Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics Myspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter GraphicsMyspace Glitter Graphics, MySpace Graphics, Glitter Graphics

Rabu, 15 April 2009

Semua Mahal tapi tidak tersalurkan dengan maksimal

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Tidak terasa, sekarang saya sudah berumur 21 tahun. Seiring dengan semakin dewasanya saya dan tentu saja bertambahnya wawasan yang sedikit demi sedikit telah saya peroleh, akhirnya saya menyadari bahwa semua hal yang ada di sekitar kita (khususnya pendidikan di sekolah) ini terkait dengan faktor keuangan kita (kecuali keimanan kita). Saya mempunyai pandangan seperti itu karena saya dibesarkan di keluarga (yang bisa dibilang)yang keuangannya sangat terhambat. Saya merasakan mahalnya pendidikan setelah masuk ke jenjang perguruan tinggi ini. Sejauh yang saya tahu, Perguruan tinggi selalu saja menaikkan tarif SPP,SKS ataupun lainnya setiap tahun ajaran baru. Entah dengan SD/SMP/SMA/SMK, apakah juga melakukan "strategi keuangan" seperti itu juga.

Trus bagaimana nantinya adik-adik saya (kebetulan saya punya dua orang adik) atau anak-anak di Indonesia lainnya yang masih berumur muda (khususnya yang dari "keluarga lemah ekonomi" seperti saya) kalau nanti pengin kuliah? Apa orang tua mereka harus selalu menjual tanahnya untuk biaya pendidikan yang tinggi ini, trus akhirnya nanti nggak ada lagi yang harus dijual? Itupun OK saja kalaupun nantinya langsung bekerja dan dapat upah yang mencukupi, tidak sia-sia orang tua membiayai anak untuk sekolah mahal-mahal. Karena kita juga tahu kalau lapangan pekerjaan tidak selalu ada, bisa kita bandingkan antara jumlah orang yang menyelesaikan pendidikannya dengan lapangan pekerjaan yang tersedia setiap tahunnya, walaupun saya tidak bisa memastikannya dengan tepat, tapi jelas sekali bahwa jumlah orang yang menyelesaikan pendidikannya dari SMA/SMK(yang tidak melanjutkan ke PT atau mahasiswa yang sudah selesai) lebih besar daripada jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tiap-tiap tahunnya. Maka dari itu, kita harus bersyukur, karena di Nusantara ini dipenuhi oleh orang-orang pinter yang sangat buanyak bahkan melebihi daya tampung yang tersedia. Sebenarnya masalah seperti ini sudah agak kadaluwarsa untuk saya ungkapkan, karena sudah dari dulu masyarakat kita menyuarakan masalah ini, tapi tidak tahu kenapa masih saja mengganjal dalam hati setiap "orang tua kere" yang ingin menyekolahkan anaknya setinggi langit.

Semoga tulisan ini dibaca oleh pemikir-pemikir jenius agar nantinya bisa menambah kegiatan mereka untuk membantu Negara dalam memajukan dan memurahkan pendidikan, serta menyediakan penyaluran tenaga kerja yang luas sehingga jumlah calon tenaga kerja dan lapangan pekerjaan nantinya seimbang dan setiap orang dapat makan-tidur dengan tenang.

Memang benar apa yang dituliskan dalam artikelnya bapak R. J. Kadarisman "KOK MUMET SEKOLAH", ya jawaban dari saya sebagai anak orang tua yang menyekolahkan saya, karena semua berbelit ke masalah keuangan. Mungkin kalau anak-anak SD, SMP, atau mungkin sebagian pelajar SMA/SMK belum mau/sempat memikirkannya.. Nanti kalu mereka sudah seumuran saya, mereka juga akan ikut mumet pak..:L
Teriamaksih kepada Pendidikan.net
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar