kepemimpinan". Tahap pertama penulis membahas pengertian Moral dari berbagai sudut pandang ahli dan Kelimuan yang sudah barang tentu akan akan terjadi sedikit perbedaan tergantung sudut pandang masing-masing. Dalam pembahasan mengenai moral penulis sengaja memadukan antara moral dari sudut pandang umum dengan moral dari sudut pandang Agama khususnya Islam yang bersumber dari wahyu sekaligus mengkolaborasikannya dengan konsep moral dalam kaca mata tasawuf. Waktu memulai munuliskan gagasan tersebut ada suatu prediksi dalam benak penulis yang memungkinkan timbulnya persepsi dan pandangan kawan-kawan peserta diskusi mengenai sempit atau semacam pemaksaan penerapan sufisme yang dalam kaca mata umum dianggap sempalan, kaku dan menafikan keduniawian, padahal sesungguhnya persepsi tersebut merupakan pemahaman yang dipopulerkan dari sekelompok orang yang belum tentu sesuai dengan kenyataan kehidupan para sufi yang sesungguhnya. Dalam pandangan penulis tasawuf merupakan gagasan, pemikiran dan prilaku yang perlu mendapatkan tempat dalam bahasan keilmuan secara general seperti gagasan dan pemikiran keilmuan yang muncul dari para pemikir Barat dan pemikir-pemikir dari dunia lainnya. Tahap kedua, pembahasan mengenai kepemimpinan, dan berikutnya mengkombinasikan antara moral dengan kepemimpinan.

B. Tujuan, arah dan sasaran pembahasan

Penulis bermaksud mengambil inti pemikiran dan ajaran tasawuf dari konsepsi Maqomat wal-Ahwalnya, karena konsepsi ini menurut penulis dipandang pas dalam bahasan moral yang melandasi sikap dan prilaku manusia, terlebih kita sebagai muslim harus berusaha mencari dan menganalisa berbagai pemikiran yang dapat mendorong terciptanya tindakan dan prilaku manusia yang baik dalam artian mampu memberikan manfaat banyak bagi masyarakat dan alam serta mampu mengambil manfaat yang banyak tanpa menimbulkan kerusakan dengan menekan dan meminimalisir tindakan yang menimbulkan kemafsadatan untuk selalu mengupayakan terciptanya keseimbangan pada alam semesta sesuai dengan ikhtiar dan kemampuan kita.

Ada sebuah kekeringan keyakinan dalam kehidupan masyarakat saat ini, keyakinan tetang kebenaran, keyakinan tentang posisi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Menurut hemat penulis bahwa keyakinan itu kan tersu melemah bila kita menjauhkan diri dari sumber informasi yang mulia tidak sekedar penguasaan knowledge, sebab penguasaan knowledge tanpa keyakinan dan keimanan akan menimbulkan produk-produk bisa memberikan manfaat tetapi sekaligus menimbulkan mafsadat yang besar, terlebih pada pemikiran dan tindakan manusia sebagai subjek pembangunan atau khalifah fil-ardl. Pengkondisian keyakinan itu dimulai dari informasi yang berasal dari sumber yang bermuara pada Wahyu Ilahi. Kajian-kajian, pemikiran-pemikiran yang muncul dari kalangan muslim dalam dunia pendidikan kurang mendapatkan tempat dalam dunia pendidikan, hukum, politik, ekonomi dan lain sebagainya termasuk dalam hati umat islam sendiri, kadang kita lebih bangga dengan pemikiran Barat karena indentik dengan kemajuan, dan sebaliknya merasa malu menampilkan gagasan dan pemikiran kaum muslim terlebih dalam tasawuf karena dianggap jumud, statis dan anti kemajuan. Padahal inti ajaran sesungguhnya dalam tasawuf enurut penulis adalah menanamkan keyakinan tentang siapa manusia dan bagaimana ia melakukan kehidupannya di muka bumi agar dapat kembali fitrah sebagaimana asalnya. Ajaran tasawuf dirasa mengancam kebebasan berpikir dan bertindak karena terlalu hati-hati dalam pemanfaatan sesuatu yang bersifat duniawi. Inti ajaran ini menuntun kita agar tidak mengambil hak orang lain, dan mengajarkan selalu waspada dalam setiap tindakan karena semuanya akan diperhitungkan dalam sebuah persidangan besar di akhirat. Kepemimpinan adalah skill yang dimilki setiap manusia sebagai anugrah Yang Maha Kuasa, bisa dalam lingkup kecil, menengah dan luas, sebagai pribadi, keluarga, atau masyarakat dalam lingkup kecil dan luas (Nabi bersabda; Setiap kalin adalah pemimpin dan kalian semua akan diminta pertanggungjawaban mengenai kepemipinannya). Mengambil inti ajaran tasawuf diharapkan dapat mengisi kekeringan keyakinan tersebut.

Disamping yang dikemukakan di atas, saya juga ingin mengemukakan beberapa alasan yang berkaitan dengan pemilihan tasawuf dalam moral kepemimpinan sebagai berikut:

1. Dalam upaya menjadikan ilmu-ilmu keislaman menjadi disiplin yang inklusif, perlu dilakukan dialog dengan beragam disiplin ilmu lainnya. Karena jika tidak demikian maka disiplin ilmu Agama akan menjadi yang eksklusif dan tidak membumi.

2. Hasil kajian yang mengkomparasikan antara pemikiran keislaman dengan disiplin lain, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu keislaman tidak terpisah dari keilmuan lainnya. Karena teori-teori yang ada menunjukkan kesamaan pada aspek-aspek tertentu yang masing-masing memilki kelebihan dan kekurangan. Oleh karenanya pembahasan moral kepemimpinan dengan pendekatan tradisi tasawuf ini dapat memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan ilmu-ilmu keislaman pada khususnya.

3. Tasawuf merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang terbuka dan bersifat multidimensi. Karena khasanah sufi dapat dikaji dalam perspektif keilmuan apapun, khususnya psikologi dan tasawuf berakar dari pengalaman spiritual manusia yang bersifat pribadi. Untuk itu kajian moral dan leadershif dengan pendekatan tasawuf menjadi hal yang niscaya.



BAB II KERANGKA TEORITIS MORAL KEPEMIMPINAN

A. Moral

Moral berasal dari bahasa Latin kata mores, kemudian diterjemahkan menjadi "aturan kesusilaan". Dalam bahasa sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan bukan mores, tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun, dan tidak cabul. Jadi, moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik. (Sumaryono, 1995).

Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan, dan kelakuan (akhlak). Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakukan yang baik. Demoralisasi berarti kerusakan moral. Moral juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu pengejawantahan dari pancaran Ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.

2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran filosofis, agama, adat yang menguasai pemutaran manusia.

Sumaryono (1995) mengemukakan tiga faktor penentu moralitas perbuatan manusia yaitu : Motivasi,Tujuan akhir, Lingkungan perbuatan

Moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi, sehingga perbuatan itu dinyatakan baik atau buruk, benar atau salah. Moralitas instrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah berdasarkan hakekatnya, terlepas dari pengaruh hukum positif. Artinya penentuan benar atau salah perbuatan tidak tergantung pada perintah atau larangan hukum positif. Misalnya :

1. Gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal.

2. Jangan menyusahkan orang lain

3. Berikanlah yang terbaik.

Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah sesuai dengan sifatnya sebagai perintah atau larangan dalam hukum positif. Misalnya :

1. Larangan menggugurkan kandungan

2. Wajib melaporkan pemufakatan jahat

Moral Dalam perspektif ajaran Islam adalah akhlak, oleh karena pembahasan moral di sini lebih ditekankan pada pengertian akhlak, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Gazali

Akhlak adalah keadan batin yang menjadi sumber lahirnya perbuatan yang muncul secara spontan tanpa memperhitungkan untung dan rugi

. Kata "Akhlak" diambil dari bahasa Arab yang biasa diartikan tabi'at, perangai, kebiasaan bahkan agama. (Quraish Syihab, 2002)

. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata "ööAkhlak" diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan

Baik atau burukunya akhlak seseorang bermula dari hatinya (qalbu), sebagaimana Sabda Rasulullah SAW.

"Ingatlah bahwa dalam tubuh (manusia) ada segumpal darah yang apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh (nya), dan bila ia buruk maka buruk pula seluruh (perbuatan) tubuh, ingatlah dia itu adalah al-qalbu.



Qalbu yang buruk atau tercela adalah qalbu yang berpenyakit yang awalnya diibaratkan sebuah noda atau titik kecil (rona), penyakit itu datang pada qalbu melalui interaksi sosial kehidupan manusia, akibat lemah atau tidak kontrol dan tidak adanya filter dari manusia yang menggunakan mudghah tersebut, dia akan terus bersemayam pada qalbu. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam Q.S. al-Muthafifin:14;

"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka."

Bila tidak diobati, maka noda hitam (penyakit hati) itu akan terus membesar dan berkembang sampai menutupi seluruh qalbunya menjadi hitam legam, sehingga tidak mampu lagi menerima dan memantulkan cahaya kebenaran (Cahaya Ilahi) sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Baqarah:10;

"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta."

Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa penyakit hati yang berupa noda hitam terus membesar sampai total menutupi seuruh permukaannya

Dalam pandangan penulis penyakit hati itu berupa perlawanam terhadap tuntunan ajaran kebenaran yang bersumber dari wahyu Allah secara qoth'I maupun dhany, dalam praktiknya seperti mengambil hak orang lain, menghina orang lain, melakukan ketidak jujuran dalam penilaian kinerja bawahan, melakukan manipulasi data dalam pelaporan keuangan (tidak acountable), dan banyak lagi sampai pada puncaknya penolakan tehadap kebenaran yang biasanya dimuali dari pembiasan kebenaran kecil-kecilan secara bertahap.

Rasulullah SAW membagi hati manusia ke dalam empat kelompok sebagaimana Sabdanya;

"Dari Sahabat ali r.a., Rasulullah SAW bersabda: 'hati itu ada emapat macam, pertama, hati yang terang bersinar penuh cahaya yaitu hatinya orang yang beriman, kedua, hati yang tertutup yaitu hati orang kafir, ketiga, hati yang terbungkus yaitu hati orang manafik, dan keempat hati yang memiliki dua macam benih keimanan dan kemunafikan, yaitu hatinya kelompok manusia yang mencampurkan adukan kebaikan dan keburukan."

B. Kerangka Pikir Tasawuf Dalam Penanaman Moral

Setiap manusia yang lahir kedunia dalam keadaan fitrah atau bersih dalam artian tidak mempunyai noda hitam atau kejahatan, dengan kelengkapan nafsu yang berupa kehendak dan rasa takut dan berani, nikmat dan tidak nikmat serta akal yang berfungsi untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk serta potensi lainnya manusia diturunkan ke muka bumi sebagai khalifah. Atas Rahman dan Rahimnya Allah SWT apa yang disebut baik dan jahat, dosa dan amal shalih diciptakan, dan manusia dengan seluruh potensi serta kelengkapan akaln pemberian Allah disuruh memilih mana yang dapat membuatnya nikmat, sejahtera dan selamat bukan hanya di dunia tetapi juga untuk kehidupan akhirat. Perlu kita sadari bahwa bahwa Allah SWT sebagai khalik tidak butuh terhadap perbuatan makhluk artinya segala pikiran dan tindakan makhluk termasuk manusia tidak menguntungkan dan merugikan Allah, perbuatan manusia hanya menguntungkan dan merugikan mansia sendiri. Dalam proses pemenuhan kebuthan manusiawi itu terjadi gesekan dan benturan atau penyimpangan dari bimbingan kebenaran yang berupa hubungan saling merugikan di antara manusia atau menguntungkan dan menyenagkan menurut nafsu jeleknya tetapi menyimpang dari bim bingan kebenaran.

Misi ajaran tasawuf adalah menuntun manusia untuk mencapai kembali kesucian atau fitrah agar pada saatnya meninggalkan dunia nanti bisa kembali kepada alam asalnya, karena hanya manusia yang fitrah sebagaimana asalnya yang bisa kembali ke tempatnya semula. Dalam tradisi tasawuf ada sebuah konsep keilmuan yang menyelidiki karakter perkembangan jiwa manusia yang disebut al-Maqomat wa al-Ahwal. Maqamat, dalam teori psikologi humanistik Abraham Maslow konsep ini diwujudkan dengan penacapaian aktualisasi diri (self-actualization) dan pengalaman puncak (peak-experience). Maqomat bentuk jamak dari Maqam yang berarti tempat atau kedudukan (stations). Dalam terminologi sufi Maqam adalah kedudukan spiritual, sedangkan Ahwal bentuk jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara teriminologi Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati.

B.1. Struktur Maqomat

1. Taubah: Penyesalan diri terhadap segala perilaku jahat yang telah dilakukan di masa lalu (upaya mengosongkan diri dari segala tindakan yg tidak baik dan mengisinya dengan yg baik)

2. Wara: Meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (syubhat)

3. Zuhud: Kosongnya tangan dari kemilikan dan kosongnya hati dari pencarian (Al-Junaidi). Menurut Syaikh SufyanTsauri "zuhud terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia bukannya memakan makanan kasar atau memakai jubah dengan kain kasar

4. Faqr: Pengakuan diri tidak mempunyai apa-apa segala sesuatu milik Allah bahkan dirinyapun milik Allah

5. Shabr: memilih untuk melakukan perintah Agama ketika datang desakan nafsu (Al-Gazali)

6. Tawakkal : Menyerahkan dengan sepenuhnya tidak ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi keputusan Allah

7. Ridla: Kondisi kejiwaan yang senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala karunia yang diberikan atau bala yang ditimpakan kepadanya

B.2. Struktur Ahwal

1. Muraqabah: Kondisi kejiwaan yang sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada

2. Mahabbah (cinta): mengandung arti keteguhan dan kemantapan, menurut Ibnu al-'Arabi "bertemunya dua kehendak Tuhan dan kehendak manusia

3. Khauf (takut): Takut terdapa kejadian yang akan datang yaitu datangnya sesuatu yang dibenci dan sinarnya sesuatu yang dicintai.

4. Raja(harapan): keterkaitan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang

5. Shauq (rindu): luapan perasaan seorang individu yang mengaharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatau yang dicintai.

6. Uns: kondisi kejiwaan di mana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan, seorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta sukacita yang meluap-luap

7. Tuma'ninah: Keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal dapat mempengaruhinya.

8. Musyahadah: kehadiran kehadiran al-haqq dengan tanpa dibayangkan.

9. Yaqin: merupakan perpaduan antara 'ilm al-yaqin, 'ain al-yaqin dan haqq al-yaqin, yaitu kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.

C. Kepemimpinan

1. Pengertian Kepemimpinan

Banyak Definisi mengenai kepemimpinan yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, tergantung pada perspektif yang digunakan. Kepemimpinan dapat didefinisikan berdasarkan penerapannya pada bidang militer, olahraga, bisnis, pendidikan, industri dan bidang-bidang lainnya. Ordway Tead memberikan rumusan "Leadership is the activity influencing people to cooperate some good which they come to find desirable". Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama guna mencapai tujuan tertentu yang diinginkan. ( Wursanto, 2003: 196). Slamet santosa ( 2004: 44 ) mendefinisikan kepemimpinan sebagai "usaha untuk mempengaruhi anggota kelompok agar mereka bersedia menyumbangkan kemampuannya lebih banyak dalam mencapai tujuan kelompok yang telah disepakati". Menurut Ngalim Purwanto (1993: 26). "Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasi, suatu seni pembinaan kelompok orang-orang tertentu, biasanya melalui 'human relations' dan motivasi yang tepat, sehingga tanpa adanya rasa takut mereka mau bekerja sama dan membanting tulang memahami dan mencapai segala apa yang menjadi tujuan-tujuan organisasi". Menurut Goestch dan Davis (1994: 192 ) "kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki tanggung jawab total terhadap uasaha mencapai atau melampaui tujuan organisasi".

2. Teori Kepemimpinan

Teori kepemimpinan membicarakan bagaimana seseorang menjadi pemimpin, atau bagaimana timbulnya seorang pemimpin. Ada beberapa teori tentang kepemimpinan. Menurut Adam Ibrahim Indrawijaya (1993: 132-133) "pada dasarnya ada dua teori kepemimpinan, yaitu teori sifat (traits theory) dan teori situasiaonal (situational theory)", sementara Wursanto ( 2004: 197 ) menyatakan ada enam teori kepemimpinan, yaitu; teori kelebihan, teori sifat, teori keturunan, teori kharismatik, teori bakat, dan teori sosial, sedangkan Miftah Thoha mengelompokannya kedalam; teori sifat, teori kelompok, teori situasional, model kepemimpinan kontijensi, dan teori jalan kecil-tujuan ( path-goal theory).

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori kepemimpinan, maka di bawah ini akan diuraikan beberapa teori kepemimpinan sebagaimana diungkapkan oleh ketiga pakar tersebut di atas.

2.1. Teori kelebihan, yang beranggapan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin apabila ia memiliki kelebihan dari para pengikutnya. Pada dasarnya kelebihan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin mencakup tiga hal, pertama; kelebihan ratio, ialah kelebihan menggunakan pikiran, kelebihan dalam pengetahuan tentang hakikat tujuan dari organisasi, dan kelebihan dalam memiliki pengetahuan tentang cara-cara menggerakkan organisasi, serta dalam pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, Kedua; Kelebihan Rohaniah, berarti seorang pemimpin harus mampu menunjukkan keluhuran budi pekertinya kepada para bawahan. Seorang pemimpin harus mempunyai moral yang tinggi karena pada dasarnya pemimpin merupakan panutan para pengikutnya. Segala tindakan, perbuatan, sikap dan ucapan hendaknya menjadi suri tauladan bagi para pengikutnya, Ketiga, Kelebihan Badaniah; Seorang pemimpin hendaknya memiliki kesehatan badaniah yang lebih dari para pengikutnya sehingga memungkinkannya untuk bertindak dengan cepat. Akan tetapi masalah kelebihan badaniah ini bukan merupakan faktor pokok. (Wursanto, 2003: 197-198).

2.2. Teori sifat, Pada dasarnya sama dengan teori kelebihan. Teori ini menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin yang baik apabila memiliki sifat-sifat yang lebih daripada yang dipimpin. Di samping memiliki kelebihan pada ratio, rohaniah dan badaniah, seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat yang positif, misalnya; adil, suka melindungi, penuh percaya diri, penuh inisiatif, mempunyai daya tarik, energik, persuasif, komunikatif dan kreatif. (Wursanto, 2003: 198). Menurut Miftah Thoha (2003:32-33) bahwa sesungguhnya tidak ada korelasi sebab akibat antara sifat dan keberhasilan manajer, pendapatnya itu merujuk pada hasil penelitian Keith Davis yang menyimpulkan ada empat sifat umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, yaitu; (1) Kecerdesan ( di atas disebutkan kelebihan ratio). Hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin. Namun demikian pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya, (2) Kedewasaan dan keleluasaan hubungan sosial, para pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-akltivitas sosial. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai, (3) Motivasi dan dorongan berprestasi, para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka berusaha mendapatkan penghargaan yang instrinsik dibandingkan dari yang ekstrinsik, (4) Sikap-sikap hubungan kemanusiaan, para pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya, dalam istilah penelitian Universitas Ohio pemimpin itu mempunyai perhatian, dan kalau mengikuti istilah penemuan Michigan, pemimpin itu berorientasi pada karyawan bukannya berorientasi pada produksi. Hal serupa juga dinungkapkan oleh Adam Ibrahim Indrawijaya dalam bukunya prilaku organisasi ( 1983: 132-133).

2.3. Teori keturunan, yang menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin karena keturunan atau warisan. Karena orang tuanya seorang pemimpin maka anaknya otomatis akan menjadi pemimpin menggantikan orang tuanya, seolah-olah seseorang menjadi pemimpin karena ditakdirkan. (Wursanto, 2003: 199).

2.4. Teori kharismatik, yang menyatakan bahwa seseorang menjadi pemimpin karena mempunyai karisma (pengaruh) yang sangat besar. Karisma itu diperoleh dari Kekuatan Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini ada suatu kepercayaan bahwa orang itu adalah pancaran Zat Tunggal, sehingga dianggap mempunyai kekuatan ghaib (spranatural power). Pemimpin yang bertipe karismatik biasanya memiliki daya tarik, kewibawaan dan pengaruh yang sangat besar. (Wursanto, 2003: 199)

2.5. Teori bakat, yang disebut juga teori ekologis, menyatakan bahwa pemimpin itu lahir karena bakatnya. Ia menjadi pemimpin karena mempunyai bakat untuk menjadi pemimpin. Bakat kepemimpinan itu harus dikembangkan, misalnya dengan memberi kesempatan orang tersebut menduduki suatu jabatan. (Wursanto, 2003: 200).

2.6. Teori Sosial, beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menjadi pemimpin. Setiap orang mempunyai bakat untuk menjadi pemimpin asal dia diberi kesempatan. Setiap orang dapat dididik menjadi pemimpin karena masalah kepemimpinan dapat dipelajari, baik melalui pendidikan formal maupun melalui pengalaman praktek ( Wursanto, 2003: 200).

2.7. Teori Kelompok, beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya. Teori kelompok ini dasar perkembangannya pada psikologi sosial. (Miftah Thoha, 2003: 34).

2.8. Teori Situasional, menyatakan bahwa beberapa variabel-situasional mempunyai pengaruh terhadap peranan kepemimpinan, kecakapan, dan perilakunya termasuk pelaksanaan kerja dan kepuasan para pengikutnya. Beberapa variabel sitasional diindentifikasikan, tetapi tidak semua ditarik oleh situasional ini. (Miftah Thoha, 2003: 36).

2.9. Model kepemimpinan kontijensi, yang ditemukan oleh Fiedler sebagai hasil pengujian hipotesa yang telah dirumuskan dari penelitiannya terdahulu. Model ini berisi tentang hubungan antara gaya kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan dalam hubungannya dengan dimensi-dimensi empiris berikut ini: (1) Hubungan pimpinan-anggota. Variabel ini sebagai hal yang paling menentukan dalam menciptakan situasi yang menyenangkan, (2) Derajat dari struktur tugas. Dimensi ini merupakan urutan kedua dalam menciptakan situasi yang menyenangkan, (3) Posisi kekuasaan pemimimpin yang dicapai lewat otoritas formal. Dimensi ini merupakan urutan ketiga dalam menciptakan situasi yang menyenangkan. (Miftah Thoha, 2003: 37-38).

2.10. Teori Jalan Tujuan (Path-Goal Theory) yang mula-mula dikembangkan oleh Geogepoulos dan kawan-kawannya di Universitas Michigan. Pengembangan teori ini selanjutnya dilakukan oleh Martin Evans dan Robert House. Secara pokok teori path-goal dipergunakan untuk menganalisa dan menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan kerja bawahan. Ada Dua faktor situsional yang telah diidentifikasikan, yaitu sifat personal para bawahan, dan tekanan lingkungan dengan tuntutan-tuntutan yang dihadapi oleh para bawahan. Untuk situasi pertama teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan, atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan masa depan. Adapun faktor situasional kedua, path-goal, menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan bisa menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika; (1) Perilaku tersebut dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan bawahan sehingga memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja, (2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang berupa memberikan latihan, dukungan, dan penghargaan yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan kerja. (Miftah Thoha, 2003:

3. Tipe-Tipe Kepemimpinan

Tipe kepemimpinan sering disebut perilaku kepemimpinan atau gaya kepemimpinan (leadership style). Menurut Miftah Toha ( 2003: 49 ) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Oleh karenanya usaha menselaraskan persepsi di antara yang akan mempengaruhi dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting. Duncan menyebutkan ada tiga gaya kepemimpinan, yaitu; otokrasi, demokrasi, dan gaya bebas ( the laisser faire ). ( Adam Ibrahim Indrawijaya, 1938: 135 ). Wursanto ( 2003) menambahkan tipe (gaya) paternalistik, militeristik, dan open leadership. Sementara Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana ( 2000 ) melengakpinya dengan gaya kepemimpinan partisipatif, berorientasi pada tujuan, dan situasional.

Di bawah ini akan diuraikan tipe-tipe (gaya-gaya) kepemimpinan tersebut di atas dengan maksud memberikan gambaran yang jelas mengenai persamaan dan perbedaannya, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam memahami gaya kepemimpinan disebabkan pengistilahan yang berbeda padahal maksud dan tujuannya sama.

3.1. Kepemimpinan Otokrasi

Kepmimpian otokrasi disebut juga kepemimpinan diktator atau direktif. Orang yang menganut pendekatan ini mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan para karyawan yang harus melaksanakannya atau karyawan yang dipengaruhi keputusan tersebut ( Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana, 2000: 161). Menurut Wursanto ( 2003: 201) kepemimpinan otokrasi adalah kepemimpinan yang mendasarkan pada suatu kekuasaan atau kekuatan yang melekat pada dirinya. Kepemimpinan otokrasi dapat dilihat dari ciri-cirinya antara lain : (1) mengandalkan kepada kekuatan atau kekuasaan yang melekat pada dirinya, (2) Menganggap dirinya paling berkuasa, (3) Menganggap dirinya paling mengetahui segala persoalan, orang lain dianggap tidak tahu, (4) keputusan-keputusan yang diambil secara sepihak, tidak mengenal kompromi, sehingga ia tidak mau menerima saran dari bawahan, bahkan ia tidak memberi kesempatan kepada bawahan untuk meberikan saran, pendapat atau ide, (5) Keras dalam menghadapi prinsip, (6) Jauh dari bawahan, (7) lebih menyukai bawahan yang bersikap abs (asal bapak senang), (8) perintah-perintah diberikan secara paksa, (9) pengawasan dilakukan secara ketat agar perintah benar-benar dilaksanakan.

3.2. Kepemimpinan Demokrasi

Gaya atau tipe kepemimpinan ini dikenal pula dengan istilah kepemimpinan konsultatif atau konsensus. Orang yang menganut pendekatan ini melibatkan para karyawan yang melaksanakan keputusan dalam proses pembuatannya, walaupun yang membuat keputusan akhir adalah pemimpin, setelah menerima masukan dan rekomendasi dari anggotan tim. ( Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana, 2000: 161). Menurut Adam Ibrahim Indrawijaya (1983) "Gaya kepemimpinan demokratis pada umumnya berasumsi bahwa pendapat orang banyak lebih baik dari pendapatnya sendiri dan adanya partisipasi akan meninbulkan tanggung jawab bagi pelaksananya". Asumsi lain bahwa partisipasi memberikan kesempatan kepada para anggota untuk mengembangkan diri mereka.

3.3. Kepemimpinan Laisser Faire

Kepemimpinan laissez faire (gaya kepemimpinan yang bebas) adalah gaya kepemimpinan yang lebih banyak menekankan pada keputusan kelompok. Dalam gaya ini, seorang pemimpin akan menyerahkan keputusan kepada keinginan kelompok, apa yang baik menurut kelompok itulah yang menjadi keputusan. Pelaksanaannyapun tergantung kepada kemauan kelompok. (Adam Ibrahim Indrawijaya, 1983: 136). Pada umumnya tipe laissez faire dijalankan oleh pemimpin yang tidak mempunyai keahlian teknis. Tipe laissez faire mempunyai ciri-ciri antara lain; (1) Memberikan kebebasan sepenuhnya kepada bawahan untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan bidang tugas masing-masing, (2) Pimpinan tidak ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelompok, (3) Semua pekerjaan dan tanggungjawab dilimpahkan kepada bawahan, (4) Tidak mampu melakukan koordinasi dan pengawasan yang baik, (5) Tidak mempunyai wibawa sehingga ia tidak ditakuti apalagi disegani oleh bawahan, (6) Secara praktis pemimpin tidak menjalankan kepemimpinan, ia hanya merupakan simbol belaka. (Wusanto, 2003). Menurut hemat penulis tipe laissez faire ini bukanlah tipe pemimpin yang sebanarnya, karena ia tidak bisa mempengaruhi dan menggerakkan bawahan, sehingga tujuan organisasi tidak akan tercapai.

3.4. Kepemimpinan Partisipatif

Kepemimpinan partisipatif juga dikenal dengan istilah kepemimpinan terbuka, bebas atau nondirective. Pemimpin yang menganut pendekatan ini hanya sedikit memegang kendali dalam proses pengambilan keputusan. Ia hanya sedikit menyajikan informasi mengenai suatu permasalahan dan memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk mengembagkan strategi dan pemecahannya, ia hanya mengarahkan tim kearah tercapainya konsensus. ( Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana, 2000: 162).

3.5. Kepemimpinan Paternalistik

Tipe paternalistik adalah gaya kepemimpinan yang bersifat kebapakan. Pemimpin selalu memberikan perlindungan kepada para bawahan dalam batas-batas kewajaran. Ciri-ciri pemimpin penganut paternalistik antara lain: (1) Pemimpin bertindak sebagai seorang bapak, (2) Memperlakukan bawahan sebagai orang yang belum dewasa, (3) selalu memberikan perlindungan kepada para bawahan yang kadang-kadang berlebihan, (4) Keputusan ada di tangan pemimpin, bukan karena ingin bertindak secara otoriter, tetapi karena keinginan memberikan kemudahan kepada bawahan. Oleh karena itu para bawahan jarang bahkan sama sekali tidak memberikan saran kapada pimpinan, dan Pimpinan jarang bahkan tidak pernah meminta saran dari bawahan, (5) Pimpinan menganggap dirinya yang paling mengetahui segala macam persoalan. (Wursanto, 2003: 202).

3.6. Kepemimpinan Berorientasi Pada Tujuan

Gaya kepemimpinan ini juga disebut kepemimpinan berdasarkan hasil atau sasaran. Penganut pendekatan ini meminta bawahan (anggota tim) untuk memusatkan perhatiannya pada tujuan yang ada. Hanya strategi yang dapat menghasilkan kontribusi nyata dan dapat diukur dalam mencapai tujuan organisasilah yang dibahas, faktor lainnya yang tidak berhubungan dengan tujuan organisasi diminimumkan. ( Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana, 2000: 162).

3.7. Kepemimpinan Militeristik

Kepemimpinan militeristik tidak hanya terdapat di kalangan militer saja, tetapi banyak juga terdapat pada instansi sipil (non-militer). Ciri-ciri kepemimpinan militeristik antara lain; (1) Dalam komunikasi lebih banyak mempergunakan saluran formal, (2) Dalam menggerakkan bawahan dengan sistem komando/perintah, baik secara lisan ataupun tulisan, (3) Segala sesuatu bersifat formal, (4) Disiplin tinggi, kadang-kadang bersifat kaku, (5) Komunikasi berlangsung satu arah, bawahan tidak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat, (6) Pimpinan menghendaki bawahan patuh terhadap semua perintah yang diberikannya. (Wursanto, 2003 ).

3.8. Kepemimpinan Sitasional

Gaya kepemimpinan ini dikenal juga sebagai kepemimpinan tidak tetap (fluid) atau kontingensi. Asumsi yang digunakan dalam gaya ini adalah bahwa tidak ada satu pun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer dalam segala kondisi. Oleh karena itu gaya kepemimpinan situasional akan menerapkan suatu gaya tertentu berdasarkan pertimbangan atas faktor-faktor seperti pemimpin, pengikut, dan situasi ( dalam arti struktur tugas, peta kekuasaan, dan dinamika kelompok ). ( Fandi dan Anastasia, 2000: 162-163 ).

4. Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam

Dalam Islam istilah kepemimpinan dikenal dengan kata Imamah, sedangkan kata yang terkait dengan kepemimpinan dan berkonotasi pemimpin dalam Islam ada tujuh macam, yaitu Khalifah, Malik, Wali, 'Amir dan Ra'in, Sultan, Rais, dan Ulil 'amri, (Abdurrahman, 2002) . Menurut Quraish Shihab (2000: 47), imam dan khalifah dua istilah yang digunakan Al-Qur'an untuk menunjuk pemimpin. Kata imam diambil dari kata amma-ya'ummu, yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Kata khalifah berakar dari kata khalafa yang pada mulanya berarti "di belakang". Kata khalifah sering diartikan "pengganti" karena yang menggatikan selalu berada di belakang, atau datang sesudah yang digantikannya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa Al-Qur'an menggunakan kedua istilah ini untuk menggambarkan ciri seorang pemimpin, ketika di depan menjadi panutan, dan ketika di belakang mendorong, sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh yang dipimpinnya.

4.1. Dasar-Dasar Kepemimpinan Islam

Ada beberapa dasar kepemimpinan dalam Islam yang harus dijadikan landasan dalam berorganisasi, di antarnya ialah;

4.1.1. Tidak mengambil orang kafir atau orang yang tidak beriman sebagai pemimpin bagi orang-orang muslim karena bagaimanapun akan mempengaruhi terhadap kualitas keberagamaan rakyat yang dipimpinnya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an; Surat An-Nisaa: 144;

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mangambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mu'min, apakah kamu ingin menjadikan hal itu sebagai alasan bagi Allah untuk menimpakan siksaan yang nyata".

4.1.2. Tidak mengangkat pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan Agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah: 57;

"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan orang-orang yang memperolok-olokan dan mempermainkan agama kamu dari kaum yang diberi Kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir sebagai pemimpin, dan berbaktilah kepada Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman."

4.1.3. Pemimpin harus mempunyai keahlian di bidangnya, pemberian tugas atau wewenang kepada yang tidak berkopenten akan mengakibatkan rusaknya pekerjaan bahkan organisasi yang menaunginya. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW.

"Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya". ( H. R. Bukhori dan Muslim ).

4.1.4. Pemimpin harus bisa diterima (acceptable), mencintai dan dicintai umatnya, mendoakan dan didoakan oleh umatnya. Sebagaimana Sabda rasulullah SAW. ;

"Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu." ( H.R. Muslim).

4.1.5. Pemimpin harus mengutamakan, membela dan mendahulukan kepentingan umat, menegakkan keadilan, melaksanakan syari'at, berjuang menghilangkan segala bentuk kemunkaran, kekufuran, kekacauan, dan fitnah, sebagaimana Firman Allah SWT. Dalam Al-Qur'an, Surat Al-Maidah: 8:

"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan jangalah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Dari hasil penelaahan para pakar yang dirangkum dari Al-Qur'an dan Hadits, dikeketemukan ada empat sifat yang harus dipenuhi oleh para Nabi, yang pada hakekatnya adalah pemimpin ummatnya, yaitu; (1) Al-Shidq, yakni kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap serta berjuang melaksanakan tugasnya. (2) Al-Amanah, atau kepercayaan yang menjadikan dia memelihara sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya, baik dari Allah maupun dari orang-orang yang dipimpinnya, sehingga tercipta rasa aman bagi semua pihak. (3) Al-Fathanah, yaitu kecerdasan yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul seketika sekalipun. (4) At-Tabligh, yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab, atau dapat diistilahkan dengan keterbukaan. (Quraish Shihab, 2000: 47-48)

BAB III ANALISIS

Dari beberapa definisi kepemimpinan yang dikemukakan pada bab dua menurut hemat penulis mempunyai makna dan tujuan yang sama yang intinya adalah bagaimana menciptakan suasana lingkungan, pemikiran dan tindakan para staff atau team work agar dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan visi, misi dan tujuan organisasi, terutama pendapat Goestch dan Davis yang menyatakan bahwa "kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki tanggung jawab total terhadap uasaha mencapai atau melampaui tujuan organisasi, berarti keberhasilan suatu organisasi itu sangat erat hubungannya dengan kemampuan dan perilaku pimpinan.Dalam path-goal theory dikenal faktor situasional, pada suatu situasi perilaku pimpinan bisa diterima oleh para staff bila menjadi sumber yang akan segera memberikan kepuasan atau sebagai instrumen bagi kepuasan di masa yang akan datang, dan pad situasi lain perilaku pimpinan akan bisa menjadi faktor motivasi terhadap team kerja bila;

(1) Perilaku tersebut dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan para staff sehingga memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.

(2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para staff berupa pemberian latihan, dukungan, dan penghargaan yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan kerja, dan jika tidak dengan cara ini maka staff lingkunggannya akan merasa kekurangan.

Penulis stuju dengan teori kepemimpinan sosial bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menjadi pemimpin. Setiap orang mempunyai bakat untuk menjadi pemimpin asal dia diberi kesempatan. Setiap orang dapat dididik menjadi pemimpin karena masalah kepemimpinan dapat dipelajari, baik melalui pendidikan formal maupun melalui pengalaman praktek, Kemampuan pemimpin dalam mengendalikan organisasi tidak terlepas dari keunggulan dan kelebihan yang dimilikinya sebagaimana dikemukakan dalan teori sifat kepemimpinan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin yang baik apabila memiliki sifat-sifat yang lebih daripada yang dipimpin. Di samping memiliki kelebihan pada ratio, rohaniah dan badaniah, seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat yang positif, misalnya; adil, suka melindungi, penuh percaya diri, penuh inisiatif, mempunyai daya tarik, energik, persuasif, komunikatif dan kreatif. Seorang pemimpin harus mampu membaca situasi dan keadaan lingkungan kerja serta sehingga dapat terus memotivasi dan menggerakkan tim kerjanya serta mampu meminimalisir kerancuan dalam oragnisasi dengan gaya situasional kepemimpinannya, karena kondisi kejiwaan manusia akan selalu mengalami perubahan sebagai konsekuensi dari perubahan pemikiran dan adaptasi lingkungan internal dan eksternal.

Menurut Peter dan Austin yang dikutif Edward Sallis (1993) bahwa pemimpin pendidikan membutuhkan perspektif-perspektif sebagai berikut:

Vision and Symbols, pimpinan pendidikan (kepala sekolah) harus mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada para staf, para pelajar dan kepada komunitas yang lebih luas.

(1) Manajement by walking about (MBWA), yaitu suatu cara bagi pimpinan untuk memahami, berkomunikasi, dan mendiskusikan proses yang berkembang dalam lembaga dengan tidak hanya duduk di belakang meja kerjanya.

(2) For the Kids, yaitu perhatian yang sungguh-sungguh kepada semua anggota lembaganya, baik pelajar (primary customer) maupun pelanggan lain.

(3) Autonomy, experimentations, and support for failure, yaitu memilki otonomi, suka mencoba hal-hal baru, dan memeberikan dukungan bagi sikap inisiatif dan inovatif untuk memperbaiki kegagalan.

(4) Create a sense of familiy, yaitu cara untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan di antara sesama ustadz/guru, santri/pelajar, karyawan, dan staf pimpinan lainnya.

(5) Sense of the whole, rhytme, passion, intensity, and enthusias, yaitu kesabaran, semangat, intensitas, dan antusiasme.

Dalam institusi manapun pimpinan merupakan kunci keberhasilan organisas, baik dalam institusi sosial semacam sekolah atau institusi bisnis semacam pabrik mobil atau perbankan terlebih lagi dalam institusi pemerintahan. Kepribadian seorang pemimpin benar-benar menjadi perhatian yang dipimpinnya oleh karenanya konsep maqomat wa al-ahwal menurut hemat penulis akan sangat membantu pengkondisian dan membentuk pribadi manusia apakah itu pemimpin atau calon pemimpin.

Dengan memahami dan menjiwai Taubah manusia akan menyesali segala perilaku kesalahan yang telah dilakukan dengan sepenuh hati, dan meninggalkannya untuk selama-lamanya kemudian diikuti dengan keyakinan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Seorang yang bertaubat dituntut untuk kembali dari perbuatan yang lebih baik menuju yang terbaik, dalam dirinya ada semangat untuk senantiasa meningkatkan kadar kebaikan dan ketaatan untuk menjadi lebih baik dan lebih taat, setiap aktivitasnya tidak berhenti dengan tercapainya kepuasan tetapi akan menuju pada ridla Allah.

Wara, Seorang yang Wara akan senantiasa menjaga kesucian baik jasmani maupun rohani dengan mengendalikan segala perilaku dan aktivitas kesehariannya. Ia hanya akan melakukan seseuatu jika bermanfaat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, dan ia tidak akan menggunakan sesuattu hal yang belum jelas statusnya dalam pandangan TQM yang mempunyai sifat demikian bisa bekerja dengan efektif dan efisien dengan tampilan yang low profil.

Juhud, Seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat Juhud agar ia tidak terlalu ambisi untuk mempertahankan kedudukan dan mencari kekayaan yang berlebihan, karena seringkali terjadi tidak tercapainya tujuan organisasi disebabkan terobsesinya pimpinan untuk pemilikan kekayaan dan tidak fokus pada tujuan organisasi. Jalaluddin Rachmat (1997) membagi Juhud dalam dua karakter. Pertama, tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang dimilikinya, orang yang berpola hidup memiliki akan merasa bahagia jika ia memiliki rumah megah, mobil mewah, kekayaan banyak, status sosial yang tinggi, dan akan menderita jika kehilangan itu semua. Menurut Jalal orang ini tidak ubahnya seperti anak kecil yang menyruh temannya membakar petasan tetapi anak itu menutup telinganya ketika petasan itu meledak, tetapi ia senang karena petasan itu miliknya. Sebagaiman juga halnya orang kaya yang memiliki ruma megah di perbukitan dengan fasilitas lengkap, seperti kolam renang, lapangan tenis, dan tempat tidur yang lux, sementara ia sendiri tinggal di kota dan jarang sekali singgah di rumahnya yang megah itu, yang menempati adalah pembantunya yang dibayar untuk menikmati segala fasilitas yang ada di dalamnya, namun ia bahagia karena rumah itu miliknya, baginya yang menjadi persoalan bikan penggunaan, tapi pemilikan. Pola hidup memiliki menjadikan keberadaan manusia ditentukan oleh lingkungan atau benda-benda yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri, hati dan perasaannya digantungkan pada benda-benda yang dimilikinya. Seorang yang Juhud tidak melepaskan apa yang dimilikinya namun menjadikannya sebagai alat untuk mengembangkan diri. Dalam rangka mencapai kebahagiaan spiritual. Kedua, kebahagiaan seorang yang Juhud tidak lagi tergantung pada hal-hal yang bersifat material tetapi spiritual, yang dalam psikoanalisis merupakan strata tertinggi dari perkembangan kepribadian seseorang.

Fakir, dapat dipahami bahwa sesungguhnya nilai kefakiran pada esensinya tidak terletak pada ketuadaan harta benda, namun ada pada kesadaran atau perasaan seseorang (state of mind). Orang yang fakir meskipun kaya harta namun hatinya tidak bergantung pada kekayaan yang dimilikinya. Harta benda tidak lebih merupakan materi yang diujikan oleh Allah, yang ahrus dipertanggungjawabkan keberadaannya di hadapan Allah.

Shabar, pada dasarnya kesabaran adalah wujud dari konsistensi diri seseorang untuk memegang prinsip yang telah dipegangi sebelumnya. Kesabaran merupakan suatu kekuatan yang membuat diri seseorang dapat bertahan dari segala macam dorongan dan gangguan yang datang dari luar dirinya. Dimana pengaruh yang datang dari luar tersebut dihantarkan oleh nafsunya, jka seseorang berhasil mengekang hawa nafsunya, maka ia akan tetap pada pendiriannya.

Tawakkal, seseorang yang memiliki sifat tawakkal akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Ia senantiasa merasa mantap dan opitimis dalam bertindak, di samping itu juga ia akan mendapatkan kekuatan spiritual, serta keperkasaan luar biasa yang dapat mengalahkan segal kekuatan yang bersifat material. Dia juga meraskan kerelaan yang penuh atas ssegala yang diterimanya, dan selanjutnya ia kan senantiasa memiliki harapan atas segala yang dikehendaki dan dicita-citakannya.

Ridla, adalah kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala karunia yang diberikan atau bala yang ditimpakan kepadanya. Ia akan senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya.

Muraqabah, hal penting dari orang yang muraqabah adalah konsistensi diri terhadap perilaku yang baik atau seharusnya dilakukan. Konsistensi ini dapat diupayakan dengan senatiasa mawas diri, sehingga tidak terjerumus atau terlena terhadap keinginan-keinginan sesaat. Seorang yang muraqabah berarti menjaga diri untuk senantiasa melakukan yang terbaik sesuai dengan kodrat dan eksistensinya, oleh karenanya seorang yang melakukan muraqabah dibutuhkan kedisiplinan yang tinggi.

Mahabbah (cinta), mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seseorang yang sedang dilanda cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap, dan senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicintai. Lebih jauh lagi sebenarnya kesadaran cinta mengimplikasikan sikap pecinta yang senantiasa konsisten dan penuh konsentrasi terhadap apa yang dituju dan diusahakan, dengan tanpa merasa bera dan sulit untuk mencapainya. Krena segala sesuatunya dilakukan dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan. Kesadaran cinta juga berimplikasi terhadap diri seorang pecinta dengan sikap penerimaannya terhadap segala apa yang terjadi di alam semesta. Sehingga segala sesuatu , baik yang bersifat positif yang berwujud kebaikan maupun negarif yang berbentuk kejahatan, kelebihan dan kekurangan, semua diterima dengan lapang dada.

Khauf, adalah perasaan takut akan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan. Sehingga perasaan ini akan secara otomatis memberikan dorongan untuk melakukan yang terbaik, sehingga pada masa mendatang ia akan menerima akibat yang baik pula. Seorang diliputi oleh perasaan takut (khauf), hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan untuk kebaikan dalam jangka panjang, bukan sekedar keinginan-keinginan nafsunya atau kepentingan sesaat. Dengan kata lain, seorany yang khauf adalah yang berpikiran luas dan dalam jangkauan jauh ke depan, bukan sosok yang berpikiran sempit dan untuk kepuasan sementara. Pemimpin yag dijiwai khauf pada dirinya akan melaksanakan kepemimpinannya dengan penuh tanggungjawab bukan saja terhadap manusia tetapi juga terhadap Allah pencipta Alam semesta

Raja (harapan), jika perasaan takut dilengkapi dengan harapan, akan menimbulkan keberanian yang dapat mengahncurkan segala penyakit yang ada dalam diri seseorang pada. Raja (harapan) akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktivitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian ia aka melakukan segala aktivitas terbaiknya dengan pebuh keyakinan. Pemimpin yang memilki sifat semacam ini akan mampu menggerakkan tim kerjanya untuk meningkatkan produktivitas, serta mem buat inovasi-inovasi baru untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik bahkan yang terbaik.

Zhauq (rindu), Secara psikologis seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah orang yang segala aktivita baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki, dan tidak tergoyahkan dengan segala keinginan yang semu yang dapat mengalihkan perhatian dan konsentrasinya, sehingga ia akan senantiasa terjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segal tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan ataupun kecemasan.

Uns (perasaan sukacita) merupakan kondisi kejiwaan, dimana seseorang merasakan kedekatnnya denga Tuhan, atau dalan pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam kebenaran. Seseorang yang ada pada posisi kondisi uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta sukacita yang meluap-luap, hati dan perasaannya diliputi oleh rasa cinta kelembutan, keindahan serta kasih sayang yang luar biasa.

Tuma'ninah, Jika dipahami secara lebih luas dan mendalam, apa yang terjadi dalam fenomena fana pada dasarnya adalah sebuah perasaan terpesona yang luar biasa sebagai implikasi kesegaran apresiasinya terhadap fenomena keindahanan alam semesta termasuk lingkungan kerja dengan segala keteraturan dan hiruk-pikuknya. Dalam kondisi tertentu akan dapat melupakan terhadap sesuatu yang lain, termasuk keinginan-keinginan semu, serta perasaan askit dan segala macam hal yang berkaitan dengan kekuarangan yang ada pada dirinya.Pemimpin yang memiliki sifat tuma'ninah akan berkonsentrasi penuh pada pragram kerja, mengontrol tim kerja dengan baik dan memberikan contoh yang baik.

Musyahadah, secara psikologis, seorang yang musyahadah senantiasa penuh kecerah-ceriaan dalam setiap ruang dan waktu. Dalam situasi dan kondisi apapun, baik yang langka ditemui dan dialami, akan senantiasa ditangkap sama, dengan penuh kesegaran apresiasi. Kondisi semacam ini didasarkan oleh perasaan menyatu dengan alam semesta, ia merasa tidak lagi berada di luar alam, kemudian menyaksikan alam, tetapi ia telah menjadi bagian dari alam. Pemimpin yang dijiwai oleh musyahadah tidak memandang staf sebagai bawahan yang harus dibebani perintahnya tetapi ia menganggap stafnya sebagai bagian dari dirinya dan akan dengan senang hati memotivasi serta menghilangkan hambatan yang dihadapi para stafnya.

Yaqin, adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya. Seorang pemimpin yang menjalankan konsep ini akan membuta program yang benar-benar diyakini manfaatnya untuk anggotanya dan masyarakat luas dilakukan atas dasar penelitian dengan data yang valid dan selalu mengevalusi hasil kinerja pribadi dan tim kerjanya secara yakin.

Konsep al-maqomat wa al-ahwal jika diterapakan dalam majamen, apakah itu manajemen bisnis atau sosial insyaallah akan melahirkan sesuatu yang positif dan lebih baik. Barngkali tidak berlebihan bahwa tasawuf bukanlah konsep yang manafikan dunia, tetapi justru menyempurnakan fungsi dunia. Menurut hemat penulis manajemen yang berbasis keislaman ini barangkali telah dilakukan oleh Riawan Amin dalam mere-kondisi bank mu'amalat yang pada waktu itu dalam keadaan hampir tenggelam, setelah konsep tersebut diterapkan, bank itu bangkait kembali bahkan melebihi yang ditargetkan, dengan konsepnya ZIKR-PIKR-MIKR, yang dalam arti katanya Zikr adalah ingat atau sadar, dengan zikr dalam setiap aktivitas akan selalu sadar dan dapat mengontrol diri, Mikr berarti menggunakan akal pikiran untuk selalu membuat inovasi baru dan selalu berkreasi, dan berikutnya Pikr merupakan buah dari Mikr yaitu berupa hasil pemikiran atau inovasi dan kreasi yang berupa program-progam dan plaksanaannya. Kata tersebut sesunguhnya merupakan akronim sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.

ZIKR merupakan akronim dari Zero base: bersih, jernih setiap saat, Iman: Keyakinan pada janji-janji Allah, Konsisten:: Istiqamah dan Kaffah, Result Oriented: Mengutamakan Pencapaian Sasaran. PIKR merupakan akronim dari Power Sharing, Information sharing, Knowledge sharing, dan Result oriented. Power sharing sama dengan berbagi power yang akan melahirkan aksi sebagai berikut:

1. Kesiap siagaan (readiness) dari pihak yg akan diberi tugas mencakup;kompetensi, penguasaan skill, kerelaan (willingness).

2. Prekuensi tugas, semakin rutin sebuah tugas pimpinan merekomendasikan tugas itu secara penuh.

3. Seberapa besar risikonya, Semakin tinggi risiko semakin dituntut kehati-hatian dalam mengambil keputusan

Information sharing: dalam praktiknya dapat dilakukan misalnya membuka transparansi data sebesar-besarrnya untuk menghindari rekayasa lporan, Knowledge sharing, dapat dilakukan misalnya dengan membentuk knowledge dengan menggali pengalaman dari kru dengan manfaat:

1. Bisa mengoreksi bila praktik yg dijalankan salah,

2. Bila sudah benar, pen galman itu akan makin mengakar atau terjadi proses reinforcemebt dalam dirinya.

Rewards sharing Selain bonus, kru juga kan mendapatkan rewards secara individual yang didasarkan pada unjuk kerja dan prestasi masing-masing, penerimaan rewards trgantung dari penilaian Performance Appraisal yg dilakukan dari hasil peneilaian secara keseluruhan dari unit masing-masing, dan perlu dipahami bahwa penghargaan tidak hanya berupa materi tapi juga dapat berupa non materi misalnya pujian ucapan terima kasih dan lain sebagainya.

MIKR merupakan akronim dari Militan: berani dan terlatih, Intelek: berakal dan menghargai perbedaan, Kompetitif: Efisien dan Berdaya saing, Regeneratif: Patah tumbuh hilang berganti. Pimpinan yang baik adalah pimpinan yang dapat mengkader dan melahirkan generasi penerus yang lebih baik secara berkesinambungan.

Drs.H. Agus ruslan, MMPd adalah alumnus Pasca Sarjana Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Islam Nusantara, sekarang mengabdi di Pondok Pesantren DARUL MA'ARIF Bandung.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. (2002). Dinamika Masyarakat Islam (dalam wawasan fikih), Bandung: Remaja Rosdakarya

Ba'lawi al-Haddad, Abdullah, (t.t.). Nashaih al-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah, Semarang: Purtera Semarang.

Indrajaya, Adam Ibrahim. (1983). Perilaku Organisasi, Sinar Baru, Bandung.

Muhammad, Hasyim, (2002). Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Walisongo Press dan Pustaka Pelajar.

Mubarok, Achmad, (2003). Sunnatullah dalam Jiwa Manusia, Jakarta: IIIT Indonesia Moedjiono, Imam. (2002). Kepemimpinan dan Keorganisasian, Yogyakarta: UII Press.

Rahmat, Jalaluddin, (1997). Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan.

Riawan Amin, A, (2004). The Celestial Management, Jakarta: Senayan Abadai Publishing.

Santosa, Slamet. (2004). Dinamika Kelompok, Jakarta: Bumi Aksara.

Sallis, Edward, (1993). Total Quality Management in Education, Philadelphia, London

Shihab, Muhammad Quraish. (2000). Wawasan Al-Qur'an, Bandung: Mizan.

Thoha, Miftah. (2003). Kepemimpinan Dalam Manajemen, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tjiptono, Pandi & Anastasia Diana. (2001). Total Quality Management,Yogyakarta: Andi.

Wursanto. (2002). Dasar-dasar Ilmu Organisasi, Yogyakarta: Andi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar